Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menyoal RUU Perampasan Aset, Pakar Sorot 5 Pasal Bermasalah

IMG-20250916-WA0044.jpg
Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Harris Arthur Hedar. (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Ada 5 pasal kontroversial dalam RUU Perampasan Aset
  • Syarat perampasan aset harus ada putusan pengadilan
  • DPR-Pemerintah sepakat RUU Perampasan Aset rampung 2025
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Harris Arthur Hedar menyoroti pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset karena multitafsir.

Hal itu disampaikan Harris menyoal RUU Perampasan Aset yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa. RUU Perampasan Aset disepakati masuk ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) priortas 2025. DPR dan pihak pemerintah juga sepakat RUU Perampasan Aset rampung tahun ini.

“RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 Pasal yang harus dicermati. Karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki,” kata Prof Harris kepada wartawan, Selasa,(16/9/2025).

1. Ada 5 pasal kontroversial dalam RUU Perampasan Aset

Ilustrasi hukum (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi hukum (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Harris menjelaskan, Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Resikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap “tidak sah”.

Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana.

"Resikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili,” kata Wakil Ketua Umum DPN PERADI itu.

Berikutnya ⁠Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap tidak seimbang dengan penghasilan sah. Namun, persoalannya frasa kalimat “tidak seimbang” sangat subjektif. Resikonya, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap pun bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Dia juga mencermati Pasal 6 ayat (1). Aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp100 juta.

Terakhir, ia turut menoroti Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Resikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

“Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), dimana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini kan membalik beban pembuktian ke rakyat. Resikonya rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal,” kata dia.

2. Syarat perampasan aset harus ada putusan pengadilan

ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Harris lantas menyarankan pembahas RUU Aset dapat juga memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari istilah “tidak seimbang”, dimana harus punya ukuran objektif.

Termasuk laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

“Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim,” kata dia.

Menurutnya, proses perampasan juga harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik. Sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.

“Terakhir sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen,” kata Harris yang juga Wakil Rektor Universitas Jayabaya itu.

3. DPR-Pemerintah sepakat RUU Perampasan Aset rampung 2025

WhatsApp Image 2025-09-09 at 15.20.13.jpeg
Baleg DPR RI gelar rapat kerja evaluasi prolegnas. (IDN Times/Amir Faisol)

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah disebut telah bersepakat segera menyelesaikan proses pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2025. Hal ini menindaklanjuti desakan publik pada tuntutan rakyat 17+8 dalam gelombang unjuk rasa 25-31 Agustus.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan usai memimpin rapat kerja evaluasi Prolegnas Prioritas 2025, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). Dalam rapat tersebut, DPR dan pemerintah menyepakati RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2025.

"Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan, tetapi kemudian kita ini namanya meaningful," kata Bob usai rapat.

Kendati, Bob mengatakan, DPR RI tetap akan berhati-hati dan tak mau terburu-buru. Pembahasan RUU Perampasan Aset harus melibatkan partisipasi masyarakat (meaningfull participations).

Sebab, perlu dicermati apakah substansi RUU Perampasan Aset ini masuk dalam sektor pidana asal (predicate crime) atau pidana tambahan atau justru masuk hukum perdata.

"Nah isinya mesti tahu dulu, dia apakah termasuk pidana asal atau pidana tambahan. Ada pidana pokok, ada jenisnya macam-macam. Perampasan aset ini pidana apa perdata? Kan begitu," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Arus Balik Hubungan Sipil-Militer Jadi Fokus Peluncuran Jurnal Prisma

16 Sep 2025, 21:27 WIBNews