Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AS Sanksi Militan Kongo dan Perusahaan China, Kenapa?

bendera Republik Demokratik Kongo. (unsplash.com/ aboodi vesakaran)
bendera Republik Demokratik Kongo. (unsplash.com/ aboodi vesakaran)
Intinya sih...
  • Pareco-FF memaksa kerja tambang dan menjual mineral ilegal.
  • Sanksi AS datang di tengah gencatan senjata rapuh antara Kongo dan M23.
  • Konflik mengganggu akses AS ke coltan yang vital bagi produksi elektronik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Selasa (12/8/2025) menjatuhkan sanksi kepada kelompok militan Pareco-FF serta tiga perusahaan yang terkait dengan penambangan ilegal di Republik Demokratik Kongo (DRC). Sanksi ini menargetkan perusahaan tambang Kongo Cooperative des Artisanaux Miniers du Congo (CDMC) dan dua perusahaan ekspor yang berbasis di Hong Kong, East Rise Corporation Limited serta Star Dragon Corporation Limited.

Akibatnya, semua aset dan kepentingan properti milik tersanksi yang berada di yurisdiksi AS akan dibekukan. Mereka dituduh terlibat dalam kekerasan, korupsi, dan eksploitasi mineral konflik di area pertambangan Rubaya.

1. Pareco-FF memberlakukan kerja paksa di tambangnya

Menurut Kementerian Keuangan AS, kelompok Pareco-FF menguasai sejumlah situs tambang penting di Rubaya dari tahun 2022 hingga awal 2024. Selama periode tersebut, mereka meraup untung dengan mengawasi operasi penambangan dan memberlakukan pajak ilegal kepada para penambang.

Sementara itu, CDMC berperan sebagai penjual mineral yang ditambang dari area-area di bawah kendali Pareco-FF. Mineral tersebut dijual kembali oleh CDMC kepada dua perusahaan ekspor Hong Kong, East Rise dan Star Dragon.

Praktik ini tidak hanya ilegal, tetapi juga disertai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. AS menuduh Pareco-FF telah memberlakukan kerja paksa dan melakukan eksekusi terhadap warga sipil di area pertambangan yang mereka kuasai.

"Perdagangan mineral konflik memakan korban jiwa yang mematikan bagi warga sipil Kongo, memicu korupsi, dan menghalangi bisnis yang taat hukum untuk berinvestasi di DRC," kata Wakil Menteri Keuangan AS untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan, John K. Hurley.

2. Sanksi di tengah upaya perdamaian yang rapuh

Saat ini, situasi keamanan masih sangat rapuh di wilayah timur Kongo. Padahal, gencatan senjata permanen yang dimediasi oleh AS antara tentara Kongo dan kelompok pemberontak M23 baru saja disepakati pada pertengahan Juli.

Namun, kedua belah pihak saling menuduh melakukan pelanggaran kesepakatan damai. Juru bicara militer Kongo mengklaim M23 hampir setiap hari melakukan pelanggaran yang disengaja, sementara M23 menuduh balik pemerintah sedang merencanakan perang total.

Upaya perdamaian ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian antara pemerintah Kongo dan Rwanda yang ditandatangani di Washington pada bulan Juni lalu. Meskipun ada kesepakatan, kekerasan di lapangan terus berlanjut dan bahkan semakin intensif di sekitar kota Mulamba, Provinsi Kivu Selatan.

"Amerika Serikat mengirimkan pesan yang jelas bahwa tidak ada kelompok bersenjata atau entitas komersial yang kebal dari sanksi jika mereka merusak perdamaian, stabilitas, atau keamanan di DRC," tutur Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, dilansir dari Al Jazeera.

3. Konflik mengganggu akses AS ke coltan yang berharga

Wilayah Rubaya merupakan area strategis yang kaya akan coltan, mineral yang vital untuk produksi perangkat elektronik. Area ini memproduksi sekitar 15 hingga 30 persen dari total pasokan coltan global.

Kementerian Keuangan AS mengungkap bahwa mineral yang bersumber dari wilayah konflik ini sering kali diselundupkan melalui negara tetangga, Rwanda. Dari sana, mineral tersebut kemudian diangkut ke negara-negara pengolah utama seperti China untuk diproses lebih lanjut.

"Kementerian Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan terhadap kelompok-kelompok yang mengganggu akses Amerika Serikat dan sekutu kami terhadap mineral-mineral penting yang vital bagi pertahanan nasional kami," ujar Hurley, dikutip dari Bloomberg.

Konflik di wilayah ini cukup kompleks, di mana Pareco-FF sendiri muncul pada tahun 2022 sebagai respons atas kebangkitan kembali kelompok M23 yang didukung Rwanda. Ironisnya, area Rubaya yang sebelumnya dikuasai Pareco-FF, kini berada di bawah kendali M23, yang juga sudah lebih dulu dikenai sanksi oleh AS.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us