Koalisi Masyarakat Minta Hakim Kabulkan Gugatan soal Langkah Fadli Zon

- Pernyataan Fadli Zon meragukan kebenaran perkosaan massal Mei 1998, mempertegas klaim sebelumnya yang disampaikan dalam wawancara “Real Talk” IDN Times pada 10 Juni 2025.
- Koalisi masyarakat sipil mendesak Majelis Hakim PTUN agar mengabulkan gugatan terhadap Fadli Zon dan menuntut agar dia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
- Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal keberadaan perkosaan massal Mei 1998 dinilai sebagai tindakan melampaui kewenangan seorang menteri.
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya perkosaan massal pada tragedi Mei 1998, bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, Prinsip AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), dan HAM (Hak Asasi Manusia). Bahkan, mereka menilai, Menbud telah memperlihatkan tindakan yang menyalahgunakan wewenang.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas mendesak Fadli Zon agar meminta maaf. Koalisi sendiri telah menggugat Fadli Zon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, atas pernyataannya yang menyangkal adanya perkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. Gugatan ini teregistrasi dengan nomor perkara 303/G/2025/PTUT-JKT, dan resmi didaftarkan pada Kamis, 11 September 2025.
"Menghukum Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI untuk meminta maaf, karena Tindakan Administrasi Pemerintahan yang dilakukannya," tulis mereka dikutip Sabtu (13/9/2025).
1. Minta hakim kabulkan tindakan Fadli Zon melawan hukum
Koalisi juga mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar mengabulkan gugatan terhadap Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon. Mereka meminta majelis hakim menyatakan tindakan Administrasi Pemerintahan yang dilakukan Fadli Zon merupakan perbuatan melawan hukum.
Tidak hanya itu, koalisi juga mendesak pemerintah menarik kembali Tindakan Administrasi Pemerintahan yang telah dikeluarkan.
"Kami telah melayangkan gugatan berkaitan dengan gugatan perbuatan melawan hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan, dengan objek gugatan yang kami layangkan kepada Menteri Kebudayaan berupa tindakan Administrasi Pemerintahan berupa pernyataan Menteri Kebudayaan dalam Siaran Berita Kementerian Kebudayaan Nomor: 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tertulis 16 Mei 2025 (disiarkan pada 16 Juni 2025, dan telah diunggah melalui akun Instagram resmi Menteri Kebudayaan atas nama @fadlizon dan akun resmi Kementerian Kebudayaan atas nama @kemenbud tanggal 16 Juni 2025," ujar kuasa hukum penggugat, Jane Rosalina dari Kalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dalam konferensi pers daring, Jumat (12/9/2025).
2. Dayung bersambut dari pernyataannya usai wawancara
Pernyataan yang dimaksud adalah hal yang memuat kutipan sebagai berikut:
"...laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri... Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,"
Pernyataan ini disebut mempertegas klaim sebelumnya yang disampaikan Fadli Zon dalam wawancara “Real Talk” by IDN Times pada 10 Juni 2025, yang meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998.
"Ini merupakan pernyataan yang problematik dan kami nilai telah mendelegitimasi kerja-kerja tim gabungan pencari fakta Mei 98," kata Jane.
3. Para pengugat perorangan hingga badan hukum perdata
Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terdapat dua kategori penggugat, yaitu perorangan dan badan hukum perdata.
Untuk penggugat perorangan tercatat ada Marzuki Darusman, mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, Ita F. Nadia, pendamping korban perkosaan massal Mei 1998, kemudian Kusmiyati, perwakilan dari Paguyuban Mei 1998 yang juga orang tua korban kebakaran Mei 1998 serta Sandyawan Sumardi, Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan
Sementara itu, penggugat dari unsur badan hukum perdata meliputi, Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta Kalyanamitra
4. Pernyataan Fadli Zon ditafsirkan sebagai obstruction of justice

Koalisi menilai objek gugatan a quo pada tindakan administratif Fadli Zon. Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal keberadaan perkosaan massal Mei 1998 dinilai sebagai tindakan melampaui kewenangan seorang menteri, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 190 Tahun 2024, sebab kewenangan terkait penyelidikan dan penuntasan pelanggaran HAM berat berada pada Jaksa Agung, Komnas HAM, DPR, Presiden, dan Pengadilan HAM.
Koalisi menegaskan, pernyataan tersebut bertentangan dengan UU HAM (UU No. 39/1999), UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), serta dapat ditafsirkan sebagai obstruction of justice karena mengandung informasi yang menyesatkan pada saat proses penyelidikan-penyidikan masih berlangsung.
Selain itu, pernyataan tersebut juga melanggar UU TPKS (UU No. 12/2022), karena menihilkan data dan fakta tentang perkosaan massal, bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, kepentingan korban, serta perlindungan hukum.
Lebih lanjut, pernyataan itu dipandang melanggar Konvensi CEDAW (UU No. 7/1984) karena bersifat diskriminatif terhadap perempuan, serta Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT, UU No. 5/1998) karena menjauhkan korban dari akses pemulihan, memperlihatkan perlakuan buruk yang merendahkan martabat korban, khususnya perempuan Tionghoa-Indonesia.