Pemerintah Diminta Bersikap Jika Rakyat Aceh Ajukan Referendum

Jakarta, IDN Times - Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP yang juga Pimpinan Komite I DPD RI meminta pemerintah pusat untuk bersikap dan memberikan perhatian serius jika saat ini rakyat Aceh mengajukan referendum secara resmi.
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem berpendapat bahwa ke depan Aceh meminta referendum karena Indonesia tidak jelas soal keadilan dan demokrasi serta diambang kehancuran dari sisi mana pun.
Mualem menyatakan wacana tersebut dalam sambutannya pada peringatan ke-9 tahun (3 Juni 2010-3 Juni 2019) wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5/2019) malam.
1. Pernyataan Mualem serius dan memiliki arti penting

Fachrul menjelaskan bahwa pernyataan Mualem serius dan memiliki arti penting serta bukan pernyataan biasa. “Ini yang berbicara Mualem, jadi ini bukan wacana lagi, tapi satu sikap politik yang tegas untuk menjawab quo vadis Aceh ke depan menghadapi Indonesia yang terus menuju pada kehancuran dan kegagalan dalam berdemokrasi,” tutur Fachrul Razi.
Fachrul mengatakan bahwa referendum merupakan mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depannya. Menurutnya, referendum ialah solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. Referendum dapat diartikan penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum. Biasanya menurut Fachrul Razi, referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri.
“Mengapa saya berbicara referendum? Karena saya wakil Aceh di Pusat. Jika rakyat Aceh menginginkan referendum, sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,” tutur Fachrul Razi.
2. Referendum tidak bertentangan dengan MoU Helsinki

Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP menyatakan bahwa referendum juga diberikan ruang oleh perjanjian damai tersebut jika para pihak tidak dapat memenuhi beberapa kesepakatan.
Fachrul Razi menilai bahwa MoU Helsinki menegaskan bahwa para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
“Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua fondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tutur Fachrul Razi.
Akan tetapi, menurut Fachrul, penekan dari output Mou Helsinki selain demokrasi dan keadilan ialah kemajuan dan keberhasilan Aceh pascaperjanjian itu ditandatangani.
“Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tutur Fachrul.
Menurut Fachrul, pernyataan Muzakir Manaf menunjukkan kekecewaannya terhadap kondisi Aceh saat ini yang jauh dari kemajuan dan keberhasilan.
Di sisi lain, Fachrul Razi menjelaskan bahwa Mou Helsinki merupakan “trust building”, yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya”.
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan kepercayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tutur Fachrul Razi.
Fachrul memberikan solusi. “Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silakan baca poin 6.1.c.”
3. Referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional

Fachrul Razi mengatakan bahwa banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut. Di poin tersebut, jelas tertulis, “dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberi tahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”
Menurut Fachrul, apabila salah satu pihak merasakan dirugikan atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi.
“Dan perlu saya tegaskan, referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tutur Fachrul.
Menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki poin 2.1 menegaskan bahwa pemerintah RI akan mematuhi kovenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
“Ingat, referendum ada dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal, hati hati!” tutur Fachrul Razi memberikan peringatan.
Fachrul Razi mengatakan bahwa MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat nota kesepahaman tersebut.
“Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutur Fachrul.