Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Mayoritas Presiden di Indonesia Kebanyakan Berasal dari Jawa?

ilustrasi Calon Presiden (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi Calon Presiden (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Mayoritas Presiden Republik Indonesia (RI) berasal dari Suku Jawa. Tercatat, dari tujuh nama yang pernah menjabat sebagai presiden, enam di antaranya berasal dari tanah Jawa.

Enam presiden yang berasal dari Jawa itu di antaranya, Sukarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Kemudian satu presiden yang berasal dari luar Jawa ialah Bacharuddin Jusuf Habibie.

Lantas mengapa kebanyakan Presiden RI berasal dari suku dan Pulau Jawa? Pertanyaan itu merupakan salah satu yang diajukan Gen Z kepada redaksi IDN Times melalui microsite #GenZMemilih tentang Pemilu 2024. 

1. Alasan kultural di balik presiden kebanyakan dari Jawa

ilustrasi Suku Jawa (unsplash.com/Angga Indratama)
ilustrasi Suku Jawa (unsplash.com/Angga Indratama)

Menanggapi hal itu, Pengamat sekaligus Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai mayoritas Presiden RI berasal dari Jawa karena adanya beberapa pengaduh. Di antaranya, kulutural, demografis, dan historis.

Namun, Wasisto menjelaskan, alasan di balik fenomena tersebut lebih banyak didasarkan alasan kultural. 

"Memang yang kita lihat kenapa pemimpin selalu lahir di Jawa karena memang secara demografis itu populasi masyarakat Indonesia kebanyakan suku Jawa," kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (8/3/2023).

Kemudian secara historis, pemimpin dari Jawa juga dinilai sebagai figur yang mampu jadi penengah. Sehingga mudah mempersatukan kelompok dari berbagai latar belakang.

"Artinya memang di sini figur jawa itu kalau kita runut dari era Sukarno hingga sekarang itu sebagai figur pemersatu. Jadi dua alasan itu, demografis dan historis yang latar belakangi kenapa jawa selalu jadi preferensi memilih pemimpin," ucap dia.

2. Suku Jawa dikenal mudah beradaptasi

ilustrasi suku Jawa (pegawaijalanan.com)
ilustrasi suku Jawa (pegawaijalanan.com)

Ketika ditanya soal anggapan adanya Ramalan Jayabaya yang salah satunya menyinggung soal pemimpin dari Jawa, Wasisto menilai hal tersebut memang masih jadi perdebatan. 

Namun jika ditelisik sejarahnya, kerajaan di Jawa memang indentik dengan kelihaiannya dalam ekspansi wilayah. Makanya tak heran, sejak dulu bangsa Jawa sudah dikenal oleh kerajaan lain yang berada di nusantara.

"Artinya ekspansi wilayah selalu dari kerajaan Jawa kan, ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Jadi memang kalau dikatakan mitos ya mungkin dasarnya itu, ada ekspansi, ekspedisi kerajaan-kerajaan berbasis jawa yang dulu memang akhirnya membuat Indonesia atau nusantara sekarang ini," tutur Wasisto.

Lebih lanjut, Wasisto menjelaskan, bahwa Suku Jawa dikenal sebagai kelompok yang santun sehingga mudah diterima masyarakat, hal itu sebenarnya alasan yang sifatnya subjektif. Namun dia mengakui bahwa, karakter halus dan mudah beradaptasi memang melekat di Suku Jawa.

"Kita lihat figur atau mungkin suku jawa hampir diterima semua kalangan, makanya ada akronim jawa itu jelajah wilayah. Bahwa suku ini bisa beradaptasi di mana pun, di tempat mana pun, bisa bergaul dengan suku yang berbeda," jelas dia.

Oleh sebab itu, alasan kultural dan sosiologis ini yang kemungkinan membuat pemimpin dari Jawa masih jadi semacam tolak ukur dalam menafsirkan kapabilitas kepemimpinan.

3. Sistem pemilihan jadi salah satu faktor mayoritas pemimpin dari Jawa

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai pemimpin Indonesia banyak berasal dari Jawa karena sistem pemilihan yang digunakan masih one man one vote. Jika dilihat dari jumlah penduduk, Jawa menyumbang pemilih terbesar sehingga peluang tersebut masih berada pada calon pemimpin dari Jawa. 

Sistem pemilihan yang sedang diterapkan saat ini cukup menyulitkan putra daerah yang berasal dari daerah lainnya untuk memenangkan pilpres. Kecuali Indonesia menerapkan sistem pemilihan yang diterapkan di Amerika Serikat dengan suara elektor menjadi penentu siapa calon presiden terpilih. 

"Misalnya, suara publik sebenarnya Hillary Clinton yang jadi Presiden Amerika, tetapi karena elektor menjadi penentunya maka Trump yang menang," kata dia saat dihubungi IDN Times.

Kendati begitu, Arifki menilai, sebenarnya masih ada peluang menang bagi calon presiden yang berasal dari luar Jawa. Asalkan dia mampu mengedepankan narasi persatuan.

"Terpenting para capresnya tidak memainkan isu-isu politik identitas. Ini memberi ruang kepada figur diluar non-Jawa dengan ada gagasan dan rekam jejak yang baik bakal menjadi pertimbangan dibandingkan lain," imbuh dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yosafat Diva Bayu Wisesa
EditorYosafat Diva Bayu Wisesa
Follow Us