Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Stereotip Gender terhadap Hobi, Perlukah Dilabeli?

Firgiawan Ristanto dan hobinya menanam bunga matahari (x.com/merekamcahaya)
Firgiawan Ristanto dan hobinya menanam bunga matahari (x.com/merekamcahaya)

Pada pagi buta, saat matahari belum sepenuhnya bercahaya, Firgi sudah sibuk di kebun. Ia menyebut tempat itu Firgi's Home Garden, kebun yang dirawatnya hampir setiap hari dengan penuh cinta. Tangan telaten Firgi berhasil membuat berbagai macam tanaman berderet rapi di sana, khususnya bunga matahari. Barangkali kebun itu menjadi panggung kecil tempatnya merayakan hidup.

Ya, dia adalah Firgiawan Ristanto, laki-laki berusia 21 tahun yang gemar berkebun, menyukai bunga, pohon trembesi, beserta segala macam keindahannya. Mahasiswa tingkat akhir asal Sukoharjo, Jawa Tengah ini mulai berkebun sejak masa SMA. Bukan cuma bunga, bermacam-macam tanaman seperti pakcoy, cabai, sawi, semangka, hingga melon telah menjadi temannya.

"Berkebun ini menurutku sudah jadi kegiatan yang personal sekali, sampai kapan pun akan kulakukan, sampai usiaku usai nanti," begitu kata laki-laki yang akrab disapa Firgi tersebut.

Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, freelance crew event, dan fotografer, Firgi selalu meluangkan waktu untuk hobi berkebunnya. Ia bahkan aktif membagikan momen-momen tersebut di media sosial. Melalui konten yang sederhana, santai, tetapi informatif dan estetis, Firgi menarik perhatian banyak orang.

Belum lama ini, Firgi dengan bangga memamerkan hobinya menanam bunga matahari di salah satu platform media sosial, X. Sebuah video berdurasi kurang dari 30 detik sukses mengundang perbincangan publik bersama narasi yang mengikutinya. Firgi menulis, ia dengan kesadaran penuh menanam bunga matahari, mematahkan anggapan bahwa menyukai bunga bukan untuk seorang laki-laki.

Unggahan itu sangat menarik mengingat fenomena stereotip gender masih menghantui di era modern saat ini. Bukan hanya pada perempuan, melainkan dalam hal ini, laki-laki pun kerap dirugikan. Laki-laki seakan dipaksa untuk membatasi emosi dan ekspresi diri mereka hanya karena persoalan maskulinitas.

Apakah hobi perlu dilabeli? Seperti halnya boneka untuk perempuan dan robot untuk laki-laki. Apakah laki-laki tidak boleh punya hobi menanam bunga? Atau sekadar menyukai bunga saja tidak pantas? Mari mengulas persoalan stereotip gender ini, khususnya tentang suatu hobi pada laki-laki.

Bagaimana pengaruh stereotip gender terhadap laki-laki?

Untuk menguliti hal ini lebih dalam, kita perlu memahami bahwa stereotip gender hanya sebuah anggapan yang terbatuk di masyarakat. Dilansir laman Stanford University: Gendered Innovations, stereotip gender diartikan sebagai gagasan normatif tentang bagaimana feminitas dan maskulinitas seharusnya bertindak atau berprilaku.

Stereotip ini mencerminkan bias antara laki-laki dan perempuan, di mana keduanya dianggap memiliki batasan yang boleh dan tidak boleh ditunjukkan atau dilakukan. Penyebabnya banyak, mulai dari norma sosial, budaya, tradisi, hingga ekspektasi masyarakat. Stereotip gender kemungkinan besar diwariskan dari generasi ke generasi.

Contoh nyata dari stereotip gender terjadi pada hobi yang telah dilabeli. Laki-laki dan perempuan memiliki minatnya masing-masing yang dianggap lebih cocok untuk mereka. Orang pada akhirnya merasa tidak nyaman menekuni hobi tertentu karena takut dihakimi. Sayangnya, sumber yang sama mengatakan bahwa stereotip gender acapkali bertahan kuat meski realitas yang sebenarnya telah berubah.

Di lain sisi, Firgi tidak segan menunjukkan sisi dirinya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai sisi feminin, termasuk pula soal ketertarikannya pada hobi memasak. Ia secara tidak langsung menentang stereotip gender yang membatasi hobi seseorang berdasarkan label tertentu. Setiap orang berhak menikmati hobi tanpa perlu dilabeli feminin atau maskulin.

"Lakuin aja, lagian konyol sekali kalau menanam bunga dianggap tidak maskulin, banyak petani bunga yang notabene mereka laki-laki. Di dunia yang sudah banyak berubah ini, ke-maskulin-an itu nggak hanya bisa ditunjukkan dengan kegiatan yang erat dengan kegiatannya laki-laki, lagian gak ada salahnya juga, gak ada salahnya menanam bunga, malahan itu bisa jadi sumbangsih kita ke ekosistem di sekitar," pesan Firgi untuk laki-laki lain yang mungkin juga punya minat pada hobi yang dianggap tidak maskulin.

Feminisme pada dasarnya tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi turut mengupas stereotip maskulinitas yang sama sempitnya. Laki-laki harus dibebaskan dari beban maskulinitas yang kaku. Firgi hanyalah satu contoh dari banyaknya laki-laki dengan minat yang dianggap tidak jantan.

Apa yang terlanjur mengakar di masyarakat memang sulit dikaburkan. Maskulinitas lebih sering diidentikkan dengan kekuatan fisik dan ketidakpedulian terhadap hal-hal yang lembut atau estetis. Akan tetapi, konsep itu mulai berubah. Laki-laki dengan berani menyuarakan maskulinitas modern yang semakin inklusif terhadap beragam ekspresi diri.

Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Psychology yang terbit pada 2019 menunjukkan bahwa norma-norma gender dapat berubah melalui pengaruh sosial dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat moden. Meskipun memiliki akar evolusi yang kuat, peran gender sejatinya tidaklah tetap, melainkan dapat berubah secara dinamis.

Dalam wawancara yang dilakukan melalui pesan teks WhatsApp, dengan gamblang Firgi pun mengatakan, "Semua hobi sebetulnya milik semua orang. Lagian, apa pun yang dilakukan dengan senang seharusnya itu sudah cukup buat bukti kalau hobi itu gak perlu dikotak-kotakkan mau dilakukan oleh siapa, laki-laki atau perempuan, bebas."

Narasi yang Firgi buat terbukti mendapat sambutan hangat di media sosial. Ia mengaku banyak yang terinspirasi dari caranya mengekspresikan hobi hingga akhirnya kerap dipanggil "mas-mas bunga matahari". Firgi percaya, apa pun yang dilakukan dengan sepenuh hati akan menemukan jalannya sendiri.

Meski demikian, ada saja satu atau dua orang dengan reaksi berbeda. Mereka melabeli "pick me" (mencari perhatian dan validasi) kepada Firgi dan bahkan menilainya tidak bisa berkelahi layaknya laki-laki jantan. Untungnya, ia tidak ambil pusing dan memilih mengabaikan komentar semacam itu. 

"Saya gak suka berantem. Padahal kalau mau, mah, tangan saya ini bisa bikin orang masuk ke rumah sakit. Pastikan kalau nantang saya berantem, harus punya BPJS dulu," tegas Firgi.

Media sosial dengan kemampuan magisnya telah mengubah persepsi. Diharapkan banyak laki-laki lainnya yang berani menunjukkan minat mereka pada hal-hal yang dianggap feminin. Media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menggeser persepsi ini menjadi ruang diskusi yang lebih terbuka dan inklusif.

Memang betul bahwa hobi tertentu lebih identik dengan jenis kelamin tertentu, seperti menanam bunga yang lebih identik atau lebih sering dikaitkan dengan perempuan. Namun, itu hanya berdasarkan stereotip yang berkembang di masyarakat, bukan berarti laki-laki menjadi tidak maskulin apabila menyukai hal yang sama. Suatu hobi sangat boleh dan bebas disukai siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us