Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Sipil Desak Kemenbud Setop Proyek Penulisan Ulang Sejarah

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (dok.IDN Times/Istimewa)
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (dok.IDN Times/Istimewa)
Intinya sih...
  • Laporan TGPF ungkap ada 52 korban pemerkosaan pada Mei 1998
    • Peristiwa perkosaan massal di Mei 1998 terbukti dengan adanya 52 korban pemerkosaan, termasuk kasus gang rape dan kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
    • Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti laporan TGPF soal peristiwa Mei 1998
      • Laporan TGPF belum ditindaklanjuti secara hukum oleh Kejaksaan Agung, menyebabkan ketidakadilan bagi korban yang telah berjuang selama puluh tahun.

Jakarta, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil melawan impunitas yang terdiri dari 252 organisasi dan 547 individu mengecam dan menolak keras pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang menyangkal adanya peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998. Menurut koalisi, pernyataan Fadli yang disampaikan dalam program 'Real Talk' with Uni Lubis itu dianggap bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, dan pelecehan upaya terhadap pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan. Khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.

Penyangkalan peristiwa perkosaan massal itu dilontarkan bersamaan dengan proyek penulisan ulang sejarah yang tengah dipimpin oleh Fadli Zon. Bahkan, pimpinan di Partai Gerindra itu menargetkan penulisan ulang sejarah akan rampung pada 17 Agustus mendatang.

"Menteri Kebudayaan tampaknya ingin menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran berat HAM dari ruang publik," ujar koalisi di dalam pernyataan bersama dan dikutip pada Sabtu (14/6/2025).

Pernyataan Fadli dianggap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. "Pernyataan itu merupakan upaya untuk mendeskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998," tutur mereka.

TGPF, kata koalisi sipil, dibentuk oleh Presiden ke-3, BJ Habibie pada Juli 1998. TGPF itu terdiri dari berbagai unsur mulai dari pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Tugas mereka menyelidiki peristiwa Mei 1998.

1. Laporan TGPF ungkap ada 52 korban pemerkosaan pada Mei 1998

Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)
Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, berdasarkan laporan akhir TGPF, peristiwa perkosaan massal bukan rumor semata. Setidaknya mereka mencatat ada 52 korban pemerkosaan dalam peristiwa Mei 1998. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam peristiwa Mei 1998 dibagi ke dalam beberapa kategori yakni perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual atau penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam rumah, jalan dan depan tempat usaha.

" Selain itu, TGPF juga menemukan 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual dan 9 korban pelecehan seksual. Itu semua diperoleh dari sejumlah bukti, baik keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, saksi lainnya (perawat, pskiater, psikolog, rohaniawan) hingga keterangan dokter," kata koalisi sipil.

Tindak kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Medan dan Surabaya. TGPF juga menemui sendiri korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah peristiwa Mei 1998.

"TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama," tutur mereka.

TGPF turut melaporkan mayoritas kasus perkosaan itu dilakukan di hadapan orang lain.

2. Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti laporan TGPF soal peristiwa Mei 1998

Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Sekretariat Kabinet)
Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Sekretariat Kabinet)

Koalisi sipil menyebut laporan TGPF sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung agar dapat diproses hukum lebih lanjut. Namun, hingga kini tidak ada penyelesaian hukum yang memadai di tingkat penyelidikan hingga pengadilan.

"Fakta memilukannya adalah hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah tuntas. Tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini maupun terhadap korban dan keluarga korban peristiwa Mei 1998 yang sudah berpuluh tahun memperjuangkan haknya," kata koalisi sipil.

Koalisi sipil juga menilai pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998 mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus pelanggaran HAM di masa Orde Baru. "Caranya dengan meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi," tutur mereka.

Alih-alih mempertanyakan tentang absennya cerita tentang kekerasan pada Mei 1998 di dalam buku sejarah, Fadli selaku menteri seharusnya memastikan kasus-kasus ini dimuat secara jujur dan adil.

"Selain itu, di buku sejarah tersebut seharusnya berpihak kepada suara korban," imbuh koalisi sipil.

3. Koalisi sipil mendesak Kementerian Kebudayaan menyetop proyek penulisan sejarah nasional

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Di bagian akhir pernyataan bersamanya, koalisi masyarakat sipil melawan impunitas menuntut Kementerian Kebudayaan untuk menghentikan proyek penulisan sejarah resmi Indonesia. Sebab, di dalam sejarah yang ditulis oleh pemerintahan Prabowo berpotensi mengaburkan fakta sejarah, khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Dikhawatirkan penulisan sejarah resmi itu hanya menjadi proyek politik sesaat," kata koalisi sipil.

Selain itu, koalisi sipil juga mendesak Fadli Zon agar mencabut pernyataannya yang menyangkal adanya perkosaan massal Mei 1998 secara terbuka. Kemudian, Fadli dituntut untuk memberikan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 dan seluruh perempuan Indonesia yang berjuang membersamai korban untuk menegakkan keadilan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us