Bisakah Pemerintah AS Mencabut Status Kewarganegaraan Zohran Mamdani?

- Politikus Partai Republik menuduh Mamdani memperoleh kewarganegaraan AS melalui "penyembunyian atau penyampaian informasi palsu terkait dukungan terhadap terorisme."
- Pemerintahan Trump menghidupkan kembali program denaturalization, mencabut kewarganegaraan warga naturalisasi dengan proses hukum yang berpotensi membahayakan hak sipil.
Jakarta, IDN Times - Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota baru New York City bukan hanya momen bersejarah karena ia menjadi Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama yang menduduki jabatan itu, tetapi juga pemicu perdebatan nasional tentang batas kewarganegaraan di Amerika. Setelah hasil pemilu diumumkan, gelombang reaksi datang bukan dari warga kota, melainkan dari Washington.
Sejumlah politikus Partai Republik termasuk Presiden Donald Trump sendiri bahkan menuding Mamdani tidak sah menjadi warga negara, bahkan mengusulkan pencabutan kewarganegaraannya.
Trump kembali menjadikan imigran sebagai kambing hitam untuk menjelaskan persoalan ekonomi, kriminalitas, dan ketidakstabilan sosial di Amerika. Dalam berbagai pidato dan wawancara, ia berulang kali menyinggung deportasi massal, bahkan terhadap warga negara yang sah.
Secara aturan negara, bisakah status kewarganegaraan Zohran Mamdani dicabut?
1. Kampanye dan politik ketakutan

Andy Ogles, anggota Partai Republik dari Tennessee, mengirim surat kepada Jaksa Agung Pam Bondi pada 26 Juni, meminta Departemen Kehakiman menyelidiki kemungkinan pencabutan kewarganegaraan terhadap Zohran Mamdani. Dalam surat itu, ia menuduh Mamdani, yang dikenal sebagai demokrat sosialis, memperoleh kewarganegaraan AS melalui “penyembunyian atau penyampaian informasi palsu terkait dukungan terhadap terorisme.”
Melalui unggahan di X, Ogles menulis bahwa “Zohran ‘little Muhammad’ Mamdani adalah sosialis, komunis, dan antisemit yang akan menghancurkan Kota New York. Ia harus dideportasi.” Serangan tersebut memicu kecaman luas karena dianggap rasis dan Islamofobik, menandai meningkatnya retorika ekstrem terhadap pejabat publik keturunan imigran setelah kemenangan politik Mamdani.
Komentar-komentar ini memperlihatkan bagaimana isu kewarganegaraan kembali dijadikan alat politik. Mamdani, seorang warga naturalisasi kelahiran Uganda yang kini dikenal sebagai sosialis demokrat, menanggapi ancaman itu dengan tegas.
“Presiden Amerika Serikat baru saja mengancam akan mencabut kewarganegaraan saya dan menahan saya, bukan karena saya melanggar hukum, tetapi karena saya menolak membiarkan ICE menebar teror di kota saya.” mengutip TIME.
2. Denaturalisasi sebagai senjata politik

Menurut laporan TIME, pemerintahan Trump menghidupkan kembali program denaturalization, yaitu proses hukum yang mencabut kewarganegaraan warga naturalisasi. Akar hukumnya panjang, berasal dari awal abad ke-20 ketika Amerika menggunakan denaturalisasi untuk menyingkirkan warga yang dianggap “tidak cukup Amerika.”
Kini, kebijakan itu muncul dalam bentuk baru. Melalui memo dari Departemen Kehakiman, pemerintahan Trump memerintahkan agar proses denaturalisasi “diprioritaskan dan dimaksimalkan di semua kasus yang didukung bukti.” Targetnya disebut mencakup pelaku kejahatan, teroris, atau siapa pun yang “mengancam keamanan nasional.”
Namun, kelompok pembela hak sipil seperti National Association of Criminal Defense Lawyers menilai langkah ini berbahaya karena menggunakan proses perdata dengan beban pembuktian yang lebih rendah dan tanpa jaminan pengacara. Mereka menilai kebijakan itu “mengabaikan Amandemen Keempat Belas” dan membuka peluang pelecehan hukum terhadap warga naturalisasi.
3. Ketegangan politik dan gelombang kritik

PolitiFact dan Al Jazeera mencatat bahwa kebijakan imigrasi Trump menuai reaksi luas di dalam negeri. Partai Demokrat menuduh pemerintahan Trump menggunakan isu imigrasi sebagai pengalih perhatian dari krisis fiskal dan shutdown yang melumpuhkan layanan publik.
Ekonom memperingatkan potensi kerugian ratusan juta dolar akibat kebijakan yang dianggap diskriminatif dan kontraproduktif. Sementara itu, kelompok progresif menilai retorika anti-imigran memperkuat politik kebencian. Mamdani, yang sering diserang karena pandangan sosialistiknya, menjadi simbol perlawanan terhadap gelombang nasionalisme eksklusif yang kembali mencuat.
4. Ancaman terhadap makna kewarganegaraan

Langkah denaturalisasi massal dinilai mengikis prinsip dasar kewarganegaraan Amerika yang lahir dari Amandemen Keempat Belas, bahwa setiap orang yang menjadi warga negara memiliki hak yang sama tanpa syarat. Patrick Weil, sejarawan dan pakar hukum dari Yale, mengingatkan bahwa sejarah denaturalisasi di AS selalu dimulai dari pembenaran legal dan berakhir pada pelanggaran hak asasi.
Dalam konteks politik saat ini, ancaman mencabut kewarganegaraan lawan politik bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga ujian moral bagi demokrasi Amerika. Retorika seperti ini menciptakan iklim ketakutan yang mengaburkan batas antara perlindungan negara dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika Trump kembali memainkan isu imigrasi untuk mengukuhkan kekuasaannya, Amerika dihadapkan pada dilema lama: apakah kewarganegaraan adalah hak yang tak tergantikan, atau sekadar status yang bisa dicabut demi kepentingan politik? Dalam perdebatan itu, masa depan jutaan warga naturalisasi, dan kredibilitas demokrasi Amerika akan dipertaruhkan.
5. Bisakah kewarganegaraan Mamdani benar-benar dicabut?

Secara hukum, pencabutan kewarganegaraan warga naturalisasi memang dimungkinkan, tetapi kemungkinannya sangat kecil. Berdasarkan analisis para ahli hukum yang dikutip PolitiFact dan TIME, proses denaturalisasi hanya dapat dilakukan melalui keputusan pengadilan federal, bukan lewat perintah presiden atau pejabat politik mana pun.
Pemerintah harus membuktikan dengan standar hukum yang sangat tinggi bahwa seseorang dengan sengaja menyembunyikan fakta penting atau berbohong selama proses naturalisasi, dan bahwa kebohongan itu akan mengubah hasil naturalisasinya jika terungkap pada waktu itu.
Dalam praktiknya, denaturalisasi biasanya hanya diterapkan pada pelaku kejahatan berat seperti mantan anggota rezim Nazi, teroris, atau pelaku penipuan besar dalam imigrasi. Karena itu, tuduhan terhadap Zohran Mamdani yang didasari pandangan politiknya hampir mustahil menjadi alasan hukum yang sah untuk mencabut status kewarganegaraannya.



















