Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakar: Wabah COVID-19 di China Menggila hingga 3 Bulan ke Depan

Ilustrasi COVID-19 (unsplash.com/Martin Sanchez)
Ilustrasi COVID-19 (unsplash.com/Martin Sanchez)

Jakarta, IDN Times - Seorang ahli epidemiologi China, pada Jumat (13/1/2023), memprediksi puncak gelombang COVID-19 di China akan berlangsung dua hingga tiga bulan ke depan. COVID-19 diperkirakan merebak di daerah pedesaan yang minim fasilitas medis. 

Dilansir dari Reuters, infeksi diperkirakan akan melonjak karena ratusan juta orang pergi ke kampung halaman untuk liburan Tahun Baru Imlek pada 21 Januari. Sebelum pandemi, liburan imlek biasanya memicu eksodus besar-besaran.

1. Pakar serukan China untuk fokus ke wilayah pedesaan

Ilustrasi pedesaan (unsplash.com/Tran Mau Tri Tam)
Ilustrasi pedesaan (unsplash.com/Tran Mau Tri Tam)

Menurut laporan media pemerintah China, dicabutnya aturan nol-Covid telah memicu penyebaran virus ke 1,4 miliar penduduknya. Lebih dari sepertiga di antaranya tinggal di area yang infeksinya sudah melewati puncak gelombang COVID-19.

Meski demikian, kondisi terburuk dari wabah itu belum berakhir, ungkap Zeng Guang, mantan kepala ahli epidemiologi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China.

"Fokus prioritas kami adalah di kota-kota besar. Sudah waktunya untuk fokus di daerah pedesaan," kata Zeng menurut laporan media lokal Caixin, seperti dikutip dari Reuters.

Zeng mengatakan, banyak warga di pedesaan, yang fasilitas medisnya kurang memadai itu dalam kondisi tertinggal. Termasuk mereka yang lanjut usia, orang sakit dan disabilitas.

Bulan lalu, otoritas China mencabut aturan ketat nol-Covid setelah diprotes warganya. Pihaknya juga kembali membuka perbatasannya pada minggu lalu.

2. China mulai transparan soal angka kematian COVID-19

Ilustrasi medis (unsplash.com/Xiangkun ZHU)
Ilustrasi medis (unsplash.com/Xiangkun ZHU)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada minggu ini juga memperingatkan soal resiko dari perjalanan liburan imlek.

WHO juga menyinggung sikap China yang tidak melaporkan angka kematian akibat Covid pada sebelumnya, meskipun saat ini Beijing mulai transparan soal wabahnya.

"Sejak merebaknya epidemi, China telah berbagi informasi dan data yang relevan dengan komunitas internasional secara terbuka, transparan, dan bertanggung jawab," kata Wu Xi, pejabat di Kementerian Luar Negeri China, dikutip Reuters.

3. China temukan satu kasus infeksi subvarian Omicron XBB.1.5

Ilustrasi tenaga medis (unsplash.com/Shengpengpeng Cai)
Ilustrasi tenaga medis (unsplash.com/Shengpengpeng Cai)

Melansir Gulf News, ahli Virologi China pada Jumat, mengatakan telah menemukan satu infeksi subvarian Omicron XBB.1.5. Sebelumnya, para ilmuwan WHO menyebut varian itu mudah menular.

Di wilayah Amerika Serikat, subvarian itu menyebar secara cepat pada bulan Desember. Namun masih belum jelas apakah itu menyebabkan penyakit yang lebih parah.

Sebelumnya, Otoritas Kesehatan China melaporkan hanya ada lima kasus kematian COVID-19 selama sebulan terakhir. Namun angka itu diragukan karena tidak sebanding dengan antrian panjang dan banyaknya kantong jenazah yang dikeluarkan dari rumah sakit yang ramai.

Sejak hari Senin, China belum melaporkan data kematian COVID-19. Pada bulan Desember, para pejabat China mengatakan berencana mengubah laporan angka kematian dari harian menjadi bulanan di masa depan.

Pakar kesehatan internasional memperkirakan bahwa setidaknya ada satu juta kematian akibat COVID-19 tahun ini. Sementara, China melaporkan hanya ada 5.000 kematian sejak pandemi dimulai. Hal itu menjadikan negaranya dengan tingkat kematian terendah di dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us