Hakim Tolak Praperadilan Delpedro dan 3 Aktivis, Amnesty: Itu Pembungkaman

- Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengungkap banyak pelanggaran prosedur, dari penetapan tersangka tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hingga penyitaan tanpa izin pengadilan.
- Menurut Usman, penolakan ini memperlihatkan represi negara atas aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat. Polisi harus segera menghentikan proses hukum atas seluruh aktivis yang ditangkap hanya karena bersuara secara damai saat aksi demo Agustus lalu.
- Empat aktivis yang mengajukan praperadilan ini adalah bagian dari 12 aktivis yang ditahan sebagai tersangka kasus penghasutan pasca-demo akhir Agustus lalu.
Jakarta, IDN Times - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Rismansyah, soal status tersangka kasus dugaan penghasutan demonstrasi anarkistis pada akhir Agustus lalu.
Keputusan ini berlangsung pada Senin, 27 Oktober 2025. Selain Delpedro, gugatan Muzaffar Salim dari Lokataru Foundation, Syahdan Husein dari Gejayan Memanggil, dan Khariq Anhar dari Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau juga ditolak PN Jakarta Selatan.
Menanggapi vonis ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan putusan ini kurang adil dan bisa jadi normalisasi pembungkaman kebebasan berekspresi.
“Hakim tunggal praperadilan di PN Jakarta Selatan kurang adil dalam menimbang bukti-bukti yang diajukan para tersangka. Hakim juga kurang memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Putusan ini dapat menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Hakim itu pengawas terakhir atas dugaan adanya proses hukum yang menyalahi asas peradilan yang adil," kata Usman dikutip Selasa (28/10/2025).
1. Hakim harusnya mengoreksi tindakan polisi

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengungkap banyak pelanggaran prosedur, dari penetapan tersangka tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hingga penyitaan tanpa izin pengadilan. Fakta-fakta ini, kata Usman, seharusnya cukup menjadi dasar hakim untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun, hakim justru memperkuat pengabaian prinsip due process of law.
2. Bentuk represi negara atas aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat

Menurut Usman, penolakan ini memperlihatkan represi negara atas aktivis yang menyuarakan keresahan rakyat. Padahal itulah hak asasi yang dijamin UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, kata Usman, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM. Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara.
"Polisi harus segera menghentikan proses hukum atas seluruh aktivis yang ditangkap hanya karena bersuara secara damai saat aksi demo Agustus lalu,” kata dia.
3. TAUD ungkap beberapa pelanggaran prosedur

Sebagai informasi, keempat aktivis tersebut mengajukan praperadilan sebagai pihak pemohon untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya, sebagai pihak termohon, dalam kasus dugaan penghasutan berkaitan dengan unjuk rasa yang berujung kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
TAUD sebagai kuasa hukum para aktivis, membeberkan beberapa pelanggaran prosedur oleh kepolisian dalam menangkap dan menahan para aktivis tersebut. Di antaranya, penetapan tersangka oleh polisi yang dianggap tidak sah karena keempat aktivis itu tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, sebagaimana merupakan syarat penetapan tersangka dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Lalu tidak sahnya polisi melakukan penyitaan barang-barang milik para aktivis, karena dilakukan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. TAUD juga mendapati tidak sahnya penangkapan para aktivis tersebut karena mereka sebelumnya belum pernah dipanggil atau diperiksa polisi.
4. Pasal yang menjerat Delpedro dan tiga orang lainnya

Empat aktivis yang mengajukan praperadilan ini adalah bagian dari 12 aktivis yang ditahan sebagai tersangka kasus penghasutan pasca-demo akhir Agustus lalu. Sebagai tersangka, Delpedro dan tiga orang lainnya dijerat Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


















