Empat Hal yang Bikin Jokowi Cawe-Cawe di Pilpres 2024

Bukan hanya soal keberlanjutan proyek IKN

Jakarta, IDN Times - “Pak Presiden ini soal U20 (Piala Dunia), saya lihat selama COVID-19 selama dua tahun Pak Presiden saya lihat gak pernah ngomong capek.   Saya selalu nonton pengumuman PPKM dari Pak Presiden,  tapi saya gak pernah lihat Presiden ngomong capek.  Tapi kemarin waktu tarawih bersama di PAN itu, Pak Presiden ngomong, dua minggu ngurus bola Pak Presiden capek, setelah penolakan Mas Ganjar terhadap Israel, apa iya, kata orang-orang, istilah yang sering kita omongin di sini juga (di Total Politik), gara-gara ini, Mas Ganjar sudah bertransformasi dari Ganjar Widodo menjadi Ganjar Soekarnoputra?”

Pertanyaan itu datang dari Arie Putra, co-founder dan co-host saluran bincang-bincang Total Politik. Arie termasuk di antara sejumlah pemimpin redaksi, jurnalis senior dan pembuat konten yang diundang dalam pertemuan dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, di Istana Negara, Senin sore, 29 Mei 2023.  Dalam video yang ditayangkan di YouTube Total Politik, Arie menceritakan detail dan kronologi pertemuan itu kepada rekan co-founder dan co-hostnya, Budi Adiputro.

Begini jawaban Presiden Jokowi: “Pertama soal capek, ya jadi presiden ya capek, itu guyon aja... itu guyonan.” Arie mengejar, “ Yang Ganjar Widodo, ke apalagi sekarang Bung Ganjar, benar gak, Pak?” Ya udah gak perlu saya jawab lagi, ya gitu lah,” jawab Presiden Jokowi. Keduanya pembawa cara yang saya puji karena cara mengantarkan diskusi tema politik dalam kemasan segar dan penuh ger-geran itu lantas menganalisa macam-macam.  “Jangan-jangan, apa yang gue omongin itu benar ya?” kata Arie.

Bagian yang paling banyak diulas dari pertemuan itu adalah Presiden mengaku bahwa dia tidak bisa bersikap netral dalam Pemilu 2024, terutama soal Pilpres.  Memang kata-kata persis presiden bisa berbeda sedikit antara satu dengan yang lain di antara yang hadir, karena seperti biasanya tidak boleh membawa telepon pintar saat pertemuan dengan presiden, sehingga tidak bisa merekam.

Dari obrolan Total Politik ini, Arie mengatakan, bahwa, “Bahasanya masih high context belum low politic.  Tapi, gini, yang penting itu  kata Presiden bukan hanya capres dan cawapresnya. Tapi juga kabinetnya. Jadi ada beberapa kali presiden menyebut kata kabinet. Ketika ditanyakan siapa namanya (yang didukung di Pilres). Jadi, Presiden menegaskan, 'Saya tidak akan netral'.”

Dari laman Kompas.com, disebutkan  Presiden Jokowi mengatakan,  “Saya harus cawe-cawe.” Jokowi mengklaim dirinya harus cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara.  Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh?

“Ini saya tidak akan menggunakan tentara. Bahwa saya punya cara cawe-cawe dan saya tahu persis bagaimana cara berpolitik yang baik,”kata Jokowi yang mengucapkan istilah itu beberapa kali, bahkan menegaskan lagi di ujung pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam, diselingi makan penganan seperti bakso dan siomai.

Arie mendapatkan kesan Presiden seperti curhat.  Begitu duduk mulai acara, Presiden menyebut nama ketua-ketua partai politik yang pernah bertemu dia di Istana. “Jokes-nya agak dark. Kemarin si ini ke sini. Terus ketemu sama si yang itu.  Habis itu, mengklaim kita sudah direstui. Habis itu si itu juga ke sini.  Habis itu si itu ketemu dengan yang itu.  Habis itu dia bilang kira sudah direstui. Presiden bilang, saya ini gimana ya,  kita ini harus menjadi tempat yang dipersalahkan. Itu bahasanya Presiden.”

Ketika saya cek ke sejumlah peserta yang hadir, Jokowi juga mengaku bertemu dengan pihak Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Rupanya teman-teman jurnalis yang hadir mengkonfirmasi ke parpol yang disebut itu.  Partai Demokrat lewat sekretaris jenderalnya kemudian memberikan klarifikasi resmi secara tertulis.  Pihak PKS yang saya kontak membenarkan ada pertemuan itu, biasanya malam hari.  “Biar tidak ketahuan mungkin,” ujar sumber itu.  Dia mengatakan, hal yang wajar jika PKS atau parpol lain memenuhi undangan Presiden RI.

Jelas lewat pertemuan itu, Jokowi bertujuan menyebarkan pesan bahwa dia tidak akan netral dan akan cawe-cawe.  Ini hal yang jadi sumber kritikan di publik baik di media maupun media sosial.  Tidak kurang dari Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, melontarkan bahwa Presiden sebagai kepala negara sebaiknya netral.  Jusuf Kalla pernah menjadi wakil presiden Jokowi, 2014-2019. 

Dalam wawancara kami di program "RealTalk with Uni Lubis", Jusuf Kalla memberikan contoh, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Megawati Soekarnoputri, bersikap netral dan tidak ikut sibuk mengurusi konfigurasi capres-cawapres jelang selesai masa jabatan.  “Kalau Pak Jokowi itu incumbent, masih satu periode, boleh.  Tapi ini dia sudah tidak akan menjabat,” kata JK.

Baca Juga: Jusuf Kalla: SBY dan Mega Tak Cawe-Cawe Pilpres Periode Berikutnya

Empat Hal yang Bikin Jokowi Cawe-Cawe di Pilpres 2024Arie Putra dan Budi Adiputro, co-founder dan co-host Total Politik. (Tangkapan layar YouTube)

Sementara Jokowi, dalam berbagai pertemuan publik, melontarkan kriteria yang merujuk ke sosok tertentu, bahkan menjadi rahasia umum dari pengakuan para petinggi di partai dalam Koalisi Indonesia Bersatu, mereka menunggu sinyal ke arah mana Jokowi menjatuhkan pilihan di Pilpres 2024.

Jadi, mengapa Jokowi begitu getol dan berkepentingan ikut menentukan siapa penerusnya?  Dan sebagaimana yang disebutkan di pertemuan di Istana itu, bagaimana susunan kabinetnya? 

Ada empat hal, yang minimal, menurut saya membuat Jokowi merasa harus cawe-cawe dan tidak bisa netral.

Pertama, Jokowi ingin memastikan bahwa mega-proyek yang dibangun, dan sedang dalam proses pembangunan akan dilanjutkan oleh penerusnya.  Yang paling jelas karena sifat proyeknya adalah jamak tahun (multiyears), adalah Ibu Kota Negara (IKN). Jangan kan keberlangsungannya. Apakah IKN ini akan terwujud seperti mimpi Jokowi, masih jadi pertanyaan besar.  Padahal Jokowi terlibat sangat aktif mempromosikan IKN, membujuk calon investor, termasuk lewat berbagai pertemuan dunia maupun pertemuan bilateral dengan pemimpin dunia.  Saya menyaksikan beberapa upaya kampanye mengundang investor itu termasuk oleh Menteri dan otorita IKN di Paviliun Indonesia di sela acara Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2023 di Davos, Swis. Upaya yang menurut saya kurang efektif dibandingkan dengan biaya mahal untuk datang ke WEF, padahal yang hadir tidak terlalu banyak. 

Saat memandu acara panel diskusi soal IKN, di Indonesia-China SmartCity Conference, pekan lalu, saya dapat informasi  lebih dari 200-an Letter of Intent (LoI) yang diteken.  Masalahnya, mana duit investasinya? “Show me the money,” kata Ali Berawi, Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN. Upaya teranyar Jokowi adalah menugasi Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi ketua Satuan Tugas Khusus Percepatan Investasi di IKN.  Ada yang pernah menghitung, LBP punya 27 penugasan khusus selain menko marves.  Nampaknya, jika ada yang macet, Jokowi berpaling ke Luhut.  Jokowi ingin memastikan presiden berikutnya melanjutkan IKN dan proyek infrastruktur yang dia bangun. Dia bisa mengandalkan itu jika yang terpilih Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.  Melihat ada kepentingan bisnis keluarga Prabowo di sekitar lokasi IKN, saya menduga Jokowi lebih yakin mendukung Prabowo. Tentu dia tidak mudah mengintervensi Ganjar yang di belakangnya ada hak prerogatif Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Jokowi bisa jadi bersemangat cawe-cawe memastikan hanya dua pasangan di Pilpres 2023, yaitu Ganjar dan Prabowo. Dorongan ke Prabowo diharapkan memecah suara untuk Anies Baswedan.

Kedua, Jokowi sedang membangun dinasti politik, dan berharap anak dan menantunya naik posisi politiknya. Kita lihat, tanpa malu-malu, Jokowi mendukung anak dan menantunya ikut dalam kompetisi menjadi kepala daerah, saat Jokowi masih menjabat presiden. Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo, melanjutkan sejarah kepemimpinan bapaknya. Bobby Nasution menantu Jokowi menjadi Wali Kota Medan. Dalam wawacara dengan saya, Gibran mengatakan dia mendapatkan jabatan itu lewat mekanisme resmi, adil, dipilih oleh rakyat. Mungkin untuk membedakan dengan Presiden Soeharto yang mengangkat putrinya, Tutut Soeharto, menjadi menteri sosial saat Soeharto masih menjabat Presiden. Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep bersiap masuk ke politik juga, dan disebut berminat jadi Wali Kota di Depok, Jawa Barat. Jokowi ingin memastikan karier politik anak dan menantu terjaga, dan bahkan bisa mengikuti jejak ayahnya. Siapa tahu?

Ketiga, Jokowi ingin memastikan sesudah dia tidak berkuasa, tidak ada masalah hukum yang menjeratnya. Termasuk dari proyek yang kontroversial karena investasinya bengkak, seperti Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dan lainnya. Supaya aman, maka posisi capres, cawapres, bahkan kabinetnya, seperti disebut dalam pertemuan Senin sore di Istana, harus orang-orang yang bisa menjamin ini. Tidak hanya menjamin keberlanjutan proyek, loyal, tapi juga memastikan tidak ada masalah hukum di kemudian hari. Kita tahu bahwa Presiden SBY dikaitkan dengan proyek Hambalang. Dan, Megawati dikaitkan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Keempat,   Jokowi, sebagaimana dia sampaikan, ingin cawe-cawe di Pilpres 2023 untuk kepentingan bangsa dan negara. Agar pembangunan Indonesia berlanjut, terutama yang bermanfaat untuk rakyat. Posisi Indonesia saat ini sedang baik di mata internasional, terutama setelah sukses memimpin dan menjadi tuan rumah KTT G20 dan KTT ASEAN.  Ini juga fakta.  Meskipun di periode pertama memimpin, Jokowi kurang tertarik dengan forum dunia (dalam wawancara dengan saya di Istana Bogor, Desember 2022, Jokowi beralasan, biaya ke luar negeri ramai-ramai itu mahal). Di periode kedua, Jokowi lebih melihat ke luar dan semangat datang ke forum internasional dan bertemu kepala negara lain. Tentu ada kepentingan “berjualan” IKN. Nah, posisi Indonesia yang baik, itu didukung oleh stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri.  Belajar dari pengalaman, Jokowi baru bisa konsolidasi penuh di periode kedua. 

Padahal saat ini, sebagaimana dibahas juga di berbagai kesempatan oleh Jokowi, tantangan dunia sangat kompleks. Konflik geopolitik yang tak jelas kapan selesai.  Apalagi Presiden  Rusia Vladimir Putin punya alasan yang membuat dia tak bisa begitu saja menyudahi perang dengan Ukraina. Konflik geopolitik ini sudah mengganggu ekonomi, dan agenda global penting lain termasuk perubahan iklim, krisis energi dan krisis pangan. Jokowi ingin memastikan bahwa penggantinya memiliki kemampuan membangun koalisi yang solid di parlemen, berkomunikasi dengan baik dan bahkan punya hubungan informal dengan tokoh kunci dunia.  Karena, tidak bisa menunggu ke periode kedua saat kondisi dunia seperti saat ini.  Harus nge-gas sejak awal. Begitu juga kabinetnya. Tidak ada waktu belajar menyesuaikan dengan tugas baru. Harus yang berpengalaman dan sudah terlibat dengan penanganan situasi dunia saat ini.

Itu empat hal yang menurut saya membuat Jokowi cawe-cawe di Pilpres 2024.  Pembaca bisa sepakat atau tidak, bisa pula menambahkan alasan lain. 

Yang jelas, di era digital memaksa semua orang transparan, tidak ada yang bisa memonopoli informasi dan kebenaran. Begitu Jokowi, menyebut nama parpol atau seseorang ingin menemuinya, media mencari konfirmasi. Hari ini misalnya, Partai Demokrat menyampaikan klarifikasi. Ketua parpol yang disebut namanya, menceritakan versi yang berbeda pula kepada saya. Siapa yang benar, siapa yang mengarang bebas? Saya belum bisa memutuskan. Dalam politik, apalagi di masa memanasnya kompetisi Pilpres, beragam informasi masuk ke media, ke jurnalis dengan versinya masing-masing. Semua masih berkembang, bergulir, masih cair.

Baca Juga: Disebut Jokowi Hanya Mau Bertemu Malam Hari, Ini Penjelasan Demokrat

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya