Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Wali Kota New York Zohran Mamdani Dituduh Komunis oleh Trump?

Wali Kota New York Terpilih, Zohran Mamdani
Wali Kota New York Terpilih, Zohran Mamdani (Karamccurdy, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Mamdani adalah sosialis demokrat, bukan komunis.
  • Tuduhan komunis dipicu oleh proposal kebijakannya.
  • Label komunis sering digunakan sebagai senjata politik di AS.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Zohran Mamdani telah memenangkan pemilihan Wali Kota New York City, menjadikannya sebagai pemimpin muslim pertama dan termuda di kota itu dalam beberapa dekade terakhir. Kemenangan politisi berusia 34 tahun ini terjadi di tengah gelombang disinformasi dan klaim palsu yang beredar luas tentang dirinya. Salah satu tuduhan paling viral datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang melabeli Mamdani sebagai seorang komunis gila.

Mamdani sendiri telah berulang kali membantah klaim tersebut dan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang sosialis demokrat. Beberapa pakar politik juga menilai label komunis yang dilontarkan Trump dan pendukungnya tidak akurat. Berikut penjelasannya!

1. Sosialis demokrat bukan komunis, ini bedanya

Mamdani merupakan anggota dari Democratic Socialists of America (DSA) sejak 2017 dan mengusung ideologi sosialisme demokrat. Inti dari sosialisme demokrat adalah mewujudkan masyarakat yang lebih egaliter dengan memberikan kontrol publik yang lebih besar terhadap sumber daya dan institusi. Gerakan ini tidak menuntut penghapusan total pasar bebas, melainkan mendorong agar kegiatan ekonomi diatur untuk kepentingan rakyat, bukan demi keuntungan.

Menurut pakar, Mamdani tidak mengadvokasi penghapusan kepemilikan pribadi atau kontrol negara atas semua industri, yang merupakan prinsip inti komunisme. Sosialis demokrat seperti Mamdani tetap berkomitmen pada proses demokrasi, mendengarkan pemilih, dan bersaing dalam pemilihan umum untuk mencapai kekuasaan. Tujuannya adalah reformasi dalam sistem yang ada, bukan revolusi total atau menggulingkan sistem politik.

Berbeda dengan sosialisme demokrat, komunisme mendasarkan diri pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat tanpa adanya kekuatan pasar. Menurut Anna Grzymala-Busse, seorang profesor Universitas Stanford, konsep inti dari komunisme adalah kontrol satu partai tunggal terhadap masyarakat dan ekonomi, serta peniadaan oposisi dan pluralisme. Sosialisme demokrat justru muncul sebagai alternatif yang menolak konsep-konsep komunis seperti partai tunggal dan kepemilikan total negara atas alat produksi.

"Gagasan bahwa Mamdani adalah seorang komunis adalah fitnah yang tidak masuk akal,” ujar Geoffrey Kurtz, profesor di Borough of Manhattan Community College, dilansir Al Jazeera

2. Kenapa Mamdani dituduh komunis?

Tuduhan komunis terhadap Mamdani sering dipicu oleh proposal kebijakannya yang berfokus pada redistribusi kekayaan dan keterjangkauan. Platform Mamdani bertujuan untuk menjadikan New York City lebih terjangkau, terutama bagi kelas pekerja, dengan mengusulkan kebijakan seperti pembekuan sewa apartemen. Dia juga mengusulkan layanan bus gratis dan peningkatan pajak bagi orang-orang kaya.

Beberapa kritikus juga menyoroti usulannya untuk menciptakan jaringan toko kelontong yang dimiliki oleh pemerintah kota, yang disalahartikan sebagai upaya pengambilalihan industri. Mamdani menjelaskan bahwa toko milik kota ini akan meniru model yang sudah ada di Kansas dan bertujuan melengkapi pasar swasta, bukan menghapusnya. Dia juga menegaskan bahwa tujuan di balik proposalnya adalah mengatasi krisis biaya hidup yang tinggi di Kota New York.

Secara umum, proposal Mamdani adalah intervensi yang ditargetkan untuk menurunkan biaya hidup, bukan pengambilalihan industri secara total. Banyak dari usulan yang diadvokasi Mamdani, seperti layanan kesehatan dan pendidikan yang disubsidi besar-besaran, sudah menjadi praktik umum di banyak negara demokrasi Barat di Eropa.

"Warga New York yang mendukungnya tampaknya melakukannya bukan karena ideologi komunis yang dianutnya atau mereka, melainkan karena ia bermaksud mengatasi krisis keterjangkauan ini," kata Ted Henken, seorang profesor di Baruch College.

3. Label komunis kerap jadi senjata politik di AS

Di Amerika Serikat, label komunis sering digunakan bukan hanya sebagai kritik ideologi, melainkan sebagai senjata politik untuk menyerang lawan. Taktik ini adalah cara yang mudah untuk mendiskreditkan politisi yang mendukung kebijakan redistribusi kekayaan, seperti kenaikan pajak bagi orang kaya atau bantuan sosial. Taktik ini dikenal sebagai "Red Scare", yang telah menjadi senjata andalan dalam politik AS selama puluhan tahun. Tujuan utamanya adalah untuk memicu ketakutan historis pada pemilih sehingga mereka menolak politisi progresif.

Grzymala-Busse menjelaskan, retorika ini berakar dari era Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet saling berhadapan sebagai musuh bebuyutan. Pada masa itu, AS memandang Komunisme sebagai ancaman utama, menciptakan narasi yang memisahkan "warga Amerika yang baik" dengan "komunis yang dianggap jahat". Sejak saat itu, label "komunis" langsung memicu konotasi yang sangat negatif, mengingatkan pada periode perburuan ideologi di masa lalu.

"Saya bukan (seorang komunis). Saya menyebut diri saya seorang sosialis demokrat, yang banyak terinspirasi oleh kata-kata Dr. King beberapa dekade lalu yang berkata, 'Sebut saja demokrasi atau sebut saja sosialisme demokrat. Harus ada distribusi kekayaan yang lebih baik untuk semua anak Tuhan di negara ini,'" ujarnya, merujuk pada pidato Martin Luther King Jr. tahun 1961, dilansir NPR.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

KPAI: Fokus Pemulihan Anak Pelaku Ledakan SMA 72, Belum Pendalaman

11 Nov 2025, 00:18 WIBNews