Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fakta-Fakta Al-Majd Europe: Dalang Evakuasi Gaza yang Jadi Sorotan

ilustrasi pesawat terbang (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi pesawat terbang (pexels.com/Pixabay)
Intinya sih...
  • Al-Majd Europe mengklaim sebagai penyelenggara evakuasi darurat dan bantuan medis bagi komunitas Muslim di wilayah perang, namun situs resminya baru didaftarkan pada Februari 2025.
  • Prosedur evakuasi dilakukan dengan biaya tinggi, berlapis, dan membingungkan, serta menimbulkan penderitaan bagi penumpang yang terjebak dalam pesawat selama hampir 12 jam.
  • Otoritas Israel mempermudah perpindahan warga Gaza ke pos Karem Abu Salem, sementara Afrika Selatan menuntut penyelidikan terhadap Al-Majd Europe dan sikap pemerintahnya yang dinilai mencoreng posisi negara itu sebagai pendukung Palestina.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Dunia kembali menyoroti arus pengungsian dari Gaza setelah sebuah pesawat carter berisi 153 warga Palestina mendarat tiba-tiba di Johannesburg. Kedatangan mendadak tanpa dokumen lengkap itu membuat aparat Afrika Selatan kebingungan menghadapi situasi yang tak memiliki kejelasan prosedur. Kondisi ini langsung mencuri perhatian publik karena evakuasi tersebut berlangsung dengan cara yang tak lazim dan sarat tanda tanya.

Para penumpang akhirnya diizinkan turun setelah hampir 12 jam berada di landasan panas tanpa kepastian. Mereka kemudian diserahkan ke badan amal lokal Gift of the Givers (GOTG) yang menyediakan tempat singgah sementara. Evakuasi itu disebut sebagai bagian dari program yang dijalankan Al-Majd Europe, sebuah kelompok yang mengaku mengatur operasi penyelamatan dari zona konflik namun dipersoalkan karena dituding terkait dugaan pengusiran etnis oleh Israel.

1. Organisasi yang mengklaim ahli evakuasi konflik

ilustrasi bangunan hancur imbas perang (pexels.com/Ahmed akacha)
ilustrasi bangunan hancur imbas perang (pexels.com/Ahmed akacha)

Dilansir dari Al Jazeea, Al-Majd Europe menyebut diri sebagai lembaga yang berdiri sejak 2010 di Jerman, dengan pusat komando berlokasi di Yerusalem. Mereka memposisikan diri sebagai penyelenggara evakuasi darurat, distribusi makanan mendesak, serta bantuan medis bagi komunitas Muslim yang berada di wilayah perang. Narasi ini membangun citra sebagai penyelamat bagi penduduk yang hidup dalam tekanan konflik berkepanjangan.

Situs resmi kelompok itu menyoroti kemampuan mengakses layanan kesehatan vital bagi pasien serta proses perjalanan ke luar negeri bersama anggota keluarga. Borang pendaftaran di laman tersebut ditujukan khusus bagi warga Gaza yang masih bertahan dan ingin keluar untuk memulai kehidupan baru.

Namun, catatan digital menunjukkan domain almajdeurope.org baru didaftarkan pada Februari 2025. Situs itu tidak mencantumkan alamat fisik maupun nomor telepon resmi, selain petunjuk lokasi di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, yang tidak dapat diverifikasi oleh Al Jazeera. Respons otomatis dari surel info@almajdeurope.org bahkan menyatakan bahwa akun tersebut tidak ada, sehingga menambah keraguan publik mengenai validitas organisasi ini.

2. Prosedur evakuasi yang berlapis dan membingungkan

ilustrasi pembayaran
ilustrasi pembayaran (pexels.com/Karola G)

Kisah ini bermula ketika Loay Abu Saif melihat promosi evakuasi di media sosial dan memutuskan kabur bersama keluarganya ke Johannesburg. Setiap penumpang dikenai biaya antara 1.500 hingga 5 ribu dolar Amerika Serikat (AS) setara Rp25-83 juta, melalui transfer ke rekening pribadi, bukan lembaga resmi.

Para peserta evakuasi diarahkan berkumpul di titik tertentu di Gaza sebelum dipindahkan menuju pos lintas Karem Abu Salem. Setelah itu, mereka diterbangkan melalui Bandara Ramon di Israel, transit di Nairobi, lalu mendarat di Johannesburg. Boarding pass mereka memuat tujuan berbeda-beda seperti India, Malaysia, dan Indonesia, sehingga hampir semua penumpang tidak mengetahui ujung perjalanan yang sesungguhnya.

Penerbangan itu terjebak di landasan hampir 12 jam lantaran ketiadaan stempel keluar Gaza dan gagalnya rencana penginapan. Di dalam kabin, suasananya amat memprihatinkan karena tidak tersedia makanan dan minuman, popok bayi tidak diganti seharian, serta beberapa balita mengalami kejang. Begitu mendarat, penumpang hanya diberikan alamat tempat tinggal sementara selama seminggu, sebelum saluran WhatsApp penyelenggara hilang begitu saja.

Gelombang ini merupakan penerbangan kedua setelah perjalanan pertama pada 28 Oktober 2025 yang membawa sekitar 180 orang. Mereka juga mendarat tanpa arahan jelas dan hanya mendapatkan tempat singgah sementara. Beberapa penumpang dari kelompok awal bahkan menunggu kerabat yang ikut penerbangan lanjutan.

3. Peran otoritas Israel dan reaksi Afrika Selatan

Bendera Afrika Selatan (pexels.com/Engin Akyurt)
Bendera Afrika Selatan (pexels.com/Engin Akyurt)

Seorang pejabat militer Israel tanpa identitas mengonfirmasi kepada Associated Press (AP) bahwa Israel mempermudah perpindahan warga Gaza ke pos Karem Abu Salem. Juru bicara Badan Koordinasi Urusan Pemerintahan di Wilayah Pendudukan (COGAT), Shimi Zuaretz, mengatakan izin diberikan setelah negara ketiga menyetujui penampungan, meski ia tidak menjelaskan negara mana yang dimaksud.

Penumpang mengalami kehilangan barang bawaan karena mereka hanya diperbolehkan membawa dompet, ponsel, paspor, serta pakaian di badan. Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menggambarkan warga itu sebagai orang-orang dari Gaza yang secara misterius ditempatkan di pesawat dan patut diselidiki karena terlihat seperti telah dibuang dari wilayah asalnya. Komentar tersebut memperlihatkan betapa anehnya mekanisme transfer ini di mata pemerintah setempat.

Duta Besar Palestina di Afrika Selatan memberikan pernyataannya.

“Organisasi tidak terdaftar dan menyesatkan yang mengeksploitasi kondisi kemanusiaan tragis rakyat kami di Gaza, menipu keluarga, mengumpulkan uang, dan memfasilitasi perjalanan secara tidak teratur dan tidak bertanggung jawab,” ujarnya, dikutip dari Middle East Eye.

Aparat intelijen Afrika Selatan kini tengah mendalami kasus untuk mengetahui pihak yang mengatur dan tujuan akhir operasi ini.

4. Tuduhan kedok Israel hingga anomali konten situs

bendera Israel
bendera Israel (pexels.com/Leon Natan)

Dilansir dari Middle East Eye, pegiat Na’eem Jeenah, seorang akademisi dan aktivis di Johannesburg, menilai Al-Majd Europe sebagai kedok bagi negara Israel dan dinas rahasianya untuk mendukung pengusiran etnis Gaza. Aktivis Social Intifada, Khalid Vawda, menambahkan bahwa Israel memanfaatkan kerentanan warga Palestina yang mengalami gangguan stres pascatrauma akibat dua tahun genosida sekaligus meraup keuntungan dari kondisi tersebut. Suara-suara kritis ini memperluas spektrum kecurigaan publik.

Salah satu konten situs Al-Majd menampilkan kisah Mona berusia 29 tahun dari Aleppo bertanggal 22 Maret 2023. Namun, domain situs baru didaftarkan sepuluh bulan setelah tanggal tersebut. Foto yang menyertai kisah itu memperlihatkan Abeer Khayat berusia 33 tahun saat dipotret jurnalis Madeline Edwards pada 2024 di Tripoli, Lebanon, untuk Middle East Eye.

Pegiat Sarah Oosthuizen yang membantu para penumpang di Johannesburg menyamakan situasi itu dengan perdagangan manusia karena peserta evakuasi tidak mengetahui tujuan akhir. Banyak warga Gaza menghubungi Al-Majd melalui utusan Palestina di WhatsApp, menganggapnya sebagai satu-satunya jalur keluar karena penyeberangan Rafah ditutup.

5. Respons Afrika Selatan dan seruan investigasi

ilustrasi bandara (pexels.com/Kelly)
ilustrasi bandara (pexels.com/Kelly)

Setelah lobi dari kelompok masyarakat sipil, pemerintah Afrika Selatan mengizinkan penumpang turun dan memberikan visa tinggal 90 hari atas dasar kemanusiaan. GOTG menyediakan akomodasi sementara bagi para pengungsi yang kelelahan setelah perjalanan panjang tanpa kepastian. Dari seluruh penumpang, 23 orang melanjutkan perjalanan ke negara lain tanpa keterangan lebih jauh.

Para pegiat menuntut penyelidikan menyeluruh terhadap Al-Majd Europe serta sikap pemerintah Afrika Selatan, yang dinilai mencoreng posisi negara itu sebagai pendukung Palestina di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ). Mereka memandang pola keberangkatan warga Gaza mengindikasikan adanya campur tangan dalam negara Israel dan pelanggaran hak asasi warga yang ingin melarikan diri dari kekejaman genosida. Seruan ini memperlihatkan urgensi untuk membuka seluk-beluk operasi tersebut.

Kementerian Luar Negeri Palestina menyampaikan apresiasi kepada pemerintahan Ramaphosa, meskipun pegiat mengkritik Otoritas Pengelola Perbatasan yang dianggap lamban merespons situasi darurat para penumpang. Menteri Dalam Negeri Leon Schreiber dari Aliansi Demokrat (DA) turut terlibat dalam keputusan akhir setelah data tambahan diajukan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Pratikno: Indonesia Bisa Jadi Pemasok Tenaga Kerja Terampil

18 Nov 2025, 23:31 WIBNews