Menteri PPPA Soroti Kebutuhan Perempuan di Pengungsi Banjir Sumatra

- Menteri PPPA, Arifah Fauzi, soroti kondisi rentan perempuan penyintas banjir dan longsor di Sumatra.
- Arifah menginisiasi penggalangan donasi internal untuk membantu korban yang kehilangan harta benda.
- Perempuan memiliki risiko fatalitas 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki saat terjadi bencana, karena minimnya keterampilan bertahan hidup.
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengungkapkan kondisi rentan yang dialami para ibu dan perempuan penyintas banjir bandang serta tanah longsor di Sumatra. Cerita itu ia peroleh saat mengunjungi langsung lokasi pengungsian korban bencana.
Arifah mengaku sulit menahan haru ketika berinteraksi dengan para perempuan penyintas. Mayoritas dari mereka berada dalam kondisi rapuh, baik secara fisik maupun psikologis, setelah kehilangan tempat tinggal dan rasa aman.
Menurut Arifah, kepanikan saat bencana membuat banyak ibu tidak lagi memikirkan harta benda. Fokus utama mereka hanya menyelamatkan anak-anak dan anggota keluarga. Bahkan, sebagian perempuan belum sepenuhnya menyadari rumah dan seluruh harta bendanya telah hilang diterjang banjir dan longsor.
“Waktu kami datang itu tanggal 1 Desember, masih banyak ibu-ibu yang kayak tidak percaya bahwa rumahnya itu sudah tidak ada. Jadi ini pendekatan yang dilakukan oleh teman-teman kami di KPPA,” ujar Arifah Fauzi saat sesi Media Briefing, dikutip Minggu (21/12/2025).
1. Beri bantuan yang difokuskan pada kebutuhan mendesak

Melihat kondisi tersebut, Arifah menginisiasi penggalangan donasi secara internal di lingkungan Kementerian PPPA. Bantuan itu disalurkan untuk membantu para korban yang kehilangan hampir seluruh harta benda.
Ia menjelaskan, banyak penyintas hanya berhasil menyelamatkan diri dengan pakaian yang melekat di badan. Karena itu, bantuan difokuskan pada kebutuhan paling mendesak dan relevan dengan kondisi di pengungsian.
“Yang kedua adalah memprioritaskan kebutuhan spesifik untuk perempuan dan anak. Jadi seperti susu, pampers, kemudian pakaian dalam gitu ya, karena rata-rata yang ada di situ itu pakaian yang hanya melekat pada saat mereka menyelamatkan diri,” ujar Arifah.
“Kami di internal kementerian juga menggalang donasi yang sudah kami kirimkan berupa dana, karena kalau barang mereka kadang kurang tepat untuk kegunaannya, sehingga kami sesuaikan,” sambung dia.
2. Perempuan yang terdampak bencana alami tekanan mental yang berat

Selain bantuan logistik, Arifah menegaskan pentingnya pendampingan trauma healing sebagai langkah awal pemulihan perempuan dan anak korban bencana. Ia menyebut kondisi psikologis para korban masih sangat rentan.
“Yang kita lakukan pertama kali adalah trauma healing. Saat kami datang 1 Desember yang lalu, masih banyak ibu-ibu yang belum percaya bahwa rumahnya sudah tidak ada,” ujarnya.
Arifah menilai, perempuan terdampak bencana menghadapi beban berlapis. Tidak hanya kehilangan secara fisik, tetapi juga tekanan mental yang berat akibat trauma dan ketidakpastian masa depan.
“Kami memprioritaskan kebutuhan khusus perempuan dan anak, seperti susu dan pakaian dalam. Karena rata-rata pakaian yang mereka kenakan hanya yang melekat saat menyelamatkan diri,” katanya.
“Kalau barang, kadang kurang sesuai kegunaannya, makanya kami kirimkan donasi dana agar bisa disesuaikan langsung dengan kebutuhan di lokasi pengungsian. Pada Sabtu lalu, bantuan dikirimkan melalui kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan menggunakan kapal menuju tiga provinsi terdampak bencana," beber Arifah.
3. Pendataan korban secara lebih rinci

Arifah memastikan perempuan dan anak di tenda-tenda pengungsian sementara akan terus mendapat perhatian khusus dari negara.
“Pastinya kami meminta informasi tentang perempuan dan anak-anak. Ketika mereka sudah berada di tenda pengungsian, langkah pertama yang kami lakukan adalah trauma healing,” ujarnya.
Ia juga mengapresiasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang kini melakukan pendataan korban secara lebih detail, termasuk kelompok rentan seperti ibu hamil dan lansia.
“Sekarang datanya lebih lengkap. Ibu hamil ada berapa, lansia ada berapa. Ini sangat membantu untuk penanganan yang lebih tepat,” katanya.
4. Perempuan lebih rentan 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki saat terjadi bencana

Dalam kesempatan yang sama, Arifah memaparkan fakta lain terkait tingginya kerentanan perempuan dalam situasi bencana.
Berdasarkan kajian dan survei KemenPPPA, perempuan memiliki risiko fatalitas 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki saat terjadi bencana, khususnya banjir dan tsunami. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya keterampilan bertahan hidup.
“Kajian dan survei bahwa perempuan itu 14 kali lebih berisiko terkena atau sebagai korban bencana. Salah satunya karena perempuan tidak dilatih untuk berenang atau memanjat pohon,” katanya.
Dia juga menyebutkan perempuan cenderung memprioritaskan keselamatan anggota keluarga dibandingkan dirinya sendiri.
“Karena perempuan lebih memprioritaskan menyelamatkan anak, lansia yang ada di rumahnya. Gitu jadi dia lebih lambat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dan ini yang akan kita lanjutkan dengan BNPB untuk bersama-sama,” beber Arifah.
Menyikapi temuan tersebut, KemenPPPA berencana mendorong program penguatan kapasitas perempuan melalui pelatihan teknis dan fisik, yang diharapkan dapat meningkatkan ketangguhan perempuan dalam menghadapi risiko bencana.


















