Sejarah Pembangunan Ka'bah, Jejak Tauhid dari Nabi Ibrahim hingga Muhammad

- Ka'bah dibangun oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah
- Sempat dijadikan pusat berhala oleh Suku Quraisy
- Ka'bah pernah rusak karena banjir dan direkonstruksi
Ka'bah, bangunan kubus hitam di tengah Masjidil Haram, bukan sekadar simbol ibadah. Ia adalah jejak spiritual paling tua dalam sejarah tauhid. Dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, Ka'bah menjadi poros sejarah yang menyatukan ritual, pengorbanan, dan penyucian akidah selama ribuan tahun. Namun, jalannya tidak selalu lurus. Di antara Ibrahim dan Muhammad, Ka'bah sempat menjadi pusat penyembahan berhala, sebelum akhirnya kembali ke tujuan sucinya. Inilah perjalanan Ka'bah dalam pusaran waktu.
1. Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah

Menurut Al-Qur’an, Ka'bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, atas perintah langsung dari Allah SWT. Firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 127 yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail seraya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan ini).’”
Bangunan awal ini tidak mewah, hanya tumpukan batu tanpa atap, tapi maknanya lebih dalam dari sekadar arsitektur. Sejak awal, Ka'bah adalah simbol tauhid—pengesaan Tuhan—yang bersih dari ritual berhala. Namun, itu tak bertahan lama.
2. Sempat dijadikan pusat berhala oleh Suku Quraisy

Setelah wafatnya Ibrahim dan Ismail, Ka'bah tidak lagi menjadi pusat perhatian umat tauhid. Wilayah Mekah tidak menerima nabi lagi selama ribuan tahun. Di tengah kekosongan spiritual ini, seorang tokoh bernama Amr bin Luhay dari suku Khuza’ah membawa berhala pertama dari Syam dan menaruhnya di sekitar Ka'bah. Dari sinilah politeisme mulai berkembang di tanah Arab.
Ketika suku Quraisy naik menjadi penguasa Mekah sekitar abad ke-5 M, mereka mempertahankan status Ka'bah sebagai pusat keagamaan—namun dalam wujud yang telah menyimpang. Berhala-berhala ditempatkan di dalam dan sekitar Ka'bah, jumlahnya bahkan mencapai 360, masing-masing menjadi simbol dari dewa-dewa suku Arab.
3. Ka’bah pernah rusak karena banjir dan direkonstruksi

Pada tahun 605 M, Ka'bah mengalami kerusakan karena banjir besar. Suku Quraisy memutuskan untuk merenovasinya. Di sinilah Muhammad bin Abdullah, yang saat itu berusia 35 tahun dan belum menjadi nabi, memainkan peran penting.
Dalam sengketa tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad, beliau tampil sebagai penengah bijak. Ia membentangkan kain dan meminta para pemimpin suku memegang ujungnya bersama-sama. Ia sendiri kemudian meletakkan batu itu di tempatnya. Namun, saat itu berhala-berhala masih tetap ada di dalam Ka'bah. Quraisy tidak membangunnya untuk tauhid, tetapi demi prestise.
4. Nabi Muhammad membersihkan Ka’bah dari berhala saat Fathu Mekah

Ka'bah baru kembali pada fungsinya sebagai ‘rumah Allah’ ketika Nabi Muhammad SAW menaklukkan Mekah pada tahun 630 M. Peristiwa penaklukan itu dikenal dengan nama Fathu Mekah. Rasulullah memasuki Ka'bah, menghancurkan berhala-berhala yang mengelilinginya, dan mengembalikannya sebagai pusat ibadah hanya kepada Allah. Ketika menghancurkan berhala, beliau membaca ayat:
“Telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra: 81).
Sejak saat itu, Ka'bah kembali menjadi simbol murni tauhid yang tak tergoyahkan.
5. Berbagai renovasi dilakukan pada era Khalifah dan zaman modern

Setelah era Nabi, Ka'bah mengalami beberapa kali renovasi besar. Khalifah Abdullah bin Zubair sempat mengembalikannya ke bentuk fondasi asli Nabi Ibrahim, tapi kemudian Khalifah Umayyah--Al-Hajjaj bin Yusuf--mengubahnya kembali ke struktur Quraisy. Perdebatan tentang bentuk ‘ideal’ Ka'bah terus terjadi, tapi semua tetap sepakat bahwa kesuciannya tak berubah.
Di zaman modern, pemerintah Arab Saudi telah melakukan perawatan besar-besaran: memperkuat struktur, memperluas area Masjidil Haram, dan membangun teknologi pengelolaan peziarah. Meski arsitektur sekitarnya berubah, Ka'bah tetap menjadi pusat tak tergoyahka--diam, tapi memikat; sunyi, tapi menyuarakan keabadian.
Ka'bah bukan hanya bangunan fisik, tapi juga simbol penyatuan spiritual umat Islam. Setiap tahunnya, jutaan orang dari seluruh penjuru dunia datang untuk thawaf--mengelilinginya tujuh kali dalam lingkaran ibadah yang tak pernah putus. Dalam Ka'bah, sejarah, arsitektur, dan iman menyatu dalam satu titik. Dari zaman Ibrahim, era jahiliah, masa Rasulullah, hingga kini, Ka'bah tetap menjadi pusat gravitasi spiritual yang tak pernah kehilangan daya tariknya.