Sejarah Toi Moko, Kepala Leluhur Suku Māori yang Diperjualbelikan

- Toi moko adalah artefak suku Māori berupa kepala leluhur.
- Toi moko asli merupakan kepala pemimpin suku Māori dengan tato tradisional. Proses pembuatan dan maknanya sangat sakral.
- Penjualan toi moko oleh suku Māori kepada orang Eropa memicu ketertarikan dan perdagangan barang antik.
Toi moko adalah artefak-artefak yang telah diambil dari suku Māori selama beberapa abad terakhir. Artefak-artefak ini bukanlah batu, kayu, atau tanah liat, melainkan kepala dari leluhur suku Māori. Banyak kepala ini dipajang atau disimpan di museum-museum di seluruh dunia.
Suku Māori sendiri adalah pemukim dari Polinesia timur. Suku Maori pertama kali tiba di Selandia Baru dengan ekspedisi waka (kano) pada abad ke-13 sampai ke-14. Setelah berabad-abad mendiami kepulauan Aotearoa (nama dalam bahasa Maori untuk Selandia Baru), mereka punya cerita rakyat tentang kepala kakek, buyut, atau bahkan ayah mereka yang di pajang di banyak negara. Nah, apa itu sebenarnya toi moko?
1. Apa itu toi moko?

Mungkin kamu bertanya-tanya apa itu toi moko. Sekilas, toi moko adalah kepala manusia yang diawetkan. Sebagian besar toi moko asli biasanya merupakan kepala para pemimpin suku Māori tingkat tinggi. Sebagian besar pemimpin itu menato wajah mereka dengan desain yang rumit dan unik. Nah, saat mereka meninggal dunia, kepala mereka akan dipenggal, diawetkan, dan disimpan dalam kotak berukiran indah, yang digunakan dalam upacara sakral. Di samping itu, moko adalah kata untuk tato tradisional suku Māori. Sementara, toi, merujuk pada "asal dan sumber kemanusiaan untuk mencapai puncak tertinggi di bidang seni".
2. Sejarah tato wajah Maori

Menurut kepercayaan suku Maori, kepala adalah bagian tubuh yang paling sakral. Jadi, tato di wajah dilakukan untuk menonjolkan ekspresi wajah dan bentuk wajah seseorang, yang disebut sebagai mataora (wajah yang hidup). Praktik ini dilakukan untuk memberi penghormatan kepada leluhur, warisan, dan perjalanan hidup seseorang.
Tato yang disebut tamoko, atau tā moko, secara tradisional dibuat dengan menggunakan palu kecil dan jarum berbentuk sisir. Beberapa dari desain tatonya juga bersifat universal dan punya makna yang sangat pribadi. Garis-garis utama, misalnya, punya makna sebagai perjalanan hidup seseorang dan disebut manawa atau hati. Ada juga pakis yang sedang mekar, yang mewakili harapan dan kehidupan baru, tetapi desainnya unik dan berbeda bagi setiap orang. Bagi suku Māori, moko atau tato tidak akan bisa dirampas dari seseorang, kecuali oleh kematian.
Tidak mengherankan jika proses pembuatan tato suku Māori ini dibumbui dengan berbagai ritual dan upacara. Selain itu, gambar tatonya juga sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Nah, kadang, tato wajah itu akan diawetkan dalam toi moko.
3. Toi moko dibuat untuk alasan yang berbeda-beda

Australian Broadcasting Corporation pernah berbincang dengan ketua suku Te Rarawa, Haami Piripi, tentang sejarah toi moko. Ia bercerita kalau sebelum diawetkan, kepala akan dioleskan dengan minyak ikan hiu. Lalu, kepala akan dikukus, diasapi, dan dikeringkan.
Nah, kepala suku Māori yang akan diawetkan hanyalah leluhur terkasih yang akan diabadikan. Prosesnya pun diwarnai dengan upacara dan ritual. Kepercayaan suku Māori mengajarkan bahwa masyarakat harus merawat dan menghormati jenazah sesama mereka.
Selain itu, toi moko dibuat sebagai piala perang. Namun, ada beberapa tujuan berbeda untuk hal ini. Dalam beberapa kasus, kepala akan dipamerkan sebagai objek cemoohan. Namun, kadang, kepala ini dijadikan hadiah untuk merayakan kemenangan mereka atas suku saingan (musuh).
Lebih dari sekadar piala, tā moko, tato wajah suku Maori, diyakini sebagai pengakuan atau gengsi seseorang. Nah, dengan mengubah kepala menjadi toi moko dan memberikannya kepada pemenang diyakini dapat membuat nama mereka harum kembali. Hal ini dipandang sebagai transfer kekuasaan. Jadi, jika kelompok-kelompok yang berseteru ini dapat menengahi perdamaian, toi moko akan dikembalikan.
4. Toi moko banyak diperdagangkan pada abad ke-19

Toi moko pertama kali diperdagangkan kepada Kapten James Cook, yang mendarat di Selandia Baru pada 1770. Pasalnya, salah satu awak James Cook meminta bukti kepada suku Māori kalau suku Māori mempraktikkan kanibalisme. Beberapa hari kemudian, perwakilan suku Māori membawa beberapa toi moko. Kemudian, awak kapal tersebut mengambil toi moko milik seorang remaja laki-laki dan menukarnya dengan sepasang celana dalam linen putih. Tiga tahun kemudian, awak kapal HMS Resolution datang dan menukar satu paku dengan toi moko lainnya.
Kini, diyakini bahwa toi moko yang diperdagangkan adalah kepala musuh dari suku Māori. Jadi, suku Māori sengaja menjual kepala toi moko musuhnya itu sebagai bentuk penghinaan terbesar kepada musuh mereka. Di sisi lain, jual beli toi moko memicu ketertarikan orang-orang Eropa terhadap barang-barang yang mereka anggap etnografi antik.
Banyaknya permintaan inilah yang membuat pasar toi moko berkembang pesat. Pada 1821 sampai 1830, toi moko sangat laku dibeli orang-orang Eropa. Nah, biasanya, toi moko akan ditukar dengan barang-barang penting, seperti senjata api. Akibatnya, pasokan senjata api dan amunisi tersebar luar ke Selandia Baru. Jadi, saat perang saudara di Selandia Baru terjadi, perang itu disebut sebagai "Perang Senapan". The Guardian mengabarkan bahwa kepala leluhur Maori masih diimpor ke Eropa hingga akhir 1970-an.
5. Toi moko dan koleksi dari suku Maori dimaksudkan untuk penelitian sains

Dikutip Public Archaeology, Brian Hole, seorang peneliti dari University College London, menjelaskan bahwa ketika orang-orang Eropa mulai menjelajahi Selandia Baru, mereka membawa penyakit dan senjata. Dua hal ini membuat populasi suku Māori menurun, diperkirakan sekitar 75 persen. Namun, orang-orang Eropa ini juga membawa sisa-sisa dari suku Māori, seperti kepala atau tulang belulang mereka untuk studi ilmiah pada masa depan.
Salah satu dari orang-orang Eropa itu adalah naturalis Austria bernama Andreas Reischek. Andreas Reischek mengungkapkan bahwa ia menjual koleksinya dari Selandia Baru untuk mendapatkan keuntungan besar. Ia juga menulis jurnal tentang ambisinya dan menyebut koleksinya itu untuk studi ilmiah pada masa mendatang.
6. Toi moko palsu dibuat untuk memenuhi permintaan pasar

Nah, ketika permintaan toi moko tinggi, jumlah kepala yang tersedia ternyata tidak cukup untuk permintaan orang-orang Eropa tersebut. Akhirnya, suku Māori membuat toi moko palsu. Dalam artian, kepala toi moko bukanlah kepala dari seorang pemimpin dan tidak ada ritual khusus dalam pembuatan toi moko tersebut.
Seperti yang sudah kita bahas, toi moko adalah praktik sakral untuk melestarikan kenangan dan kehidupan pemimpin spiritual serta pemimpin suku. Nah, jadi banyak toi moko yang sampai ke tangan kolektor Eropa merupakan kepala budak dan tawanan perang. Wajah orang-orang ini akan ditato sebelum dieksekusi. Nantinya, kepala mereka akan dijadikan toi moko. Di sisi lain, Tato Maori asli memiliki makna tersendiri. Oleh sebab itu, toi moko yang dibuat dari kepala budak dan tawanan harus dibuat sebagus mungkin untuk mengelabui orang-orang Eropa.
7. Horatio Gordon Robley pernah memborong toi moko

Sangat sedikit foto-foto toi moko yang beredar di media karena suku Māori memang melarang untuk memotretnya. Namun, ada salah satu foto toi moko yang paling terkenal, yakni foto yang dipotret Horatio Gordon Robley. Saat itu, Robley bertugas di Selandia Baru selama Perang Tanah Māori.
Sebagaimana yang dilansir Museum Sejarah Alam Amerika, Horatio Gordon Robley membeli banyak kepala toi moko. Sebelumnya, ia pernah membeli satu kepala dari seorang frenologis London. Ia mengumpulkan sekitar 50 toi moko dan menjualnya kembali ke Selandia Baru dengan harga yang jauh lebih murah. Namun, Selandia Baru menolak dan koleksinya akhirnya diberikan kepada Museum Sejarah Alam Amerika.
Horatio Gordon Robley sendiri menulis buku berjudul Moko; or Māori Tattooing. Dalam buku ini, Robley mengeluh mengapa toi moko diperdagangkan. Ia menyebut kalau jual beli toi moko sangat "mengerikan" dan "kotor." Selain itu, ia juga mengaku bangkrut karena memborong toi moko.
Horatio Gordon Robley akhirnya meninggal dalam keadaan miskin. Meski tidak sempat melihat koleksinya kembali, koleksinya masih ada. Pada 2014, koleksi Robley dikembalikan.
8. Organisasi di balik permintaan repatriasi

Pada 2003, Museum Selandia Baru Te Papa Tongarewa secara resmi ditugaskan untuk mencari sisa-sisa dari peninggalan suku Māori. Ini tidak hanya toi moko, tetapi juga sisa-sisa kerangka. Mereka bernegosiasi dengan para pemilik koleksi dari berbagai negara untuk mengembalikan koleksi mereka ke Selandia Baru.
Suku Maori sendiri sudah lama meminta sisa-sisa fisik dari leluhur mereka. Pada 2021, Museum Canterbury akhirnya setuju untuk mengembalikan leluhur iwi (atau suku) Rangitāne o Wairau kepada suku Māori setelah 60 tahun tidak diberikan. Museum-museum lain juga melakukan hal serupa.
Pada 2020, Museum Etnologis Jerman dari Staatliche Museen zu Berlin mengembalikan toi moko mereka. Lalu, pada 2017, Museum Pitt Rivers di Oxford mengembalikan tujuh toi moko mereka. Staatliche Museen zu Berlin atau Museum Negeri Berlin juga mengembalikan dua toi moko ke suku Māori pada 2020. Kemudian, pada 2011, Reuters melaporkan dikembalikannya 1 toi moko dari total 16, yang dipulangkan ke Selandia Baru dalam sebuah upacara sebagai tanda penghormatan. Toi moko dan sisa-sisa kerangka tersebut dibawa ke tempat suci yang disebut wahi tapu, tempat mereka beristirahat.
9. Toi moko yang ingin dikembalikan mengalami kendala dari segi asal-usulnya

Pada 2007, perwakilan dari British Museum pergi ke Selandia Baru untuk membahas permintaan pemulangan toi moko. Meski begitu, permintaan pemulangan ini tidaklah mudah. Nah, hal ini berkaitan dengan asal-usul kepala-kepala itu. Tidak ada dokumentasi untuk mencari tahu asal muasal dan siapa sebenarnya pemilik kepala-kepala tersebut.
Nah, hal ini juga dipersulit karena beberapa toi moko adalah palsu atau toi moko dari kepala budak atau tahanan yang ditato dan dieksekusi. Tak sekadar itu, membedakan mana yang asli dan palsu juga agak sulit. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencari tahu dari mana asal toi moko, tetapi hasilnya nihil.
10. Makna toi moko bagi suku Maori

Menurut sebuah makalah pada 2007 yang diterbitkan dalam jurnal Public Archaeology berjudul "Playthings for the Foe: The Repatriation of Human Remains in New Zealand", toi moko sebenarnya didefinisikan sebagai otoritas spiritual, karisma, dan prestise atau tapu (sakral). Kisah toi moko berakar dari dua bersaudara yang melarikan diri dari kejaran musuh. Salah satu dari mereka terluka dan berkata ke saudara kandungnya, "Jangan biarkan kepalaku menjadi mainan bagi musuh." Itu sebabnya, salah satu saudara kandung memenggal kepala saudara kandungnya sendiri yang meninggal karena terluka. Ia kemudian melarikan diri mengubah kepala tersebut menjadi toi moko.
Ajaran suku Māori juga berkata bahwa toi moko itu sangat sakral. Hal itu menyangkut momen penting seorang pemimpin setelah meninggal dunia. Saat perwakilan dari British Museum mewawancarai anggota suku Māori di tengah permintaan pemulangan, salah satu dari mereka mengatakan bahwa toi moko yang dibuat tanpa ritual, seperti kepala yang diambil dari seorang budak dan tatonya dibuat dengan simbol-simbol yang tidak memiliki makna, hanyalah kepala pajangan. Suku Māori pun tidak mau kepala semacam itu dikembalikan kepada mereka. Jadi, toi moko bukanlah perkara yang sepele bagi suku Māori.
Suku Māori sempat diperbincangkan di media sosial karena tarian haka mereka. Tarian ini bahkan pernah ditampilkan dalam protes Free Palestine dan ditampilkan oleh Hana Rawhiti di Parlemen New Zealand. Nah, tak hanya tariannya, nih. Ternyata suku Māori juga punya warisan lain, yakni toi moko. Seperti yang telah kita bahas pada poin-poin sebelumnya, toi moko adalah kepala dari pemimpin suku Māori. Sayangnya, masuknya penjelajah Eropa ke Selandia Baru membuat toi moko ini diperjualbelikan dan makna spiritualnya hilang.