Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sekolah Dasar hingga Tinggi Era Hindia Belanda yang Terkenal Elit

potret suasana kelas sekolah HBS Surabaya tahun 1927 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/Isken & Co. J. Apon)

Penerapan kebijakan politik etis awal abad ke-20 menjadi titik cerah bagi pendidikan di Hindia Belanda (Indonesia). Salah satu pokok kebijakannya adalah edukasi, dimana pemerintah kolonial membuka lebih banyak sekolah bagi masyarakat Bumiputera. Namun tetap saja diskriminasi sosial berlaku dalam sistem pendidikan kala itu.

Adanya kelas-kelas sosial dan ekonomi, secara tidak langsung mendorong adanya sekolah elit dan sekolah biasa. Sekolah elit merupakan sekolah yang hanya diperuntukkan bagi kalangan Eropa dan elit Bumiputera seperti bangsawan dan anak pegawai negeri. Apa sajakah sekolah-sekolah tersebut? Simak penjelasannya berikut ini.

1.ELS (Europeeschee Lager School)

potret ELS di Ambon tahun 1925 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

ELS merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, khususnya Belanda di Indonesia.  Sekolah ini setara dengan Sekolah Dasar (SD), hanya saja lama belajarnya mencapai 7 tahun.  Mengutip buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur yang ditulis oleh tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pelajaran yang diajarkan sangatlah kompleks mulai dari menulis, berhitung, sejarah Belanda dan Hindia Belanda hingga bahasa Asing seperti Perancis dan Inggris. Tentu saja bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda, sehingga tak heran jika biayanya jauh lebih mahal.

Sekolah tersebut pertama kali dibuka pada tahun 1818 dengan nama Lagere Scholen Voor Europanen. Kemudian pada tahun 1902 diganti dengan nama Europesche Lagere School.  Sejak tahun 1900-an perkembangannya menjadi lebih pesat karena banyak yang minat masuk ke sekolah tersebut. Jika awalnya hanya untuk anak-anak Eropa kemudian anak-anak Timur Asing dan Bumiputera elit bisa masuk ke sekolah tersebut.

2.MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

potret suasana kelas MULO di Yogyakarta tahun 1938 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

MULO merupakan lanjutan dari sekolah dasar baik ELS maupun HIS (Hollandch-Inlandsche School) atau setara SMP (Sekolah Menengah Pertama). Masih dari sumber buku yang  sama, lama belajarnya adalah 3 atau 4 tahun jika ingin masuk ke kelas pendahuluan.

Sekolah ini pertama kali dibuka tahun 1914 di kota-kota besar atau kota kabupaten saja.  Masa awal pembukaan, hanya anak-anak kalangan Eropa yang masuk ke MULO.  Lambat laun, anak-anak Bumiputera kalangan elit mulai masuk ke sekolah tersebut.  Bisa dikatakan elit karena memang hanya lulusan ELS atau HIS saja yang bisa masuk serta harus bisa bahasa Belanda mengingat bahasa pengantarnya adalah bahasa negeri ratu Wilhelmina tersebut.

3.HBS (Hoogere Burger School)

potret suasana kelas sekolah HBS Surabaya tahun 1927 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/Isken & Co. J. Apon)

Dalam buku Oud Soerabaia karya Von Vaber mencatat bahwa berdasarkan Keputusan Gubernemen 30 Agustus 1875 sekolah tersebut diganti nama menjadi Hoogere Burgerschool yang secara resmi dibuka pada 1 November pada tahun yang sama. HBS merupakan lanjutan dari MULO atau setara dengan sekolah menengah. 

Sekolah menengah atas ini seringkali dipandang elit dan istimewa. Sebab, tidak semua kalangan bisa masuk di sekolah tersebut entah itu karena biaya, status sosial dan ekonomi maupun kemampuan berpikir. Vaber juga melaporkan dalam bukunya Oud Soerabaia sekolah ini didominasi oleh kalangan keturunan Eropa atau Indo. Sedangkan anak-anak bumiputera hanya sebagian kecil saja, khususnya dari kalangan pejabat elit atau keturunan bangsawan.

Tenaga pengajarnya bisa dikatakan bukan main-main, sebab kebanyakan mereka bergelar setara dengan doktor. Tak heran jika banyak tokoh bangsa merupakan alumni sekolah ini, salah satunya adalah sang proklamator Soekarno.

4. OSVIA (Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaaren)

potret siswa OSVIA Magelang di depan sekolah sekitar tahun 1918-1919 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

OSVIA adalah sekolah khusus untuk melatih dan mencetak pejabat bumiputera. Dulunya sekolah ini bernama Hoofden School atau Sekolah Raja yang didirikan tahun 1878. Dari namanya saja sudah sangat kentara bahwa sekolah ini dimaksudkan hanya kalangan bumiputera tertentu seperti anak bangsawan, pegawai negeri, pegawai perusahaan dan semacamnya.

Selanjutnya, menurut buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur pada tahun 1927 OSVIA berganti nama menjadi MOSVIA (Middlebare Opleiding Scholen voor Inlandsce Ambtenaaren). Itu artinya OSVIA setingkat dengan sekolah menengah.

Hanya lulusan sekolah rendah Eropa (ELS dan HIS) saja yang bisa masuk ke sekolah ini. Adapun bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar, sebab nantinya lulusannya akan diangkat menjadi pejabat dan pegawai pemerintahan. Sebagai catatan siswa harus menempuh masa belajar selama 5 tahun.

5.STOVIA (School tot Opleiding van Inlandche Artsen)

potret suasana ruang praktikum STOVIA di Batavia tahun 1933 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

STOVIA merupakan sekolah tinggi kedokteran dan cikal bakal fakultas kedokteran universitas Indonesia.  Sebelumnya sudah ada Sekolah Dokter Djawa yang merupakan tempat latihan bagi calon-calon dokter Bumiputera. Seperti yang dicatat M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, bahwa sejak tahun 1902 Sekolah Dokter Jawa  di Weltevreden (Jakarta) diganti menjadi STOVIA dan tahun 1927diubah lagi menjadi Geneeskundige Hoogeschool.

Hanya segelintir orang saja yang mampu sekolah kedokteran tersebut karena biayanya teramat mahal. Kebanyakan mereka adalah anak bupati, pegawai negeri atau ambtenaar, dan beberapa anak Eropa. Saat Abendanon menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan Hindia Belanda, berusaha memberi kesempatan bagi kalangan menengah bawah dengan menurunkan biaya sekolah bagi orang tua berpenghasilan di bawah 50 gulden. Sayangnya hal itu tidak tercapai akibat ditentang kaum elit bangsawan. Sampai akhir, STOVIA tetap menjadi sekolah tinggi yang paling elit dan terpandang.

Itulah beberapa sekolah zaman Belanda yang sering dipandang elit dan favorit oleh masyarakat dahulu. Kini kita patut bersyukur bisa berkesempatan bersekolah dengan layak dimana pun, tanpa diskriminasi sosial dan ekonomi. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us