5 Fakta Astronom Wanita yang Dibungkam Usai Ungkap Rahasia Semesta

- Tesisnya mengguncang dunia astronomi Pada tahun 1925, Cecilia Payne-Gaposchkin mengajukan disertasi doktoralnya di Radcliffe College, Universitas Harvard, yang berjudul "Stellar Atmospheres".
- Temuannya sempat ditolak oleh astronom senior Meskipun didasarkan pada data dan analisis yang kuat, kesimpulan Payne dianggap mustahil oleh komunitas astronomi saat itu.
- Menjadi profesor perempuan pertama di Harvard Perjalanan karier Cecilia Payne di Harvard penuh dengan tantangan akibat diskriminasi gender yang marak pada masa itu.
Jauh sebelum kita tahu bahwa bintang-bintang di langit mayoritas terdiri dari hidrogen dan helium, seorang perempuan muda dengan gigih membongkar rahasia komposisi benda-benda langit tersebut. Cecilia Payne-Gaposchkin, seorang astronom brilian asal Inggris, harus melewati jalan terjal di dunia sains yang didominasi pria untuk membuktikan temuannya yang revolusioner. Karyanya tidak hanya mengubah pemahaman fundamental tentang bintang, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan lain di bidang astronomi.
Kisah Cecilia Payne-Gaposchkin adalah potret perjuangan melawan keraguan dan prasangka pada awal abad ke-20. Tesis doktoralnya yang kini dianggap sebagai salah satu yang paling cemerlang dalam sejarah astronomi, pada awalnya justru diragukan bahkan oleh astronom paling terkemuka saat itu. Namun, kebenaran ilmiah akhirnya tak terbantahkan, mengukuhkan namanya sebagai salah satu tokoh paling penting dalam astrofisika modern dan menjadi inspirasi bagi generasi ilmuwan di seluruh dunia.
1. Tesisnya mengguncang dunia astronomi

Pada tahun 1925, Cecilia Payne-Gaposchkin mengajukan disertasi doktoralnya di Radcliffe College, Universitas Harvard, yang berjudul "Stellar Atmospheres". Dalam karyanya yang monumental ini, ia mengemukakan sebuah gagasan yang sangat radikal pada masanya: bintang, termasuk Matahari, secara dominan tersusun dari hidrogen dan helium. Dilansir dari American Museum of Natural History, temuannya ini bertentangan dengan keyakinan umum para ilmuwan saat itu yang menganggap komposisi Matahari mirip dengan Bumi.
Payne sampai pada kesimpulan ini setelah dengan cermat menganalisis spektrum bintang, yaitu pola garis-garis yang muncul saat cahaya bintang diuraikan. Dengan menerapkan teori ionisasi yang dikembangkan oleh fisikawan India, Meghnad Saha, ia berhasil menghubungkan kelas spektrum bintang dengan suhunya secara akurat. Analisis inilah yang membawanya pada penemuan bahwa hidrogen dan helium adalah unsur yang paling melimpah di bintang, bahkan jutaan kali lebih banyak dibandingkan unsur-unsur logam lainnya.
2. Temuannya sempat ditolak oleh astronom senior

Meskipun didasarkan pada data dan analisis yang kuat, kesimpulan Payne dianggap mustahil oleh komunitas astronomi saat itu. Astronom terkemuka, Henry Norris Russell, yang juga menjadi peninjau tesisnya, menasihatinya untuk tidak mengklaim bahwa Matahari sebagian besar adalah hidrogen karena hal itu sangat bertentangan dengan pemahaman yang berlaku. Demi kelancaran kariernya, Payne dengan terpaksa menambahkan kalimat dalam disertasinya yang menyatakan bahwa kelimpahan hidrogen dan helium yang tinggi itu "hampir pasti tidak nyata".
Namun, ironisnya, empat tahun kemudian Russell melalui penelitiannya sendiri sampai pada kesimpulan yang sama dengan Payne. Dilansir dari Scientific Women, meskipun Russell mengakui pekerjaan Payne dalam publikasinya, seringkali dirinyalah yang diberi penghargaan atas penemuan tersebut pada awalnya. Butuh waktu bertahun-tahun hingga komunitas ilmiah sepenuhnya menerima dan mengakui bahwa Cecilia Payne-lah yang pertama kali mengungkap komposisi bintang yang sebenarnya, sebuah penemuan yang menjadi landasan astrofisika modern.
3. Menjadi profesor perempuan pertama di Harvard

Perjalanan karier Cecilia Payne di Harvard penuh dengan tantangan akibat diskriminasi gender yang marak pada masa itu. Setelah meraih gelar PhD, ia menghabiskan bertahun-tahun dalam posisi dengan bayaran rendah dan tanpa gelar resmi, meskipun ia aktif mengajar dan membimbing mahasiswa. Kursus-kursus yang diajarkannya bahkan tidak dicantumkan dalam katalog universitas hingga setelah Perang Dunia II, seperti yang dicatat oleh Britannica.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan, dedikasi dan kontribusi ilmiahnya tidak dapat diabaikan. Dilansir dari Smithsonian Magazine, pada tahun 1956, sebuah tonggak sejarah tercipta ketika Cecilia Payne-Gaposchkin diangkat menjadi profesor penuh sekaligus ketua departemen astronomi di Harvard. Ia menjadi perempuan pertama yang memegang kedua jabatan prestisius tersebut di universitas ternama itu, memecahkan "langit-langit kaca" dan membuka jalan bagi banyak ilmuwan perempuan lainnya.
4. Mendedikasikan hidupnya untuk mengamati bintang variabel

Setelah karya awalnya yang revolusioner tentang atmosfer bintang, Payne-Gaposchkin mengalihkan fokus penelitiannya. Bersama suaminya, seorang astronom Rusia bernama Sergei Gaposchkin, ia mendedikasikan sebagian besar kariernya untuk mempelajari bintang variabel. Bintang variabel adalah bintang yang kecerlangannya berubah-ubah seiring waktu.
Selama beberapa dekade, ia dan timnya melakukan pengamatan yang sangat ekstensif. Menurut berbagai sumber, mereka berhasil membuat lebih dari 1,25 juta pengamatan bintang variabel di galaksi kita, dan kemudian memperluasnya hingga ke Awan Magellan dengan tambahan 2 juta pengamatan. Kerja keras ini menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang struktur Bima Sakti dan evolusi bintang. Kontribusinya di bidang ini sama pentingnya dengan penemuan awalnya, menunjukkan kedalaman dan luasnya keahliannya sebagai seorang astronom.
5. Warisannya terus menginspirasi dunia sains

Warisan Cecilia Payne-Gaposchkin melampaui penemuan-penemuan ilmiahnya yang luar biasa. Ia adalah simbol ketekunan dan keberanian dalam menghadapi diskriminasi, menjadi panutan bagi banyak perempuan yang bercita-cita meniti karier di bidang sains. Kegigihannya telah membuka banyak pintu yang sebelumnya tertutup bagi perempuan di dunia akademis.
Atas kontribusinya yang tak ternilai, ia menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk menjadi penerima pertama Annie J. Cannon Award in Astronomy pada tahun 1934 dan Henry Norris Russell Prize pada tahun 1976. Namanya juga diabadikan pada sebuah asteroid (2039 Payne-Gaposchkin) dan sebuah gunung berapi di Venus, sebagai penghormatan abadi atas jasanya dalam mengungkap misteri alam semesta.
Kisah Cecilia Payne-Gaposchkin mengingatkan kita bahwa jalan menuju penemuan besar seringkali tidak mulus. Ia mengajarkan pentingnya untuk terus percaya pada data dan analisis, bahkan ketika seluruh dunia meragukannya.



















