5 Tokoh Aktivis Kulit Hitam Abad Ke-20 yang Mengubah Pandangan Dunia

Dahulu, masyarakat berkulit hitam selalu jadi kelompok yang terpinggirkan, khususnya dalam aktivitas politik suatu negara yang multikultural. Suara-suara bernada rasis, yang sering muncul bagi masyarakat kulit hitam, jadi salah satu tembok paling besar yang membuat mereka begitu sulit untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan penting. Alhasil, hanya segelintir orang kulit hitam yang bisa ikut dalam proses politik tingkat nasional hingga internasional. Itu pun harus didukung dengan segudang privilese yang dimilikinya.
Kondisi ini mulai berubah sejak masuknya abad ke-20. Kesadaran politik masyarakat global yang lebih mengutamakan kebebasan bagi siapa saja untuk berpartisipasi membuat kiprah masyarakat kulit hitam perlahan semakin meluas. Sejak saat itulah, kita mengenal begitu banyak sosok inspiratif yang berasal dari masyarakat kulit hitam yang mampu membawa perubahan positif bagi golongannya.
Pada dasarnya, tujuan utama dari aktivis kulit hitam ini adalah membawa kesetaraan bagi seluruh masyarakat dunia. Baik kulit putih maupun hitam, masyarakat Barat maupun Timur, mata sipit maupun tidak, sampai ciri-ciri lain yang membedakan umat manusia, tidak seharusnya jadi pembeda dalam kesetaraan. Kira-kira bagaimana perjuangan mereka dalam mencapai tujuannya tersebut? Yuk, kita cari tahu sama-sama kisah inspiratif apa saja yang dibawakan kelima tokoh aktivis kulit hitam berikut ini!
1. Nelson Mandela

Nelson Rolihlahla Mandela atau Nelson Mandela merupakan seorang pria kelahiran 18 Juli 1918 di Mvezo, Afrika Selatan. Ia jadi sosok politisi paling berpengaruh di Afrika Selatan, bahkan dunia. Sepak terjangnya dalam dunia politik Afrika Selatan dimulai ketika ia menjadi pengacara setelah menempuh pendidikan hukum di University of the Witwatersrand. Mulai dari 1944, Mandela bergabung dengan African National Congress (ANC), sebuah kelompok yang memperjuangkan kebebasan masyarakat kulit hitam.
Bicara tentang Nelson Mandela tak akan lengkap kalau tak bicara soal politik apartheid, sebuah praktik politik pemisahan ras dan menitikberatkan superioritas kaum kulit putih yang sangat ditentang Mandela. Dilansir Britannica, pada 1952, Mandela beserta petinggi ANC lain membantu pengesahan praktik hukum kulit hitam yang harus dibuat imbas dari adanya Undang-Undang Apartheid pada 1948 yang dibuat oleh Partai Nasional. Pada saat yang bersamaan, Mandela turut melakukan pembangkangan terhadap kebijakan rasis pemerintah Afrika Selatan kala itu, semisal kewajiban untuk membawa dokumen khusus bagi masyarakat Afrika Selatan nonkulit putih yang hendak keluar masuk atau melintasi wilayah yang dianggap terbatas oleh pemerintah negaranya sendiri.
Aksi Mandela tak berhenti sampai di situ. Pada 1955, Mandela secara aktif melibatkan diri dalam penyusunan Piagam Kebebasan, suatu dokumen yang isinya menyerukan iklim demokrasi yang nonrasial di Afrika Selatan. Ia secara lantang terus menyuarakan antiapartheid yang perlahan semakin menarik perhatian berbagai pihak.
Aksi-aksi perjuangan Mandela jelas tak tanpa hambatan. Mandela dianggap "membahayakan" pemerintah yang sah. Sejak 1952, ia dicekal untuk melakukan sejumlah kegiatan, berulang kali masuk penjara (1956, 1961, 1963, 1964—1990), dan mendapat berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Beruntung, Mandela masih bisa tetap semangat dalam berjuang dan selalu mendapat dukungan dari masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan selama ia menjalani hukumannya.
Puncak perjuangan Mandela dalam menghapus politik apartheid muncul pada 11 Februari 1990. Kala itu, presiden Afrika Selatan, de Klerk, membebaskan Mandela dari penjara sekaligus mengangkatnya menjadi Deputi Presiden ANC. Setahun berselang, tepatnya pada Juli 1991, ia diangkat sebagai Presiden ANC dan mendorong negosiasi untuk penghapusan apartheid di Afrika Selatan. Beruntung, proposal negosiasi Mandela itu diterima dan perjuangannya selama ini dibayar tuntas ketika apartheid resmi dihapus di Afrika Selatan. Bahkan, 3 tahun berselang, Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan. Pada 10 Mei 1994, ia diambil sumpah untuk memimpin negara yang selama ini ia perjuangkan: negara dengan kesetaraan antarras dan hidup berdampingan.
2. Martin Luther King Jr

Ingat ungkapan Martin Luther King Jr, "I have a dream?" Ia adalah orang yang mengucapkan salah satu quote paling populer tersebut dalam salah satu pidatonya. Aktivis sekaligus politisi ini lahir pada 15 Januari 1929 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Ia lahir dari pasangan Martin Luther King Sr, yang merupakan seorang pendeta, dan Alberta Williams King, yang merupakan seorang guru. Sosok Martin dikenal sebagai seorang pejuang hak-hak sipil masyarakat Amerika Serikat, khususnya masyarakat kulit hitam, pada periode 1950-an.
Pada masa mudanya, Martin dikenal sebagai siswa yang sangat cerdas sehingga ia menempuh pendidikan dari beberapa sekolah yang berbeda. Mengutip History, saat usianya baru 15 tahun, Martin sudah masuk ke Morehouse College untuk mempelajari ilmu medis dan hukum. Di Morehouse Collage inilah, Martin pertama kali diperkenalkan tentang pentingnya kesetaraan ras dan bagaimana cara untuk menyampaikan ide ini ke publik. Setelah lulus pada 1948, Martin bergabung dengan Crozer Theological Seminary dan mendapat gelar Bachelor of Divinity. Kemudian, ia kembali melanjutkan studi doktornya ke Boston University dengan jurusan Ilmu Teologi pada 1953.
Perjalanan Martin sebagai aktivis kesetaraan ras dimulai ketika ia menjadi pemimpin sekaligus pembicara dalam aksi yang dikenal sebagai Montgomery Bus Boycott pada 1 Desember 1955. Insiden tersebut bermula dari konflik antara seorang sekretaris National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) yang berkulit hitam bernama Rosa Parks dengan seorang kulit putih di sebuah bus. Di sana, Rosa menolak untuk memberikan kursinya pada seorang kulit putih tersebut. Alhasil, ia ditangkap dan menimbulkan aksi protes hingga boikot bus selama 381 hari. Dalam usahanya mengatasi masalah ini, Martin membantu pengesahan pencabutan aturan pemisahan tempat duduk di bus umum pada November 1956. Sejak saat itulah, sepak terjang Martin sebagai aktivis dan politisi tanpa kekerasan ini dikenal seantero Amerika Serikat.
Setelah Montgomery Bus Boycott, Martin pun terlibat dengan sejumlah gerakan besar lainnya. Greensboro Sit-In Movement, March on Washington, dan Selma-to-Montgomery Marches jadi beberapa gerakan lain yang dimotori Martin, dilansir Biography. Puncaknya, pada usianya yang baru menginjak 35 tahun, seorang Martin Luther King Jr sudah dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada 1964.
Sayangnya, sepak terjang Martin justru harus berakhir dengan tragis. Pada 4 April 1968, ia ditembak ketika sedang berada di balkon sebuah motel di Memphis. Tembakan itu berakibat fatal pada tubuh Martin sehingga ia meninggal. James Earl Ray adalah orang yang menembak Martin dan dijatuhi hukuman penjara selama 99 tahun. Akibat pembunuhan Martin, gelombang kekacauan pecah di kota-kota besar. Presiden Lyndon B Johnson pun mengumumkan hari berkabung nasional atas wafatnya Martin Luther King Jr. Perjuangan Martin lalu dikenang dalam hari yang disebut sebagai Hari Martin Luther King yang dirayakan tiap Senin ketiga Januari.
3. Malcolm X

Selain Martin Luther King Jr, ada nama Malcolm X yang jadi salah satu aktivis kenamaan Amerika Serikat pada era 1960-an. Pria dengan nama asli Malcolm Little ini lahir di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, pada 19 Mei 1925. Sebagai salah satu tokoh kulit hitam sekaligus Islam di Amerika Serikat, Malcolm dikenal dengan pendekatan yang cenderung berbanding terbalik dengan Martin Luther King Jr. Bahkan, beberapa kali, kedua tokoh kulit hitam tersebut bersitegang lantaran hal tersebut.
Menurut Britannica, Malcolm muda berhenti menempuh jenjang pendidikan formal setelah salah satu gurunya di kelas delapan mengatakan kalau Malcolm lebih cocok menjadi tukang kayu ketimbang pengacara. Ia lalu pindah dari Michigan ke Boston untuk hidup bersama kakak perempuannya. Masa muda Malcolm bisa dibilang cukup liar. Ia berkali-kali terlibat kasus hukum berupa pencurian, penipuan, pengedaran narkoba, sampai menjadi ketua geng di Roxbury dan Harlem. Malcolm sampai mendapat julukan "Detroid Red" dan pernah mendekam di penjara pada 1946—1952 di Massachusetts.
Selama mendekam di penjara inilah, Malcolm mulai mengenal Islam. Berkat dorongan dari saudaranya, Reginald, pada akhirnya ia memutuskan untuk bergabung menjadi seorang muslim. Tak lama, ia bergabung dengan Nation of Islam (NOI), sebuah gerakan nasionalis masyarakat Afrika-Amerika yang beragama Islam di Amerika Serikat. Bersama NOI, Malcolm memulai perjalanannya sebagai aktivis kulit hitam. Ia membantu pembentukan surat kabar Muhammad Speaks dan kariernya di sana melejit dengan cepat. Dalam perjuangannya, Malcolm dikenal sebagai seseorang yang fasih dalam berbicara di depan publik, karismatik, dan jadi organisator andal. Akan tetapi, watak pribadi Malcolm yang cenderung pemarah dan keras juga sangat menonjol dalam berbagai forum.
Kebersamaan Malcolm dengan NOI usai pada 1964. Dilansir Stanford University, setelah berpisah dengan NOI, Malcolm membentuk organisasi baru bernama Organization of African American Unity (OAAU). Dalam organisasi ini, Malcolm berharap agar gerakan pemenuhan hak-hak sipil masyarakat kulit hitam tak hanya bersifat nasional, melainkan internasional. OAAU bentukan Malcolm ini juga mengusulkan agar seluruh organisasi yang bergerak dalam bidang pemenuhan hak-hak sipil masyarakat kulit hitam bersatu agar mereka bisa menghasilkan sesuatu yang konkret dalam waktu yang lebih cepat.
Namun, sebelum Malcolm bisa mewujudkan hal itu, perjalanannya terpaksa harus berhenti. Pada 12 Februari 1965, Malcolm dibunuh ketika sedang berkunjung ke Selma, Alabama. Tiga orang anggota NOI, yakni Muhammad Abdul Aziz, Khalil Islam, dan Thomas Hagan, menembak Malcolm ketika sedang mempersiapkan pidato. Kematian Malcolm X jelas jadi tragedi yang disesali banyak pihak. Bahkan, Martin Luther King Jr juga menyebut kejadian ini justru terjadi ketika Malcolm perlahan sedang belajar bagaimana cara melakukan gerakan pembelaan masyarakat kulit hitam secara lebih halus. Ia juga menyebut kalau saja perkembangan Malcolm terus berlanjut, sosok Malcolm bisa saja jadi pemimpin hebat yang tak hanya untuk Amerika, tetapi juga dunia.
4. Daisy Bates

Tak hanya aktivis pria, masyarakat kulit hitam juga memiliki aktivis-aktivis perempuan yang turut berjuang untuk memenuhi hak-hak mereka. Salah satu tokoh yang paling dikenang tentunya adalah Daisy Lee Gatson Bates. Perempuan kelahiran 11 November 1914 di Huttig, Arkansas, ini punya masa kecil yang terbilang tragis. Ibunya tewas setelah menerima pelecehan seksual dari tiga pria kulit putih dan ayahnya pergi meninggalkan Bates. Akhirnya, Bates kecil dibesarkan di panti asuhan.
Dilansir Biography, Bates bertemu dengan calon suaminya ketika masih remaja. Ia bernama Lucious Christopher Bates alias LC, seorang jurnalis kondang sekaligus agen asuransi. Bersama sang suami, Bates mendirikan surat kabar bernama The Arkansas Weekly. Surat kabar buatan Bates dan suaminya ini dikenal sebagai satu-satunya surat kabar yang membahas tentang hak-hak sipil masyarakat Afrika-Amerika saat itu. Bersamaan dengan berjalannya surat kabar itulah, Bates, yang sempat mengalami masa kecil tragis, mulai menapaki jalan sebagai aktivis hak-hak masyarakat kulit hitam.
Bates lantas bergabung dan jadi presiden dari National Association for Advancement of Colored People (NAACP) cabang Arkansas pada 1952. Di sini, ia berjuang untuk melawan segregasi antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam yang ada di Arkansas. Berkat perjuangannya, pada 1954 Mahkamah Agung Amerika Serikat mengesahkan bahwa segregasi di sekolah-sekolah merupakan inkonstitusional. Meski membuahkan hasil, nyatanya hasil di lapangan masih berbeda dari yang diharapkan. Masih banyak anak-anak kulit hitam yang ditolak di sekolah-sekolah mayoritas kulit putih di Arkansas. Alhasil, Bates dan suaminya secara rutin memerangi masalah ini lewat opini-opininya di surat kabar.
"The Little Rock Nine" jadi salah satu hal yang paling diingat dari sosok Daisy Bates. Sebutan itu sendiri merujuk pada kelompok berisikan sembilan murid kulit hitam yang berhasil masuk ke sekolah dengan mayoritas kulit putih, yakni Central High School di Little Rock. Kesembilan murid ini menerima diskriminasi dari siswa-siswa yang ada di sana. Namun, berkat semangat mereka, ditambah dengan bantuan dari Bates, mereka bisa menjalani pendidikan di sana.
Sepanjang 1960-an, Bates berjuang di garis depan sebagai aktivis sayap kanan. Setelah kematian suaminya pada 1980, ia kemudian melanjutkan perjuangan melalui surat kabar selama beberapa tahun. Bates mengembuskan napas terakhir pada 4 November 1999 di Little Rock, Arkansas.
5. Rosa Parks

Masih ingat dengan peristiwa Montgomery Bus Boycott yang ditangani Martin Luther King Jr? Rosa Parks merupakan tokoh yang terlibat secara langsung dalam insiden tersebut. Pemilik nama asli Rosa Louise McCauley Parks ini lahir di Tuskegee, Alabama, pada 4 Februari 1913. Rosa yang terlibat dalam insiden Montgomery Bus Boycott ini dinilai sebagai inisiasi awal dari gerakan aktivis hak-hak sipil masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.
History melansir bahwa Rosa menempuh pendidikan hingga SMA, tepatnya di Alabama State Teachers College for Negroes. Meski demikian, ia berhenti sekolah karena harus mengurus neneknya ketika berusia 16 tahun. Ia kemudian menikah pada usia 19 tahun dengan Raymond Parks. Sang suami mendorong Rosa untuk menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Kemudian, Rosa diperkenalkan dengan gerakan aktivis yang sudah lebih dulu digeluti sang suami dan bergabung dengan National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) bagian Montgomery pada Desember 1943. Di sana, dirinya ditunjuk sebagai sekretaris.
Montgomery Bus Boycott jadi gerakan yang paling diingat dari sosok Rosa. Dalam prosesnya, ia menerima begitu banyak diskriminasi, tetapi juga mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat kulit hitam. Setelah peristiwa itu, Rosa dan keluarga menerima begitu banyak ancaman sehingga harus pindah ke Detroit. Di sana, ia bekerja sebagai tenaga administratif yang membantu John Conyers Jr. Akan tetapi, perjalanan aktivis Rosa belum usai sampai situ. Autobiografi berjudul Rosa Parks: My Story jadi bukti perjalanan Rosa Parks sebagai aktivis. Selain itu, ia juga turut menghadiri berbagai kegiatan aktivis lainnya. Rosa pun menerima Congressional Gold Medal, sebuah penghargaan tertinggi yang bisa diperoleh masyarakat sipil Amerika Serikat.
Rosa wafat pada 24 Oktober 2005 pada usia ke-92 tahun. Hebatnya, jenazah Rosa dimakamkan di rotunda U.S. Capitol. Lokasi ini sendiri jadi tempat kehormatan bagi figur-figur yang telah melakukan pengabdian besar bagi Amerika Serikat. Selama 2 hari, pelayat dari berbagai golongan memadati makam Rosa Parks.
Perjuangan orang-orang di atas jadi bukti betapa kerasnya diskriminasi yang diterima masyarakat kulit hitam pada abad ke-20. Kondisi ini jelas lebih parah lagi jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Akan tetapi, berkat usaha dan kerja keras tokoh-tokoh di atas, masyarakat kulit hitam bisa memperoleh kesempatan yang lebih baik lagi dalam berbagai aspek di lingkungan dan negaranya. Khusus di Amerika, perjuangan masyarakat kulit hitam itu pun sampai diabadikan hingga jadi 1 bulan khusus yang disebut sebagai Black History Month yang dirayakan selama Februari.