Di Tengah Reruntuhan, Relawan Afghanistan Berjuang Selamatkan Nyawa

- Jumlah korban mungkin jauh lebih banyak dari yang dirilis pemerintah, dengan desa-desa rata dengan tanah dan warga terperangkap di bawah reruntuhan.
- Raheem harus menyeimbangkan tugas menyelamatkan nyawa orang lain dengan kekhawatiran akan keluarganya yang masih trauma pasca gempa.
- Gempa bumi membuka trauma lama bagi rakyat Afghanistan, dengan ribuan keluarga yang kembali merasakan ketakutan dan para relawan berjuang melawan waktu untuk menyelamatkan sesama.
Jakarta, IDN Times – Di provinsi pegunungan Kunar, Afghanistan timur, seorang pria bernama Syed Raheem berdiri di atas puing-puing rumah tetangganya yang hancur akibat gempa Magnitudo 6,0 pada Minggu (31/8/2025) malam. Ia sadar, rumahnya sendiri bisa saja mengalami nasib serupa. Namun, Raheem tidak punya waktu untuk memikirkan keberuntungannya, ia harus segera bekerja.
Raheem bertugas mengkoordinasikan tim darurat, termasuk perawat dan dokter untuk mencari korban yang terjebak di bawah reruntuhan di desa-desa terpencil. Setiap jam terasa berharga.
“Mereka menyelamatkan banyak orang,” katanya dalam sambungan telepon dari desa Naoabad.
“Orang-orang di desa sangat ketakutan,” ujar Raheem, dikutip dari Al Jazeera, Senin (1/9/2025).
Di lapangan, tim penyelamat menemukan korban yang sudah tak bernyawa bercampur dengan yang masih hidup. Korban luka segera ditangani, sebagian dievakuasi dengan ambulans atau helikopter ke kota Jalalabad, pusat terdekat yang masih memiliki fasilitas medis.
1. Korban mungkin jauh lebih banyak
Menurut Raheem, jumlah korban resmi yang dirilis pemerintah kemungkinan besar masih jauh dari kenyataan. Timnya terus melaporkan adanya desa-desa yang seluruh rumahnya rata dengan tanah, dengan warga yang masih terperangkap di bawah bongkahan batu.
“Beberapa orang mengirim pesan kepada kami, mengatakan rumah mereka hancur dan masih ada orang yang tertimbun,” ujarnya. Kondisi geografis Kunar yang bergunung-gunung membuat proses evakuasi berlangsung lambat.
Meski begitu, Raheem dan timnya bergerak cepat selagi matahari masih bersinar. Setiap menit yang terbuang bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati bagi mereka yang masih tertimbun.
2. Antara tugas dan keluarga
Di tengah kesibukan menyelamatkan nyawa orang lain, Raheem tidak bisa sepenuhnya mengabaikan keluarganya. Ia memiliki seorang anak laki-laki kecil yang juga menunggunya di rumah. Namun, ketakutan pascagempa masih terus membayangi keluarganya.
“Setelah saya pulang ke rumah, kami tidak bisa tidur. Kami takut gempa akan datang lagi,” ucapnya lirih.
Kisah Raheem menggambarkan duka mendalam yang kini melanda ribuan keluarga di Afghanistan timur. Saat angka resmi korban tewas mencapai lebih dari 600 orang, para relawan seperti Raheem tetap bekerja di garis depan, berjuang melawan waktu, kelelahan, dan rasa takut demi menyelamatkan sesama.
3. Membuka trauma kembali

Bagi rakyat Afghanistan, luka ini terasa akrab. Baru Oktober 2023 lalu gempa dahsyat mengguncang Provinsi Herat dan merenggut lebih dari 2.400 jiwa.
Kini, di Kunar dan Nangarhar, ketakutan itu kembali nyata—seolah tragedi tak memberi waktu untuk sembuh. “Orang-orang desa sangat ketakutan,” kata Raheem seraya menunduk menahan perasaan. “Tapi kami harus bekerja cepat, selama masih ada cahaya,” ujarnya.