Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Suroboyo Bus: Bayar Pakai Botol Plastik, Kuat Sampai Kapan?

SUROBOYO BUS. Penampakan Suroboyo Bus dari samping. Foto oleh Amir Tedjo/Rappler

Oleh Amir Tedjo

SURABAYA, Indonesia —Meski sudah lebih dari tiga minggu berlalu sejak diresmikan penggunaannya oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini, animo warga untuk menjajal Suroboyo Bus ternyata masih cukup tinggi. Mereka ternyata masih tertarik untuk menjajal armada anyar milik Pemkot untuk berkeliling Surabaya. Apalagi selama bulan April masih dalam tahap sosialisasi alias masih gratis.

Dari sekian banyak warga yang masih antuasias untuk menjajal Bus Suroboyo ini, salah satunya adalah Nafsiah. Dia bersama dengan dua orang anaknya pekan lalu menjajal Bus Suroboyo. Dia sebenarnya bukan warga Surabaya, melainkan warga Ngingas,  Kabupaten Sidoarjo. Kedatangannya di Terminal Purabaya Surabaya yang berada di Sidoarjo untuk menjajal Suroboyo Bus ini, sebenarnya lebih banyak disebabkan karena rengekan anaknya.

“Ayolah....bu. Naik Suroboyo Bus. Mumpung masih gratis,” kata Nafsiah menirukan rengekan anaknya yang bolak-balik melihat beritanya di televisi.

Akhirnya, kesempatan untuk menjajal Suroboyo Bus pun akhirnya kesampaian juga. Kebetulan, hari itu, dua orang anaknya yang masih duduk di bangku Taman Kanak dan Sekolah Dasar itu, libur. Nafsiah pun setuju atas ajakan anaknya untuk naik Bus Suroboyo hari itu.

Mereka kemudian datang ke Terminal Purabaya. Suroboyo Bus memang startnya mulai dari Terminal Purabaya, Sidoarjo. Selain Nafsiah, ada juga beberapa penumpang yang tujuannya sama seperti nafsiah. Hanya sekedar menjajal Bus Suroboyo.

Bus low deck

Secara, tongkrongan Suroboyo Bus memang bikin 'ngiler' untuk dijajal. Apalagi untuk komunitas bus mania. Bus seharga Rp 2,4 miliar ini memang beda dengan bus kota yang dikelola oleh Damri atau operator swasta lain.

Secara warna, jika Bus Damri identik dengan warna biru putih, maka Suroboyo Bus warnanya dominan merah. Kaca-kacanya pun lebar-lebar. Penumpang bisa leluasa membuang pandangan ke luar jika naik Suroboyo Bus.

Secara bodi, itu karakter bus ini berlantai rendah atau low deck. Karakter bus low deck ini pula yang mungkin bikin orang penasaran. Pasalnya, bisa dikatakan selama ini belum pernah ada bus kota low deck yang beroperasi di Surabaya. Bus low deck  semacam ini sebenarnya ada sih. Tapi cuma bisa dilihat di Bandara Juanda.  Sebaliknya, unit Bus Damri yang baru, malah tinggi-tinggi atau high deck karena dikhususkan penumpang yang naiknya dari halte, seperti halnya Transjakarta di Jakarta.

Bus konsep low deck ini  sebenarnya tujuannya mulia, yaitu untuk mengakomodasi kepentingan warga difabel untuk naik bus ini. Namun risikonya, karena low deck, bus ini (sementara) tak bisa masuk dalam Terminal Purabaya. Apa pasalnya? Ternyata untuk masuk Terminal Purabaya, harus lewat jembatan yang cukup curam untuk ukuran bus low deck.

“Bodi bus mentok ke jembatan. Makanya untuk sementara tak bisa masuk dalam Purabaya, sembari jembatan diperbaiki. Nanti kalau sudah, kita masuk dalam terminal,” kata salah seorang kru bus.

Pool Suroboyo Bus saat ini memang berada di pintu keluar untuk bus kota Terminal Purabaya. Karena tak masuk dalam terminal, penumpang mengeluhkan ruang tunggu yang tak memadai. Hanya ada satu kursi panjang yang bisa dipakai calon penumpang untuk duduk. Selebihnya harus berdiri menunggu kedatangan bus. Begitu bus datang pun, penumpang tak bisa langsung masuk karena bus masih harus dibersihkan.   

Usai dibersihkan, pintu bus dibuka. Nafsiah bersama dengan dua anaknya duduk di samping pintu tengah sebelah kiri. Bus ini terdiri dari dua bagian. Bagian depan dikhususkan untuk penumpang perempuan, yang ditandai dengan kursi penumpang yang berwarna pink. Satu baris terbelakang, dikhususkan untuk penumpang lansia dan ibu hamil yang ditandai dengan kursi warna merah. Bagian depan bus ini, lantainya masih rendah.

Masuk bagian belakang bus, ternyata lantainya agak meninggi. Semakin ke belakang, semakin tinggi seperti kursi teater di bioskop. Karena posisinya agak sulit, bagian belakang bisa digunakan oleh siapa saja. Kursinya warna oranye. Kebanyakan yang duduk di bagian belakang, kaum Adam dan beberapa perempuan yang tak kebagian di kursi depan.

Masuk dalam bus, suasananya tak adem-adem banget. Jadi membayangkan bagaimana kalau kondisi penumpang penuh? Apakah tidak semakin panas? Atau jangan-jangan pendingin udara akan menyesuaikan secara otomatis jika penumpang penuh? Bahasa kerennya auto climate control.

Sebelum bus berjalan, ada suara rekaman perempuan yang mengingatkan soal peruntukan kursi berdasarkan warna. Suara rekaman itu juga mengingatkan soal larangan makan minum dan merokok dalam bus.

Setelah menunggu sekitar 40an menit, Bus Suroboyo pun berjalan. Deru mesin di bagian belakang terdengar jelas. Bus Mercedez, Karoseri Laksana ini pun berjalan pelan. Kira-kira tak lebih dari 40 km/jam menyusuri jalan frontage road A. Yani bagian barat.

Tak ada bunyi-bunyian merdu sebagai hiburan, kecuali omongan para penumpang yang masih terkagum-kagum dengan Suroboyo Bus. Sebenarnya, ada sih televisi ukuran medium yang dipasang bertolak belakang agar bisa ditonton penumpang bagian dengan dan belakang. Namun isinya hanya sosialisasi penggunaan limbah botol untuk ditukar dengan tiket bus. Itu pun, hanya gambar. Suaranya entah kemana. Gambarnya pun diganggu oleh kotak peringatan dari Window. “Your Windows license will expire soon”

Bayar pakai botol

Bus yang ditumpangi berkode SB-05, Aditya Noval, siang itu yang menjadi kondekturnya. Beda dengan kondektur bus kota lainnya, yang biasanya kusam, seragam yang dipakai Aditya kasual banget. Dengan menggunakan topi merah, kemeja biru gelap dan celana tactical army, Noval terlihat trendy. Di tangannnya ada smartphone yang dipadu dengan alat pencetak e-tiket.

Berangkat dari Terminal Purabaya, awalnya penumpang tak terlalu penuh, namun jumlah penumpang semakin bertambah saat menyisir jalan di Surabaya. Rutenya Terminal Purabaya sampai dengan Jalan Rajawali. Jaraknya sekitar 23 km. Jarak sepanjang ini ditempuh dalam waktu sejam. Sampai di Jalan Rajawali, bus ini tidak ngetem, melainkan langsung jalan. Saat perjalanan balik, ditempuh dalam waktu 1,5 jam.

Selama perjalanan bolak balik, hanya ada dua penumpang yang membayar dengan botol. Botol-botol setoran penumpang ini dimasukkan dalam kotak sampah dalam bus.

“Nantinya, kalau sudah diberlakukan bayar pakai botol, di setiap halte akan ada petugas yang akan menukarkan botol dengan tiket bus. Jadi botol tak perlu dibawa masuk dalam botol,” kata Aditya.

Ketentuan bayar dengan botol plastik ini sebenarnya tergolong unik. Setiap penumpang yang akan naik bus ini wajib bayar dengan botol plastik. Jika ukuran besar, cukup setor dengan tiga botol, kalau tanggung lima botol sedangkan kalau gelas 10 buah.

Secara perhitungan ekonomis, sebenarnya bayar dengan botol plastik ini tak masuk akal. Hitungan kasar, setiap botol kosong beratnya kira-kira 20 gram. Jika harus menyerahkan lima botol plastik, maka berat total botol plastik, 100 gram. Pasar barang rongsok, botol plastik biasanya dihargai Rp 8.000 per kilogram. Jadi, jika ada penumpang membayar dengan lima botol plastik, maka nilainya setara dengan Rp 800. Padahal, untuk operasional Suroboyo Bus ini, setidaknya setiap unit butuh 210 liter solar per hari.

Tarif ini tentu saja lebih jauh lebih murah dibandingkan dengan tarif bus kota konvensional yang kondisinya lebih bobrok. Tarif bus kota di Surabaya, sekitar Rp 5.000. Pertanyaannya kemudian, sampai kapan Suroboyo Bus akan tetap bertahan jika terus merugi?  

“Sebenarnya ada delapan unit. Namun yang dioperasikan baru enam unit karena Pemkot baru mampu biaya operasional untuk 6 unit bus saja. Setiap bus dalam sehari dijatah 210 liter solar,” kata Andika, pengawas Suroboyo Bus di Terminal Purabaya.

Sebenarnya merugi

Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajat secara tegas menyatakan jika dalam operasionalnya tetap Suroboyo Bus ini akan tetap menggunakan pembayaran botol plastik sebagai alat tukarnya. Karena pada prinsipnya bus ini sebenarnya gratis.

“Bayar dengan botol plastik itu sebenarnya bagian dari kampanye kepada warga untuk mau menjadi nasabah Bank Sampah,” kata Ivan.

Dia menjelaskan, konsep yang diinginkan sebenarnya warga Surabaya mau menjadi nasabah Bank Sampah. Setelah setor sampah itu kemudian akan mendapatkan stiker yang bisa digunakan untuk naik Suroboyo Bus.

Dia juga tak menampik jika operasional Suroboyo Bus ini sebenarnya merugi jika hanya membayar dengan botol plastik. Namun kata dia, di negara mana pun pengelola transportasi publik pasti akan merugi jika dilihat dari sisi finansial.

“Kalau dihitung dari sisi finansial memang merugi. Namun kita melihatnya dari sisi analisa ekonomi dan multiplier efect yang ditimbulkan. ​​​​​​​​​​​​​​​​Misalnya ekonomi menjadi berjalan karena jalanan tidak macet. Distribusi barang juga semakin lancar. Belum lagi soal kehilangan nyawa dalam kecelakaan yang tak pernah diperhitungkan,” ujar dia.

Namun meski tak menutup kemungkinan bakal merugi dalam operasionalnya, Pemerintah Kota Surabaya tetap akan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola Suroboyo Bus secara profesional. Karena Irvan yakin, jika akan tetap ada pemasukan untuk Suroboyo Bus seperti misalnya dari reklame atau dana corporate social responsibilty.

“Sekarang saja, sudah ada dua bus sumbangan dari CSR. Sehingga total ada 10 bus,” ujar Irvan.

Suroboyo Bus ini sebenarnya bagian dari rencana besar Pemerintah Kota Surabaya untuk menyediakan angkutan massal. Seperti diketahui, Pemkot sudah menandatangani kerjasama dengan pemerintah pusat untuk pembangunan trem dan Light Rail Transit (LRT). Nah Suroboyo Bus ini akan dijadikan trunk atau semacam feeder dengan kapasitas penumpang lebih besar.

“Ke depan akan kita sediakan, feeder yang masuk ke dalam kampung-kampung dengan kapasitas 16 penumpang. Dari feeder ini bisa diumpankan ke trunk yaitu Suroboyo Bus atau langsung ke trem yang lebih massal jumlah penumpangnya,” ujar Irvan.   

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us