Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Komoditas Perkebunan yang Berpotensi Mempercepat Deforestasi

Ilustrasi perkebunan sawit
Ilustrasi perkebunan sawit (pexels.com/Pok Rie)
Intinya sih...
  • Kelapa sawit menggantikan 10,5 juta hektar hutan pada periode 2001-2015, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi karbon.
  • Karet juga memberi tekanan besar terhadap hutan tropis, dengan konversi ke monokultur karet yang merusak ekosistem lokal.
  • Produksi kakao, kopi, kedelai, rempah, teh, dan komoditas minor lainnya juga berkaitan erat dengan deforestasi global.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Hutan bukan sekadar hamparan pohon; ia adalah paru-paru bumi, penopang kehidupan, dan rumah bagi ribuan spesies. Tapi tahukah kamu, di balik kebutuhan sehari-hari kita, mulai dari secangkir kopi hingga sebatang cokelat, tersembunyi tekanan besar terhadap hutan tropis? Lahan hutan terus dibabat untuk perkebunan, dan dampaknya kadang tak terlihat oleh mata.

Nah, supaya gambaran besarnya lebih jelas, yuk kita kenali enam komoditas perkebunan yang sering diremehkan risikonya, namun diam-diam ikut mempercepat deforestasi global.

1. Kelapa sawit

Ilustrasi perkebunan kepala sawit
Ilustrasi perkebunan kepala sawit (pexels.com/Mohan Nannapaneni)

Kelapa sawit adalah raja komoditas industri minyak nabati. Ia hadir di minyak goreng, margarin, sabun, kosmetik, hingga bahan bakar bio‑energi. Karena permintaannya terus naik, banyak perusahaan mendirikan perkebunan ini dalam skala besar. Hasilnya, area hutan tropis yang luas ditebang, lalu diganti hamparan monokultur sawit.

Menurut data global, pada periode 2001–2015, sawitlah yang menggantikan sekitar 10,5 juta hektar hutan, menjadikannya komoditas kedua paling banyak menggusur hutan setelah peternakan sapi. Di Indonesia dan Malaysia, ekspansi massif sawit menghilangkan banyak hutan primer, mengusir habitat satwa liar, dan merusak ekosistem lokal.

Dampak sosial‑ekologis dari ekspansi sawit pun besar: hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya aliran air, erosi tanah, kehilangan mata pencaharian masyarakat tradisional, serta emisi karbon dari pembukaan hutan. Oleh karena itu, meskipun sawit mendatangkan banyak produk murah dan populer, penting bagi konsumen maupun pembuat kebijakan untuk mendesak praktik sawit berkelanjutan, misalnya lewat sertifikasi atau penggunaan lahan bekas agar hutan bisa tetap lestari.

2. Karet

Ilustrasi perkebunan karet
Ilustrasi perkebunan karet (pexels.com/Serg Alesenko)

Komoditas karet merupakan bahan baku utama untuk ban, alas kaki, sarung tangan, dan berbagai produk industri yang kerap dianggap “kurang bermasalah” dibanding sawit. Padahal kenyataannya, perkebunan karet ikut memberi tekanan besar terhadap hutan, khususnya di kawasan tropis. Saat hutan hilang, habitat satwa terganggu, keanekaragaman hayati menyusut, dan sistem ekologi lokal berpotensi rusak.

Selain itu, konversi hutan ke monokultur karet dapat mengakibatkan tanah kehilangan kesuburannya, mengurangi fungsi ekologis seperti penyerapan karbon dan pengaturan siklus air. Di banyak kasus, kebun karet dengan skala besar cenderung homogen, yakni kurang memperhatikan keberlanjutan alam dan kehidupan satwa. Dengan meningkatnya permintaan global, tanpa regulasi ketat serta praktik berkelanjutan, tekanan untuk membuka lahan baru akan terus menggerus hutan tropis.

3. Kakao

Ilustrasi perkebunan kakao
Ilustrasi perkebunan kakao (unsplash.com/Kristiana Pinne)

Cokelat membawa kebahagiaan ke banyak lidah—manis, lembut, plus populer di seluruh dunia. Namun, produksi kakao skala besar ternyata berkaitan erat dengan deforestasi, terutama di negara-negara tropis penghasil utama. Menurut analisis global, kurang lebih 2,3 juta hektar hutan digantikan oleh lahan perkebunan kakao antara tahun 2001–2015.

Negara produsen terbesar seperti Indonesia, Pantai Gading, dan Ghana mencatat kontribusi signifikan atas deforestasi akibat kakao. Dalam beberapa kasus, perkebunan kakao juga menggusur hutan lindung atau area yang semula habitat penting bagi flora dan fauna.

Lebih jauh, penelitian Wanger, dkk. (2021), menemukan adanya tren produksi kakao global yang cenderung berpindah dari praktik agroforestri (yang lebih ramah lingkungan) ke monokultur intensif, sehingga lahan pertanian minim menyokong keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon. Itu artinya, ada sisi pahit yang tidak terlihat di balik cokelat yang kita nikmati hari ini.

4. Kopi

Ilustrasi perkebunan kopi
Ilustrasi perkebunan kopi (unsplash.com/PROJETO CAFÉ GATO-MOURISCO)

Kopi adalah teman setia banyak orang setiap pagi, namun perluasan kebunnya turut menyumbang hilangnya hutan. Analisis global menempatkan komoditas ini sebagai salah satu penyebab hilangnya sekitar 2 juta hektar hutan pada periode 2001–2015.

Bagian terbesar dari kebun kopi “baru” berada di negara-negara tropis seperti Indonesia, Brasil, dan beberapa negara Afrika. Masalahnya, mode produksi modern kerap meninggalkan sistem kopi bernaungan dan beralih ke monokultur yang lebih terbuka. Hal ini membuat pohon peneduh berkurang dan habitat satwa melemah.

Erosi tanah, gangguan siklus air, penurunan kualitas tanah, serta berkurangnya populasi satwa hutan menjadi efek sampingan yang sulit dihindari. Bila hutan hilang, masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada ekosistem tersebut juga ikut terdampak.

5. Kedelai

Ilustrasi perkebunan kedelai
Ilustrasi perkebunan kedelai (pixabay.com/jestermaroc)

Kedelai merupakan komoditas vital bagi pakan ternak dan minyak nabati. Karena permintaan besar dari industri peternakan global, ekspansi kebun kedelai semakin meluas di Amerika Selatan, terutama Brasil. Konversi ini menjadi ancaman nyata untuk Amazon dan savana Cerrado.

Hilangnya tutupan pohon berdampak langsung pada satwa liar, termasuk spesies yang membutuhkan habitat luas. Tak hanya itu, pembukaan lahan dalam skala besar membuat tanah mudah terdegradasi, sehingga produktivitas jangka panjang menjadi tidak stabil.

Monokultur kedelai juga mempercepat erosi tanah dan meningkatkan pelepasan karbon. Jika tidak diimbangi praktik pertanian yang ramah lingkungan, ketergantungan akan kedelai dapat memperdalam kerusakan alam di wilayah penghasilnya.

6. Rempah, teh, dan komoditas minor lainnya (tergantung kawasan)

Ilustrasi perkebunan teh
Ilustrasi perkebunan teh (pixabay.com/Simon)

Selain komoditas besar seperti sawit, kakao, kopi, karet, kedelai, ada juga perkebunan rempah‑rempah, teh, dan tanaman monokultur lainnya. Jumlah globalnya memang lebih kecil dan data deforestasinya tidak selalu ter-highlight dalam laporan besar, namun kontribusi mereka tidak bisa diabaikan, apalagi di tingkat lokal.

Di sejumlah wilayah Asia dan Afrika, ekspansi kebun teh atau rempah kerap mengambil alih hutan lama. Lahan yang awalnya kaya spesies menjadi lebih homogen, mengubah siklus tanah dan air, serta mengurangi kemampuan hutan menyimpan karbon. Penggunaan pestisida dan pupuk intensif juga mempercepat rusaknya tanah.

Karena laporan global cenderung menyoroti komoditas besar, masyarakat lokal punya peran penting dalam memantau dan mengungkap dampak komoditas “minor” ini. Dengan pemetaan yang lebih baik, kebijakan konservasi bisa lebih adil dan tidak melulu berpusat pada komoditas raksasa semata.

Apa yang bisa kita lakukan?

Ilustrasi seorang wanita di hutan
Ilustrasi seorang wanita di hutan (freepik.com/pvproductions)
  1. Dukung pertanian/perkebunan berkelanjutanKonsumen bisa memilih produk bersertifikasi “zero‑deforestation” atau agroforestri. Sedangkan produsen bisa menerapkan praktik pertanian yang mempertahankan tutupan pohon, menjaga keanekaragaman, dan menghindari pembukaan hutan primer.
  2. Transparansi dan pemantauan rantai pasokData dan alat pemetaan seperti yang digunakan GFW & WRI perlu dimanfaatkan agar ekspansi perkebunan dapat dilacak secara terbuka. Hal ini penting untuk mendeteksi deforestasi langsung maupun tidak langsung.
  3. Dukungan regulasi dan kebijakan yang berpihak pada lingkunganPemerintah dan komunitas internasional harus mendorong kebijakan yang melindungi hutan, membatasi konversi lahan, serta mendukung alternatif ekonomi berkelanjutan bagi petani.
  4. Edukasi konsumen dan kesadaran kolektifSebagai konsumen global, kita punya kekuatan memilih. Dengan memahami jejak ekologis komoditas sehari‑hari, kita bisa membuat keputusan yang lebih ramah lingkungan.

Setiap keputusan, meski kecil, punya konsekuensi bagi bumi. Kalau kita bersama mendesak praktik pertanian dan perkebunan berkelanjutan, serta memilih dengan bijak, bukan tidak mungkin kita dapat memperlambat laju deforestasi. Karena hutan adalah paru‑paru bumi yang sangat layak diselamatkan.

Sumber Referensi :

Romadhan, D., Hastanto, D., & Susanty, W. (2025). Analisis Deforestasi Lahan Karet Menggunakan Google Earth Engine. Jurnal Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi. 15(1), 106.

Wanger, T. C., Dennig, F., Toledo-Hernández, M., Tscharntke, T., & Lambin, E. F. (2021). Cocoa pollination, biodiversity-friendly production, and the global market. arXiv preprint arXiv:2112.02877.

Rahman, M. H., Naito, D., Moeliono, M., Mitani, Y., & Susaeta, A. I. (2025). Oil palm-and rubber-driven deforestation in Indonesia and Malaysia (2000–2021) and efforts toward zero deforestation commitments. Agroforestry Systems, 99(1), 20.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Fakta Ghent, Kota Abad Pertengahan yang Memikat di Belgia

09 Des 2025, 12:29 WIBScience