Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dulu Diyakini, 16 Masalah Kesehatan Ini Ternyata Fiktif Belaka

ilustrasi perempuan yang dianggap gila pada era Victoria (commons.wikimedia.org/George Eliot/W. Hatherell)

Siapa, sih, yang tidak percaya dengan dokter atau tenaga medis? Mereka berpendidikan. Tentu saja mereka mengetahui hal-hal seputar dunia kesehatan ketimbang kita yang tidak belajar ilmu kedokteran. Nah, jika seseorang didiagnosis kondisi medis tertentu, hal ini tentunya sangat menakutkan, terlebih lagi jika dokter langsung yang berbicara. Pasalnya, banyak sekali penyakit mengerikan yang bisa saja kita derita.

Namun, ada, lho, penyakit yang sebenarnya hanya dibuat-buat. Dalam artian, penyakit seperti itu sebenarnya tidak ada. Misalkan ada, penyakit itu hanya dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kebanyakan orang benar-benar mengkhawatirkannya dan memercayainya. Nah, masalah-masalah kesehatan ini ternyata fiktif belaka. Penyakit fiktif ini dibuat oleh orang-orang yang ingin memajukan agenda mereka atau demi alasan keuntungan saja. Apa saja, ya?

 

1. Bicycle face membuat perempuan takut bersepeda

perempuan bernama Annie Dawson Wallace dengan sepedanya pada tahun 1899 (commons.wikimedia.org/State Library of New South Wales collection)

Seorang dokter Inggris bernama A Shadwell punya pemikiran yang agak beda dengan menakut-nakuti perempuan agar tidak bersepeda. Munculnya sepeda memberikan kebebasan bagi perempuan, seperti lebih giat melakukan aktivitas fisik, bahkan mengubah cara perempuan berpakaian pada era Victoria. Gerakan feminisme bergema di Barat. Jelas, beberapa orang tidak setuju dengan kebebasan yang diterima perempuan saat itu.

Dilansir laman Vox, Shadwell menghabiskan waktunya pada tahun 1890-an untuk mengubah stigma dan cara berpikir perempuan tentang masalah kesehatan yang disebut bicycle face. Kondisi ini ditandai dengan wajah memerah atau pucat, mata panda, wajah terlihat lelah dan lesu, rahang terkatup, dan mata melotot. Penyebabnya bermacam-macam, tetapi beberapa dokter, seperti Shadwell, mengklaim bahwa itu diakibatkan dari mengendarai atau menyeimbangkan sepeda. Ada pula dokter yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena Tuhan marah pada mereka yang melanggar hari Sabat. Rumor tentang kondisi kesehatan ini tetap berlanjut selama beberapa dekade setelahnya.

2. Halitosis hanya teknik pemasaran

ilustrasi bau mulut (pixabay.com/Mudassar Iqbal)

Jika pernah membeli produk untuk membuat napas lebih segar, sebenarnya kamu terpancing trik pemasaran produk Listerine. Mari kita ubek kembali sejarahnya ke tahun 1880-an. Pada saat itu, Listerine adalah obat resep yang digunakan untuk mencegah berkembangnya infeksi pada luka, salah satunya digunakan agar infeksi tidak masuk ke mulut ketika gigi tanggal.

Dilansir laman Gizmodo, pemilik perusahaan Listerine ingin menjual lebih banyak produknya dan itu sah-sah saja, sih. Akan tetapi, yang tidak sah adalah mereka menemukan penyakit yang disebut halitosis (bau mulut). Lalu, mereka mengunggulkan produk mereka sebagai obatnya.

Mereka mengadaptasi kata halitosis dari halitus, kata Latin untuk napas, dan osis, yang terdengar seperti dunia medis. Satu-satunya cara untuk melawan bau mulut itu adalah dengan menggunakan antiseptik luka untuk mulut. Ya, Listerine. Banyak orang yang masih menggunakannya hingga saat ini. Teknik pemasaran yang bagus!

3. Kandung kemih overaktif hanya teknik pemasaran dari perusahaan obat

ilustrasi ingin buang air kecil (pixabay.com/Lumpi)

Pada 2001, ada sebuah survei yang membantu menciptakan kondisi yang disebut kandung kemih overaktif (keseringan buang air kecil). Pada saat itu, sekitar 33 juta warga Amerika didiagnosis mengidap penyakit tersebut. Menurut artikel berjudul "Drug firms helped create $3 billion overactive bladder market", yang diterbitkan di Milwaukee Journal Sentinel, kondisi ini didefinisikan oleh dua ahli urologi universitas. Lalu, ia dipresentasikan pada konferensi medis yang disponsori oleh perusahaan obat yang mendorong pengobatan kandung kemih overaktif.

Obat yang diresepkan untuk mengobati kandung kemih overaktif ini telah dikaitkan dengan hampir 200 kematian antara 2013 sampai 2016. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) sendiri menerima lebih dari 12 ribu pengaduan tentang obat-obatan tersebut.

4. Drapetomania, penyakit mental bagi para budak

ilustrasi budak yang melarikan diri (commons.wikimedia.org/Eastman Johnson)

Ada sebuah penyakit yang disebut drapetomania. Dilansir PBS, penyakit ini didefinisikan oleh Dr. Samuel Cartwright dari Universitas Louisiana pada tahun 1851. Cartwright menulis definisi drapetomania pada abad ke-19 dan menyebutnya sebagai penyakit mental yang bisa dihindari dan disembuhkan jika pemilik budak memperlakukan budak mereka sesuai keinginan Tuhan. Sayangnya, hal ini justru menimbulkan masalah.

Tanda-tanda jika seorang budak mengidap drapetomania adalah saat budak merasa tidak puas. Menurut Cartwright, sebaiknya pemilik budak segera memperlakukan budaknya dengan baik, memberi mereka pakaian, dan mengizinkan setiap budak memiliki rumah sendiri. Jika hal ini dipenuhi, para budak akan tunduk.

5. Dysaesthesia aethiopica, kondisi mental bagi para budak dan orang kulit hitam

ilustrasi simbol perbudakan (unsplash.com/Tasha Jolley)

Samuel Cartwright mencoba menciptakan kondisi medis lain untuk menjelaskan mengapa seorang budak bermasalah kepada pemiliknya. Dia menyebut kondisi ini sebagai dysaesthesia aethiopica. Menurut artikel yang ditulisnya, "Diseases and Peculiarities of the Negro Race", dysaesthesia aethiopica ditandai dengan gejala mental dan fisik, seperti rasa malas, kantuk, ketidakpekaan pada kulit, dan diduga kebal terhadap rasa sakit.

Ada juga masalah perilaku, seperti mencuri, merusak peralatan, menganiaya hewan, dan merusak tanaman yang mereka rawat. Dia mengatakan bahwa kondisi ini sering terjadi pada budak yang diperlakukan secara tidak pantas. Samuel Cartwright menyatakan bahwa penyakit ini bisa saja terjadi kepada orang Negro yang bebas. Cartwright percaya bahwa orang kulit hitam dilahirkan dengan kondisi ini. 

6. Histeria perempuan dibuat-buat karena kebencian terhadap perempuan

Jean-Martin Charcot sedang menunjukkan histeria perempuan yang terjadi pada seorang pasien di Salpetriere, Prancis. (commons.wikimedia.org/Wellcome Images)

Kondisi yang bernama histeria perempuan pernah dianggap nyata selama sekitar 4 ribu tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sejarawan di Universitas Cagliari di Italia, gagasan tersebut dimulai dengan kepercayaan Mesir Kuno yang ditulis sekitar tahun 1900 SM. Ia baru dihapus dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) milik American Psychiatric Association pada 1980. Mengingat jangka waktu yang sangat lama ini, tidak mengherankan jika ada daftar lengkap gejala yang dikaitkan dengan histeria pada perempuan ini, seperti kejang dan perasaan akan segera mati pada peradaban Mesir Kuno hingga kerasukan roh jahat pada Abad Pertengahan.

Biasanya, nih, perempuan yang dianggap melanggar norma-norma masyarakat atau bisa dibilang melenceng dari kodratnya sebagai seorang perempuan dianggap memiliki kondisi kejiwaan ini. Perawatannya pun bervariasi, seperti halnya gejalanya, mulai dari obat-obatan herbal, pengusiran setan, hingga pijat alat kelamin. Pijat alat kelamin inilah yang akhirnya menjadi pencetus vibrator modern.

7. Absinthe, penyakit yang dikaitkan dengan halusinasi

ilustrasi yang menggambarkan bahwa alkohol absinthe berbahaya dan menyebabkan kematian (commons.wikimedia.org/National Library of Medicine)

Menurut cerita, absinthe atau absinth adalah minuman alkohol yang mengandung cukup banyak thujone (zat psikoaktif) yang dapat menyebabkan halusinasi dan membuat orang gila. Itu sebabnya alkohol jenis ini dilarang. Namun, kepercayaan itu hanyalah mitos belaka dan tidak benar sama sekali.

Pasalnya, pada abad ke-19, mereka yang membenci absinth membuat suatu kondisi medis untuk membuktikan pendapat mereka tentang betapa buruknya alkohol jenis absinth bagi tubuh. Mereka pun menyebutnya absinthism. Menurut penelitian yang berjudul "Absinthism: a fictitious 19th century syndrome with present impact" pada 2006, yang diterbitkan oleh BioMed Central, absinthism ditandai dengan kejang dan halusinasi yang menyebabkan kerusakan otak, kanker esofagus, dan peningkatan risiko bunuh diri. Selain itu, ia menyebabkan kelumpuhan, delirium, dan halusinasi. Saat ini, kita dapat mengklasifikasikan bahwa gejala absinthism sebenarnya adalah gejala alkoholisme kronis.

Kondisi kesehatan ini dibuat sebagai bentuk dari Gerakan Kesederhanaan. Gerakan ini sangat melarang konsumsi minuman keras karena dibentuk di bawah otoritas Gereja. Gerakan sosial dan politik ini bertujuan untuk meluruskan kembali moral manusia agar tidak menyimpang ke hal-hal negatif.

8. Membaca buku, terutama novel, dianggap berbahaya bagi kesuburan perempuan

ilustrasi seorang perempuan membaca buku (commons.wikimedia.org/Gabriel Metsu)

Percaya tidak percaya, pada abad ke-19, buku menjadi sumber berbagai masalah kesehatan, khususnya bagi perempuan. Kok bisa? Profesional medis hingga orang-orang berpendidikan menulis gejala-gejala yang akan terjadi jika perempuan terlalu sering membaca buku. Gejalanya mencakup kerusakan otak dan mata, kemunduran sistem saraf, kerusakan moral, bahkan kematian dini.

Yang paling meresahkannya lagi, nih, para dokter abad ke-19 menyinggung bahwa akan ada banyak energi yang terbuang sia-sia jika dipakai untuk membaca novel. Mereka pun menyarankan agar energi tersebut dijaga baik-baik untuk kesuburan sistem reproduksi. Terlalu banyak membaca, terutama buku-buku misteri, akan membuat seorang perempuan mengalami kerusakan ovarium.

Sebenarnya, kondisi kesehatan ini dibuat agar perempuan tidak terlihat malas. Ya, membaca buku membuat beberapa orang ketagihan. Mereka bisa seharian diam di satu ruangan hanya untuk membaca buku. Hal ini sangat ditentang oleh norma-norma masyarakat pada Abad Pertengahan. 

9. Mengonsumsi alkohol bisa membuat tubuh terbakar tiba-tiba

ilustrasi alkohol (pixabay.com/NickyPe)

Dilansir laporan The Daily Beast, ada sekitar 50 kasus kebakaran tubuh secara spontan terkait konsumsi alkohol, yang tercatat antara tahun 1725 sampai 1847. Korban kebakaran spontan sering kali menimpa pecandu alkohol. Lalu, muncul rumor bahwa setelah seseorang meminum alkohol, alkohol akan berubah menjadi sejenis gas yang mudah terbakar, yang akan terakumulasi dan akhirnya membakar tubuh si peminum.

Kasus-kasus tersebut cukup meyakinkan, salah satunya seperti kisah seorang perempuan berbobot 81 kilogram yang menenggak satu liter wiski. Kemudian, tubuhnya terbakar secara tiba-tiba. Bahkan, penulis Charles Dickens merupakan pendukung teori tersebut. Sampai-sampai, Dickens menulis buku tentang hal itu dalam buku Bleak House.

Menurut Prof. David J Hanson, Ph.D. dari State University of New York, masalah kesehatan ini diciptakan sebagai Gerakan Kesederhanaan, yang sebenarnya mengajarkan manusia agar tidak mengonsumsi alkohol karena dianggap beracun dan berdosa menurut agama. Sebab, alkohol awalnya diresepkan oleh dokter untuk keperluan pengobatan dan kesehatan. Alkohol bukan untuk mabuk. 

10. Sindrom K, sindrom yang menyelamatkan nyawa tawanan dari kekejaman Nazi

Rumah Sakit Fatebenefratelli di Roma (commons.wikimedia.org/Dguendel)

Tidak semua kondisi medis yang dibuat-buat diciptakan untuk menjual produk atau membohongi sekelompok orang tertentu. Pasalnya, seorang dokter Italia bernama Adriano Ossicini menemukan Sindrom K, yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa.

Seperti yang dilansir Quartz, hal ini dimulai pada 1943 ketika Nazi menyerang daerah di sekitar Ghetto Yahudi di Roma. Banyak keluarga Yahudi terpaksa meninggalkan rumah mereka dan beberapa menuju ke Rumah Sakit Fatebenefratelli di sebuah pulau di tengah Sungai Tiber. Seluruh keluarga dikarantina di dalam kamar.

Lalu, mereka didiagnosis tertular "Sindrom K" yang mematikan. Para dokter menjelaskan bahwa penyakit ini sangat menular dan mirip dengan tuberkulosis. Pasien diminta agar batuk-batuk jika ada pejabat yang datang. Ini dilakukan agar tentara Jerman tidak mau memasuki ruangan karena dianggap akan menularkan penyakit. Hal ini terbukti menyelamatkan nyawa mereka. Dengan begitu, mereka tidak mendapatkan siksaan di kamp konsentrasi Nazi.

Pada 2016, Yayasan Raoul Wallenberg memberikan penghormatan kepada staf rumah sakit dan menamai tempat perlindungan tersebut sebagai Rumah Kehidupan. Pada upacara tersebut, hadir beberapa dokter pasien Sindrom K, salah satunya Luciana Tedesco. Ia mengatakan, "Saya kira tidak ada pasien di rumah sakit ini. Semua orang yang saya lihat sehat. Kami adalah pengungsi yang menemukan rumah di sini."

11. Sindrom turbin angin adalah hal yang normal, tapi dibesar-besarkan

turbin angin di Nurdağı, Gaziantep, Turki (commons.wikimedia.org/Zeynel Cebeci)

Kaget gak, nih? Ternyata ada, lho, sindrom turbin angin. Hal ini didukung oleh kelompok yang menentang pengembangan sumber energi bersih dan terbarukan, yaitu tenaga angin. Mereka menganggap bahwa suara frekuensi rendah yang dihasilkan oleh turbin angin bisa menimbulkan penyakit. Terdengar masuk akal?

Menurut para ahli, seperti yang dilansir The Atlantic, kelompok ini percaya bahwa turbin angin dapat membuat penglihatan kabur, mual, serangan panik, insomnia, dan sakit kepala. Padahal, kenyataannya, manusia selalu dihadapkan pada suara berfrekuensi rendah setiap waktu, lho. Sindrom turbin angin pertama kali diciptakan oleh seorang dokter anak bernama Nina Pierpont, yang kebetulan menikah dengan seorang aktivis antitenaga angin.

12. Seorang perempuan dianggap gila jika tidak menikah dan tidak memiliki anak

ilustrasi keluarga para era Victoria (commons.wikimedia.org/James M. Ives)

Pada masa lalu, perempuan wajib mematuhi norma-norma sosial, di antaranya menikah dan melahirkan banyak anak. Sayangnya, pada era Victoria, ketika seorang perempuan tidak mau mengikuti cara tradisional tersebut, mereka dianggap mengidap penyakit old maid's insanity. Diagnosis ini sering disematkan kepada perempuan yang belum menikah atau memiliki anak.

Dr. Clouston merupakan dokter yang merinci gejalanya secara spesifik. Dia percaya bahwa seorang perempuan lajang dan tidak memiliki anak akan menyesali perbuatannya, lalu menjadi gila. Gejala terbesarnya, tulis Dr. Clouston, adalah perempuan tersebut akan terobsesi dengan laki-laki yang tidak dapat membalas cintanya, biasanya seorang pendeta. Dr. Clouston pun menyarankan agar perempuan tersebut melakukan perawatan dengan menempelkan lintah ke bagian kemaluannya untuk membantu meringankan depresi dan kegilaannya. Sekarang, kepercayaan itu hanyalah sebuah mitos karena dunia ini sudah modern, kan?

13. Jamur Candida, yang dianggap membawa penyakit, sebagai trik pemasaran

ilustrasi sakit perut (pixabay.com/Darko Djurin)

Mengutip Science Based Medicine, pada 1986, Dr. William Crook menciptakan penyakit palsu bernama kandidiasis. Candida albicans adalah jamur jinak yang ditemukan pada sekitar 90 persen populasi. Artinya, jamur ini memang ditemukan di dalam tubuh manusia, tetapi tidak menimbulkan infeksi atau penyakit apa pun. Jadi, jamur ini tidak berbahaya. Jika tidak terkendali, jamur ini cuma bisa menyebabkan seriawan.

Crook mengatakan bahwa jamur ini dikaitkan dengan gejala infertilitas, kecemasan, sembelit dan diare, membuat berat badan bertambah, serta gatal-gatal. Dia juga mengatakan bahwa sekitar sepertiga penduduk Amerika menderita alergi terhadap ragi ini. Ya, tidak mengherankan, sih, jika banyak industri yang bermunculan untuk menciptakan obat demi mengatasi masalah tersebut. Meskipun alergi jamur memang ada, hal ini relatif jarang terjadi, lho. 

14. Neurasthenia, perubahan gaya hidup membuat otak kelelahan

ilustrasi jalanan abad ke-19 (commons.wikimedia.org/Detroit Publishing Co.)

Pada abad ke-19, ada istilah neurasthenia (gangguan neurosis) yang diciptakan dokter S Weir Mitchell dan George Beard. Mereka berpraktik setelah Perang Saudara Amerika berakhir dan negara agraris mulai beralih ke kehidupan perkotaan. Hal ini menimbulkan tantangan yang berbeda-beda bagi masyarakat.

Pada saat itu, diyakini bahwa sistem saraf manusia itu terbatas. Oleh sebab itu, otak manusia gampang kewalahan. Apalagi, muncul banyak masalah baru di negara industri. Jadi, saat banyak orang menghabiskan energi sarafnya, mereka jadi kelelahan. Inilah yang disebut neurasthenia.

Sebagaimana yang dilaporkan The Atlantic, gejalanya meliputi depresi, kecemasan, kelelahan, sakit kepala, mudah tersinggung, dan insomnia. Beda halnya dengan banyak penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri, hal ini justru disebabkan oleh perubahan gaya hidup orang Amerika yang semakin berkembang pesat. Para psikolog bahkan menjulukinya sebagai "Americanitis". Akar masalahnya diyakini bahwa Amerika menjadi negara yang paling maju melampaui negara-negara lain dan warga negaranya tidak dapat menghadapi tekanan tersebut.

Anehnya, laki-laki yang terdiagnosis sering kali dikirim ke perbatasan untuk menjadi koboi. Sementara, perempuan hanya disuruh istirahat selama 4 hingga 6 minggu. Gagasan ini akhirnya dibantah pada 1920-an ketika para peneliti medis memastikan bahwa sistem saraf sebenarnya tidak bekerja seperti itu.

15. Kegilaan dan keterkaitannya dengan keretakan rumah tangga

ilustrasi perempuan yang dianggap gila pada era Victoria (commons.wikimedia.org/George Eliot/W. Hatherell)

University of Wisconsin mengatakan ada banyak sekali alasan mengapa seorang perempuan pada era Victoria dapat didiagnosis sebagai orang gila. Beberapa alasannya adalah karena depresi, mania, demensia, aktivitas berlebihan, dan epilepsi. Pada masa itu, seorang suami atau ayah yang ingin menyingkirkan istri atau anak perempuannya akan mendiagnosis istri atau anaknya menderita kegilaan. Namun, laki-laki juga sering menghadapi hal serupa.

Istri yang sudah lelah dengan hubungannya bersama suaminya biasanya juga akan menuduh suaminya dengan kondisi mental ini. Dengan begitu, istri bisa mendapatkan kendali atas properti, keuangan, dan aset suaminya. Hal ini juga dikaitkan dengan kepercayaan Kitab Injil yang mengajarkan bahwa laki-laki harus menyediakan rumah yang aman dan penuh kasih sayang bagi keluarganya.

16. Rahim berkeliaran adalah trik agar perempuan memiliki banyak anak

ilustrasi perempuan hamil (unsplash.com/Josh Bean)

Pada peradaban Yunani Kuno, salah satu penderitaan paling serius yang dapat didiagnosis pada seorang perempuan adalah rahim bisa saja naik ke atas perut. Lalu, ia bertabrakan dengan organ lain dan menyebabkan masalah serius. Jika pasien mengeluh merasa lemas, vertigo, dan lelah, berarti rahim sedang bergerak ke atas. Gejala yang lebih parah adalah perasaan tercekik, kesulitan berbicara, bahkan kematian mendadak.

Para dokter percaya bahwa rahim mampu mencium bau dan akan menggunakan aroma, baik yang dihirup atau dioleskan ke bagian kemaluan, untuk membawa rahim kembali ke tempatnya. Agar penyakit ini tidak menyerang, seorang perempuan harus selalu menjaga rahimnya tetap terisi dan sibuk, yang berarti perempuan harus selalu hamil. Dilansir Wired, kepercayaan terhadap rahim yang berkeliaran sudah ada sejak lama, setidaknya dari abad ke-12.

Ada baiknya kita memahami sejarah suatu kondisi medis. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi suatu hal dan tentunya tidak mudah tertipu. Siapa sangka, penyakit-penyakit yang pernah banyak orang yakini nyatanya sekadar propaganda. Apa pendapatmu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us