Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Masyarakat Sipil Desak MPR Tak Usulkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Teknologi deep fake yang digunakan di pidato Soeharto. (Tangkapan layar X Erwin Aksa)
Teknologi deep fake yang digunakan di pidato Soeharto. (Tangkapan layar X Erwin Aksa)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah kelompok masyarakat sipil dan individu yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto, mengirimkan surat terbuka kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin, 4 November 2024. Mereka mendesak kepada pemerintahan Prabowo Subianto mempertimbangkan ulang usulan untuk memberikan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. 

Usulan itu pernah disampaikan Ketua MPR periode 2019-2024, Bambang Soesatyo, ketika menggelar silaturahmi kebangsaan di Kompleks MPR/DPR RI. Soeharto merupakan ikon penting bagi Partai Golkar ketika masih bernama Utusan Golongan. Sedangkan, Bambang sendiri merupakan politisi senior Golkar. 

"Melalui surat ini, sejumlah individu, lembaga dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bermaksud menyampaikan penolakan terhadap wacana pemberian gelar tersebut," demikian isi surat yang disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, dikutip Selasa (5/11/2024). 

Menurut masyarakat sipil, Soeharto dianggap tidak layak diberikan gelar pahlawan nasional. Alasan mereka menolak karena didasarkan pada rekam jejak buruk dari Soeharto. 

"Surat sudah disampaikan kepada sekretariat MPR," katanya kepada IDN Times melalui pesan pendek hari ini. 

1. Soeharto dianggap tak memenuhi syarat di dalam UU Gelar Tanda Jasa

Potret Soekarno dan Soeharto. (Arsip Kompas)
Potret Soekarno dan Soeharto. (Arsip Kompas)

Lebih lanjut, dalam surat terbuka itu, masyarakat sipil menilai rekam jejak Soeharto selama memimpin Indonesia 32 tahun tak memenuhi kriteria di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 mengenai gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan (GTK). Khususnya dalam Pasal 2. 

"Gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan diberikan berdasarkan asas b.kemanusiaan, c.kerakyatan, d.keadilan. Penjelasan pasal 2 UU GTK menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai kemanusiaan adalah harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sedangkan, kerakyatan adalah harus mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan, demokrasi dan permusyawaratan perwakilan; dan keadilan adalah harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali," demikian isi Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2009. 

Sementara, menurut masyarakat sipil, Soeharto selama 32 tahun memimpin telah terjadi kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang, kekuasaan serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bahkan, dalam pandangan masyarakat sipil, di bawah kepemimpinan Soeharto, negara berubah menjadi mesin pembunuh. 

"Di antaranya dalam bentuk pembasmian, perampasan sumber daya alam (SDA), dan penghancuran lingkungan hidup, penyeragaman dan pengendalian masyarakat, penciptaan dan pengelolaan kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan partai politik, memberangus serikat buruh dan bahkan pembredelan pers," kata masyarakat sipil.

2. Soeharto diketahui punya rekam jejak pelanggaran HAM

Ilustrasi Hak Asasi Manusia (HAM). (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Hak Asasi Manusia (HAM). (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain itu, menurut masyarakat sipil, presiden kedua RI itu punya rekam jejak buruk dengan melakukan berbagai pelanggaran HAM. Di antaranya kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai eksploitasi sumber daya alam di Papua pada 1968 hingga 1998, pembunuhan massal di Santa Cruz pada 1991, pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993, hingga penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996.

"Tentu, pada realitanya pelanggaran HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto jauh lebih banyak dari yang telah disebutkan di dalam surat ini," kata masyarakat sipil.  

Soeharto, kata mereka, juga erat melakukan praktik KKN. Hal itu terbukti pada 1998, Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto.

Ketika itu, ada tujuh yayasan yang diperiksa Kejagung yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan dan Yayasan Trikora. 

"Penyimpangan dana tersebut terindikasi sebagai praktik KKN karena yayasan-yayasan tersebut turut menyimpan aliran dana milik negara melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 333/KMK.011/1978 yang memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yaysan tersebut," kata mereka. 

Masyarakat sipil juga menekankan meski Soeharto tidak pernah dipidana, bukan berarti ia terbukti tidak bersalah. Melainkan karena proses peradilannya dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan yang memburuk. 

"Ini tidak menghilangkan fakta bahwa ia telah melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme selama 32 tahun menjabat sebagai presiden," kata mereka. 

3. Bamsoet usulkan ke pemerintahan Prabowo agar Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional

Ketua MPR, Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI tahun 2024, pada Jumat (16/8/2024). (YouTube.com/Sekretariat Presiden)
Ketua MPR, Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI tahun 2024, pada Jumat (16/8/2024). (YouTube.com/Sekretariat Presiden)

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menduga Soeharto akan diberikan gelar pahlawan nasional tahun ini lantaran mantan Ketua MPR, Bambang Soesatyo sudah mengusulkan hal tersebut kepada pemerintahan Prabowo.

Sebelumnya, nama Soeharto sudah dihapus dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

"Kami menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah, dan pemutihan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto. Penyerahan surat terbuka ini merupakan langkah pengawalan demokrasi oleh masyarakat sipil kepada pembuat kebijakan," ujar Dimas. 

Ia menambahkan pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi yang terjadi pada era Orde Baru seharusnya menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia agar tidak salah melangkah ke depan. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us