Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jokowi Jadi Presiden Pertama yang Akui Pelanggaran HAM, Benarkah?

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jakarta, IDN Times - Anggota Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, Zainal Arifin Mochtar mengatakan belum ada satupun presiden di Indonesia yang mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, ia tak menampik rekomendasi semacam itu pernah ada. Sehingga, menurutnya, ini merupakan satu langkah maju dan upaya ke depan dalam memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. 

"Tapi, belum satupun presiden seingat saya, kalau ada tolong nanti disebut presiden siapa dan tanggal berapa, yang pernah menyatakan atau mengakui dan menyesalkan adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu," ungkap Zainal ketika berbicara di program Ngobrol Seru di YouTube IDN Times dan dikutip pada Sabtu, (14/1/2023). 

Ia mengaku tidak tahu pasti alasan di balik Presiden Joko "Jokowi" Widodo memilih untuk menempuh langkah penyelesaian melalui langkah di luar proses hukum. Namun, ia tak menampik para terdakwa kasus pelanggaran HAM berat dari empat kasus berbeda justru divonis bebas oleh hakim di pengadilan. 

Pria yang juga akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu turut menjelaskan mengapa tim tersebut hanya fokus di 12 peristiwa pelanggaran HAM berat saja. Sebab, banyak yang mengkritisi ada peristiwa lain yang seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah. 

"Kenapa 12 perkara? Karena kan sebelumnya perkara ini sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Jadi, mandat yang diserahkan ke tim ini hanya 12 perkara itu," kata dia. 

Oleh sebab itu, kata Zainal, sejumlah peristiwa seperti peristiwa KM 50 atau Kanjuruhan tidak masuk ke dalam fokus timses lantaran di dalam Keppres nomor 17 tahun 2022, dua perkara tersebut tidak menjadi mandat mereka. Kejadian di KM50 dan Kanjuruhan pun tidak diklasifikasikan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat.

Lalu, apa tanggapan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terhadap klaim timsus?

1. Gus Dur pernah meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur

Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (nu.or.id)
Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (nu.or.id)

Sementara, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas, KontraS, Tioria Pretty Stephanie mengatakan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 2000 sudah pernah menyampaikan permintaan maaf terkait kasus pembantaian di Timor Timur pada 1999 lalu. "Beliau juga meminta maaf peristiwa tahun 1965. Karena waktu itu Beliau masih menjabat sebagai Ketua NU, ada yang mengatakan permintaan maaf tersebut disampaikan dalam kapasitas sebagai pimpinan NU," ungkap Pretty di program yang sama. 

Permintaan maaf Gus Dur terkait pembantaian di Santa Cruz disampaikan  dalam sebuah acara di depan markas besar United Nation Transitional Administration in East Timor (UNTAET). Gus Dur ketika itu bertemu dengan Presiden CNRT Xanana Gusmao yang didampingi Administrator Transisi Sergio Vieira de Mello. Gus Dur menyampaikan permohonan maaf atas semua kejadian di masa lalu kepada korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz di Timor Leste. 

"Saya mau meminta maaf atas semua kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Kepada para korban dan keluarga korban insiden Santa Cruz dan teman-teman yang dikuburkan dalam kuburan militer. Keduanya adalah korban dari kejadian yang kita sama-sama tidak inginkan," kata Gus Dur seperti yang terarsip dalam media Tais Timor (13 Maret 2000).

Tais Timor merupakan media yang dikelola oleh UNTAET. Putri Gus Dur, Alissa Wahid, juga mengonfirmasi permintaan maaf itu. Dalam sebuah cuitan pada Februari 2022 lalu, Alissa menyebut permintaan maaf Gus Dur membuat Timor Leste bersedia dibantu oleh Indonesia melewati proses transisi. 

"Kata Ramos Horta, pidato itu (permintaan maaf) yang membuat transisi Timor Leste justru dibantu Indonesia. Ya, tapi waktu itu Gus Dur langsung dirujak oleh DPR dan politisi," demikian cuit Alissa pada tahun lalu. 

2. Pengakuan negara saja tidak cukup bila seabrek rekomendasi tak dijalankan

Daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diakui oleh negara. (Dokumentasi IDN Times)
Daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diakui oleh negara. (Dokumentasi IDN Times)

Lebih lanjut, Zainal sepakat dengan pernyataan KontraS bahwa rekomendasi yang dibacakan oleh Jokowi tidak akan bermakna apapun dan memberikan dampak bagi korban bila tidak dijalankan. Maka, kata Zainal, tugas pemerintah yang paling berat saat ini adalah memastikan rekomendasi yang telah disampaikan oleh TPP HAM diimplementasikan. 

"Tugas paling berat sekarang adalah bagaimana mengontrol pelaksanaannya (rekomendasi TPP HAM)," katanya.

Ia menyebut saat tim turun ke lapangan dan menemui korban pelanggaran HAM berat, isu yang dihadapi tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab, tak semua korban pelanggaran HAM berat ingin diakui dan diketahui oleh publik. Korban justru khawatir akan mengalami kesulitan seandainya terungkap mereka ada kaitannya dengan peristiwa pelanggaran HAM berat.

"Misalnya di kasus Petrus (penembakan misterius), ada korban yang menyebut bila ketahuan dulu menjadi bagian dari keluarga preman, maka keluarga kami bisa berantakan, soalnya ada anggota keluarga yang akan menikah dengan personel TNI," ujar Zainal menirukan pernyataan perwakilan keluarga korban. 

Dari sana, Zainal dan TPP HAM mengetahui harapan korban tidak tunggal dan beragam. Di sisi lain, ada pula keluarga korban yang mengaku tidak membutuhkan apapun selain pengakuan dari negara bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu memang benar terjadi. 

"Kami gak butuh duit, kompensasi. Kami gak butuh apa-apa selain negara mengakui peristiwa itu," tutur dia lagi menirukan pernyataan keluarga korban. 

3. TPP HAM tidak menghilangkan proses yudisial bagi kasus pelanggaran HAM berat lainnya

Akademisi Universitas Gadjah Mada yang juga anggota TPP HAM, Zainal Arifin Mochtar di program Ngobrol Seru. (Tangkapan layar YouTube)
Akademisi Universitas Gadjah Mada yang juga anggota TPP HAM, Zainal Arifin Mochtar di program Ngobrol Seru. (Tangkapan layar YouTube)

Di program itu, Zainal juga kembali mengingatkan keberadaan TPP HAM bukan berarti meniadakan proses hukum bagi kasus pelanggaran HAM berat yang belum dilimpahkan ke pengadilan. "Bahkan, presiden sudah menyatakan kemarin TPP HAM tidak akan menegasikan proses yudisialnya dan isi laporannya pun menyatakan hal yang sama," katanya. 

Proses non yudisial, tutur Zainal, adalah untuk menegakan hak korban. Sebab, korban sudah jatuh berkali-kali termasuk ketika harus menghadapi kenyataan para terdakwa pelanggar HAM berat justru divonis bebas.

Zainal juga menegaskan bahwa upaya non yudisial terhadap korban pelanggaran HAM berat bukan langkah untuk menghidupkan paham komunisme atau mendeskreditkan umat Islam. Justru, kata Zainal, TPP HAM berusaha untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat terkait umat Islam.

"Seperti kasus di Aceh hingga kasus santet di Banyuwangi," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Hana Adi Perdana
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us