5 Fakta Brutal Gas Air Mata yang Jarang Dibongkar, dari Perang Dunia sampai Aksi Jalanan!

- Perancis pertama menggunakan gas air mata di Perang Dunia I
- Amerika Serikat menciptakan gas air mata modern dan memasarkannya sebagai senjata polisi
- Gas air mata dipakai melawan demonstrasi sejak 1930-an, menjadi simbol bentrokan antara rakyat dan negara
Gas air mata sering digambarkan sebagai “senjata non-mematikan” untuk mengendalikan kerumunan. Namun, sejarah mencatat bahwa cairan kimia ini tak sesederhana itu. Ia lahir dari laboratorium kimia perang, menjelma alat pengendali demonstrasi, hingga berujung pada tragedi yang merenggut nyawa manusia.
Ironisnya, senjata yang konon hanya bikin “menangis sebentar” ini justru menyimpan cerita gelap. Dari Jerman, Amerika, hingga Indonesia, gas air mata telah meninggalkan jejak luka, trauma, dan kontroversi. Inilah lima fakta mengerikan yang jarang dibicarakan.
1. Perancis pertama menggunakannya di Perang Dunia I

Berdasarkan buku yang bertajuk Medical Aspects of Chemical and Biological Warfare, gas air mata pertama kali digunakan secara militer oleh Perancis pada tahun 1914 saat Perang Dunia I. Mereka menembakkan granat berisi ethyl bromoacetate untuk melumpuhkan tentara Jerman. Inilah debut gas air mata di medan perang, jauh sebelum dipakai aparat kepolisian.
Meskipun dianggap “ringan” dibanding gas mustard atau klorin, efeknya tetap brutal. Tentara yang terpapar mengalami iritasi mata, kebutaan sementara, hingga kesulitan bernapas. Alih-alih sekadar melemahkan, gas ini justru membuka jalan bagi perlombaan senjata kimia yang lebih mematikan.
Ironisnya, setelah Konvensi Senjata Kimia (CWC) 1993 melarang penggunaan gas air mata di medan perang, dunia justru melegalkannya untuk mengendalikan demonstrasi sipil. Dengan kata lain, senjata yang dianggap terlalu berbahaya untuk perang malah “disahkan” dipakai melawan rakyat.
2. Dari Amerika Serikat lahir gas air mata modern

Jika Perancis memulai, Amerika Serikat-lah yang menyempurnakan. Pada 1928, dua ilmuwan AS, Ben Corson dan Roger Stoughton, menemukan senyawa baru bernama CS gas (2-chlorobenzylidene malononitrile). Nama CS diambil dari inisial mereka. Menurut laporan British Medical Journal, CS gas jauh lebih kuat daripada pendahulunya.
Sejak saat itu, gas air mata dipasarkan secara masif sebagai senjata polisi. Pemerintah AS bahkan menganggapnya sebagai “alat demokratis” untuk membubarkan massa tanpa harus menembak. Kenyataannya, CS gas kerap menimbulkan luka permanen di mata dan paru-paru.
Produk ini segera diekspor ke seluruh dunia. Dari kota besar di Eropa, Asia, hingga Afrika, gas air mata menjadi ikon globalisasi kekerasan negara. Polisi bukan lagi sekadar penegak hukum, tetapi juga “agen distribusi” senjata kimia.
3. Dipakai melawan demonstrasi sejak 1930-an

Gas air mata mulai masuk ranah sipil pada 1930-an. Menurut disertasi ilmiah dari Virginia Polytechnic Institute and State University, polisi di Amerika Serikat dan Eropa menggunakannya untuk membubarkan pemogokan buruh dan demonstrasi politik. Sejak itu, gas air mata tak pernah absen dari jalanan.
Puncaknya terjadi di era 1960-an. Demonstrasi hak sipil di AS, protes mahasiswa di Paris Mei 1968, hingga gelombang anti-perang Vietnam semuanya penuh dengan kepulan gas air mata. Senjata ini menjadi simbol bentrokan antara rakyat dan negara.
Kini, hampir setiap negara punya stok gas air mata. Ironisnya, penggunaan berulang sering memperburuk konflik. Massa makin marah, aparat makin represif, dan siklus kekerasan pun terus berputar.
4. Alat represi global yang tak pernah netral

Meski disebut “alat pengendali massa,” gas air mata sering jadi senjata politik. Amnesty International mencatat, pemerintah Bahrain menembakkan gas air mata ke dalam rumah-rumah warga sipil selama Arab Spring. Akibatnya, puluhan orang meninggal, termasuk anak-anak.
Hal serupa terjadi di Turki saat aksi protes Gezi Park pada tahun 2013. Polisi menembakkan gas air mata secara brutal, bahkan ke rumah sakit dan masjid. Human Rights Watch menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Di Mesir, ribuan demonstran di Tahrir Square pada tahun 2011 juga dikepung gas air mata. Gas ini tidak lagi sekadar “alat kontrol,” tetapi sudah menjelma instrumen represi global.
5. Dari Bahrain hingga Indonesia, gas air mata bisa mematikan

Meski dikategorikan non-lethal weapon, faktanya gas air mata bisa mematikan. Menurut laporan Annals of the New York Academy of Sciences, paparan berlebihan di ruang tertutup dapat menyebabkan gagal napas, serangan jantung, hingga kematian.
Kasus paling ekstrem tiga tahun silam terjadi di Indonesia, saat Tragedi Kanjuruhan 2022. Polisi menembakkan gas air mata ke tribune stadion yang penuh penonton. Akibatnya, 135 orang meninggal karena sesak napas, terinjak-injak, dan panik massal. Tragedi ini dicatat media internasional seperti The Guardian sebagai salah satu insiden stadion paling mematikan dalam sejarah.
Dari Bahrain, Mesir, Turki, Korea Selatan, hingga Indonesia, satu pelajaran yang sama muncul—gas air mata bukan sekadar “air yang bikin menangis,” melainkan senjata kimia yang bisa merenggut nyawa.
Gas air mata mungkin diklaim sebagai “senjata paling manusiawi” dalam mengendalikan kerumunan. Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya. Dari perang dunia, demonstrasi hak sipil, hingga tragedi stadion, senjata ini meninggalkan jejak darah dan air mata.
Kini, pertanyaannya adalah sampai kapan gas air mata akan tetap dianggap wajar? Apakah negara-negara akan terus menggunakannya sebagai tameng kekuasaan? Atau dunia akhirnya berani mengaku bahwa senjata kimia, dengan segala bentuknya, tidak pernah benar-benar “aman”?