Planet Mars, Rumah Kedua Manusia atau Sekadar Planet Tandus?

- Keberadaan air di masa lalu menunjukkan potensi kelayakhunian Mars
- Lingkungan Mars kini terlalu ekstrem untuk manusia
- Misi masa depan akan menentukan peluang kolonisasi
Mars selalu jadi sorotan karena dianggap sebagai kandidat paling potensial untuk dijadikan rumah kedua manusia. Banyak penelitian dan misi luar angkasa mencoba mengungkap apakah planet merah ini benar-benar bisa mendukung kehidupan, setidaknya di masa lalu. Ternyata, ada sejumlah fakta menarik yang membuat pembahasan soal kelayakhunian Mars semakin seru untuk diikuti.
Topik ini penting karena menyangkut masa depan eksplorasi manusia di luar Bumi. Dari jejak air purba hingga kondisi ekstrem saat ini, setiap temuan membawa kita lebih dekat untuk menjawab apakah Mars hanya sebatas impian atau memang punya peluang jadi tempat tinggal baru. Nah, berikut tiga fakta yang bisa membuka wawasan kamu soal Mars.
1. Keberadaan air di masa lalu menunjukkan potensi kelayakhunian

Mars pernah memiliki air cair di permukaannya. Itu menjadi sebuah petunjuk penting bahwa planet ini mungkin pernah mendukung kehidupan mikroba. Penelitian terbaru mengungkap warna merah khas Mars berasal dari ferrihydrite, sejenis oksida besi yang cepat terbentuk ketika ada air dingin. Artinya, proses “karat” di Mars terjadi saat air masih mengalir, bahkan lebih awal dari dugaan sebelumnya, dilansir SciTechDaily.
Ferrihydrite yang ada di debu Mars ternyata masih menyimpan jejak air hingga sekarang, meski telah tersebar dan terkikis angin miliaran tahun lamanya. Temuan ini membuat para ilmuwan mengubah cara pandang soal iklim Mars, karena ada indikasi planet itu pernah mengalami periode basah yang cukup panjang.
“Kami menemukan bahwa ferrihydrite yang dicampur dengan basal, batuan vulkanik, paling cocok dengan mineral yang dilihat oleh pesawat ruang angkasa di Mars,” kata Adomas Valantinas, peneliti pascadoktoral di Universitas Brown, dikutip dari PopSci,
Selain itu, data dari misi Mars Express dan Trace Gas Orbiter (TGO) milik Badan Antariksa Eropa (ESA) juga mendeteksi mineral kaya air di wilayah berdebu. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa Mars punya sejarah iklim yang lebih ramah dibanding sekarang.
2. Lingkungan Mars kini terlalu ekstrem untuk manusia

Meski Mars dulu pernah punya air, kondisi sekarang justru sangat keras dan tidak bersahabat. Permukaan planet ini didominasi debu oksida besi dengan suhu ekstrem, atmosfer tipis, dan perlindungan minim terhadap radiasi ultraviolet. Foto-foto dari rover menunjukkan lanskap cokelat kemerahan dengan debu oranye berkarat, bukan merah murni seperti yang biasa terlihat dari Bumi.
Dilansir Space, air memang masih ada di Mars, tapi bentuknya es yang tertutup lapisan karbon dioksida beku atau es kering. Lapisan ini bahkan bisa menguap lalu tumbuh lagi mengikuti musim, sehingga es tidak stabil untuk digunakan langsung oleh manusia. Tutup es di kutub Mars tampak putih karena mengandung air beku, namun lapisan tersebut juga tertutup oleh karbon dioksida beku.
Tak hanya itu, radiasi ultraviolet dengan energi tinggi juga jadi masalah serius. Tanpa atmosfer tebal seperti Bumi, tubuh manusia akan terpapar langsung dan sel-sel bisa rusak. Jadi, kalau suatu saat kita ingin hidup di Mars, teknologi canggih seperti perisai radiasi dan sistem pendukung kehidupan harus benar-benar siap.
3. Misi masa depan akan menentukan peluang kolonisasi

Untuk menjawab teka-teki kelayakhunian Mars, misi-misi masa depan akan jadi penentu. Rover Rosalind Franklin milik ESA dan proyek Mars Sample Return kolaborasi NASA-ESA dirancang untuk menganalisis debu Mars, termasuk kandungan ferrihydrite. Rover Perseverance sendiri sudah mengumpulkan sampel yang menunggu dikirim kembali ke Bumi untuk dipelajari lebih detail.
“Kami sangat menantikan hasil dari misi mendatang seperti rover Rosalind Franklin dan Mars Sample Return,” kata Colin Wilson, ilmuwan proyek TGO dan Mars Express ESA.
Data dari misi ini akan membantu menjawab seberapa lama air cair pernah ada di Mars dan apakah lingkungan kala itu mendukung kehidupan. Dengan informasi itu, ilmuwan bisa merancang teknologi untuk mengekstrak air atau membuat perisai radiasi yang lebih efisien. Namun, pengembalian sampel dari Perseverance baru dijadwalkan sekitar tahun 2040, sehingga butuh kesabaran panjang sebelum jawaban pasti bisa didapat.
Hasil penelitian mendatang juga akan menggabungkan data dari misi sebelumnya seperti Mars Reconnaissance Orbiter dan Curiosity. Dengan begitu, gambaran menyeluruh tentang iklim, mineral, dan potensi Mars bisa dibangun. Semua data baru ini diharapkan bisa menjawab misteri yang tersisa tentang Mars. Apakah planet ini pernah benar-benar mendukung kehidupan, atau hanya sekadar menyimpan jejaknya? Pertanyaan itu masih jadi bahan perdebatan para ilmuwan.