Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Dekolonialisasi Terjadi setelah Perang Dunia II Berakhir?

potret Ir Soekarno ketika membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia
potret Ir Soekarno ketika membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia (commons.wikimedia.org/Frans Mendur)

Perang Dunia II bukan sekadar konflik skala internasional yang membuat puluhan juta jiwa harus meregang nyawa. Ada banyak perubahan besar bagi tatanan dunia setelah perang besar ini berakhir. Salah satu yang paling signifikan adalah perubahan pada sistem kolonialisme yang bahkan tidak berubah saat Perang Dunia I selesai.

Kalau pada Perang Dunia I kita menyaksikan banyak kerajaan atau kekaisaran besar tumbang, maka efek Perang Dunia II membuat negara-negara yang memiliki koloni di Afrika dan Asia harus gigit jari. Soalnya, wilayah yang tadinya mereka kuasai mulai memerdekakan diri sampai terbentuknya banyak negara baru di sana. Beberapa negara Eropa yang paling banyak terdampak atas sesuatu yang disebut dekolonialisasi ini adalah Britania Raya, Prancis, Portugal, Spanyol, dan Belanda.

Perubahan radikal pada tatanan dunia ini tentu tak lepas dari banyak faktor pendukung. Ada yang berasal dari dampak langsung Perang Dunia II dan ada pula yang berasal dari faktor eksternal negara Eropa maupun bekas wilayah kolonialnya. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini, kita akan ulik sedikit tentang kenapa dekolonialisasi menjadi tren di dunia setelah Perang Dunia II berakhir. Simak sampai selesai, ya!

1. Melemahnya kekuatan besar Eropa

potret kerusakan yang terjadi di Eropa
potret kerusakan yang terjadi di Eropa (commons.wikimedia.org/Fortepan)

Faktor utama yang melemahkan genggaman negara Eropa di wilayah koloninya adalah dampak sosial dan ekonomi yang muncul setelah Perang Dunia II berakhir. Kerasnya perang yang berlangsung di Teater Eropa memaksa kekuatan besar Eropa harus mengalokasikan biaya dan peralatan militer yang lebih besar di sana ketimbang Asia dan Afrika. Akibatnya, hanya ada sedikit tentara dan kapabilitas militer yang tersisa di sana.

Dilansir Office of The Historian, padahal di Asia masih ada ancaman dari Kekaisaran Jepang yang berusaha mencaplok wilayah jajahan negara barat di sana. Akibatnya, sisa-sisa pasukan negara Eropa yang ada di Asia harus menyingkir karena mengalami kekalahan telak dari raksasa baru di Asia tersebut. Kondisi ini terus terjadi sampai Perang Dunia II berakhir yang menghasilkan kekalahan bagi pihak poros, termasuk Kekaisaran Jepang.

Seharusnya, kekalahan Kekaisaran Jepang di Asia itu jadi kesempatan bagi kekuatan Eropa untuk kembali ke sana. Namun, pascaperang berakhir, luka akibat konflik itu sangat terasa di lingkungan masyarakat dunia, termasuk Eropa itu sendiri. Ketakutan pada perang masih menghantui sehingga proses pemulihan internal jadi prioritas dan ada banyak gerakan yang tak ingin melanjutkan pertumpahan darah di mana pun itu. Ditambah lagi, rusaknya ekonomi seluruh negara Eropa jadi faktor lain yang mempersulit mereka kembali ke tanah jajahannya, sekalipun ancaman dari Kekaisaran Jepang sudah dinetralisir.

2. Kemunculan berbagai gerakan nasionalis

potret delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville
potret delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville (commons.wikimedia.org/Juxlos)

Sebenarnya, negara Eropa itu terbagi atas dua pandangan terkait dekolonialisasi setelah Perang Dunia II berakhir. Ada yang menerima proses dekolonialisasi, tapi ada pula yang masih ingin kembali, sekalipun dengan paksa. Dilansir The Centre virtuel de la connaissance sur l'Europe, contoh negara Eropa yang sempat ingin kembali ke bekas tanah jajahannya ialah Belanda yang ingin kembali ke Hindia-Belanda (Indonesia), Prancis yang ingin kembali ke kawasan Indo-China (Vietnam) beserta Afrika Utara, dan Britania Raya di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Namun, ketika Perang Dunia II masih berkecamuk, sebenarnya wilayah yang dijajah negara-negara Eropa itu sudah menumbuhkan kesadaran dan gerakan nasional untuk memerdekakan diri. Akibatnya, ketika kekuatan Eropa datang kembali, justru terjadi konflik militer dengan penduduk setempat. Karena diberi perlawanan intens ditengah kekacauan ekonomi dan kekuatan militer, maka beberapa negara Eropa terpaksa menyingkir dari tanah jajahannya dan mengakui kemerdekaan negara baru tersebut.

Sebenarnya, tak semua wilayah bekas jajahan itu mengalami konflik militer untuk memperoleh kemerdekaan. Beberapa negara di Asia dan Afrika justru memperoleh kemerdekaan dari proses negosiasi dan diplomasi yang panjang. Peran kelompok nasionalis dan masyarakat dari negara-negara baru itu sangat besar sampai akhirnya negara Eropa harus menyingkir dari sana.

Gerakan nasionalisme yang muncul di negara-negara baru benar-benar mengubah wajah dunia. Dilansir CFR Education, hanya dalam kurun waktu 1945—1960-an, ada jutaan orang yang sebelumnya terjajah, tapi kini sudah dapat memilih sendiri pemimpin dan arah tujuan bangsanya. Memang, dalam proses gerakan itu tak selalu berjalan dengan mulus. Tantangan tak hanya hadir dari negara Eropa yang datang kembali, tapi juga konflik kepentingan dari internal negara itu sendiri. Namun, pada akhirnya, keinginan untuk bebas dari genggaman penjajah itu jauh lebih kuat sehingga negara Eropa kehilangan tempatnya di sana.

3. Tekanan internasional, khususnya dari adidaya baru

potret Joseph Stalin (kiri), Franklin D Roosevelt (tengah), dan Winston Churchill (kanan) yang diambil pada tahun 1943
potret Joseph Stalin (kiri), Franklin D Roosevelt (tengah), dan Winston Churchill (kanan) yang diambil pada tahun 1943 (commons.wikimedia.org/Dennis Charles Oulds)

Perang Dunia II berakhir dengan lahirnya dua negara adidaya baru, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet, serta organisasi internasional bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi kepentingan dunia internasional. Suka tak suka, negara-negara Eropa harus menerima fakta kalau superioritas mereka sudah kalah jauh dengan dua adidaya itu. Ditambah lagi, Piagam PBB secara fundamental mencantumkan tentang hak kebebasan dan hak asasi seluruh negara yang ada di dunia.

Seluruh tekanan itu semakin menyudutkan kekuatan Eropa yang berusaha kembali ke Asia dan Afrika. Prosesnya memang tidak terjadi dalam semalam, tapi ada banyak bukti kalau keputusan negara Eropa yang memberi kemerdekaan pada wilayah jajahannya itu ada kaitannya dengan kehadiran negara adidaya. Dilansir Britannica, faktor keterlibatan negara adidaya itu terkait dengan paradigma keduanya yang lebih menekankan pada penguasaan secara tak langsung pada aspek ideologi, ekonomi, dan militer wilayah bekas jajahan.

Alhasil, keduanya sering menjembatani kemerdekaan suatu negara baru dan menentang adanya kolonialisme yang dilakukan oleh negara Eropa. Keterlibatan dua adidaya itu dalam memengaruhi kemerdekaan negara baru terlihat di Suriah, Lebanon, Mesir, India, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Korea, serta banyak negara Afrika. Meskipun demikian, dalam prakteknya, keterlibatan dua adidaya ini memang menimbulkan sederet konflik baru di negara yang baru merdeka tersebut.

Sebab, seperti yang sudah dijelaskan, salah satu tujuan terselubung dari hadirnya Amerika Serikat dan Uni Soviet di negara baru adalah penyebaran ideologi liberalisme dan komunisme. Malahan, persaingan keduanya sampai melahirkan konflik baru yang disebut Perang Dingin. Akibatnya, ada banyak perpecahan ideologi dalam internal negara baru dan kedua adidaya ini tak segan-segan untuk mempersenjatai kubu yang memihak ideologi mereka. Fase ini sering disebut sebagai perang proksi yang menandai babak baru persaingan dunia setelah dekolonialisasi negara Eropa berhasil dilaksanakan.

Dunia internasional sebenarnya memang sudah menunggu momen yang tepat untuk menghilangkan kolonialisasi yang sangat memberatkan masyarakat Asia dan Afrika. Ketika dominasi negara Eropa selama berabad-abad melemah setelah Perang Dunia II, gerakan nasionalis di wilayah terkait semakin tumbuh dan negara adidaya baru “memanfaatkan” momentum itu untuk memperkuat pengaruhnya di dunia. Meski tak selamanya mulus, proses dekolonialisasi sudah pasti jadi salah satu kejadian yang membentuk dunia modern yang kita kenal saat ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Fakta Madagascar Pochard, Spesies Bebek Air yang Sulit Ditemukan

15 Des 2025, 20:49 WIBScience