Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Beda Satelit Starlink Milik Elon Musk Vs SATRIA-1 Punya Negara

Menkominfo, Budi Arie Setiadi, bersama dengan CEO SpaceX, Elon Musk (dok. IDN Times/Istimewa)
Intinya sih...
  • Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Starlink milik Elon Musk untuk membantu antar-fasyankes primer di daerah terhubung dengan baik.
  • Starlink akan membantu pencatatan data imunisasi, skrining PTM, dan penimbangan balita secara digital di Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK).
  • Kominfo mendorong Starlink melayani pelanggan ritel di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang susah dijangkau infrastruktur daratan.
  • SATRIA-1 adalah satelit GEO berada 36.000 km dari permukaan Bumi.
  • Menggunakan akses internet langsung dari satelit memerlukan VSAT.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi bekerja sama dengan layanan satelit Starlink milik Elon Musk. Teknologi ini akan digunakan untuk membantu antar-fasyankes primer di daerah terhubung dengan baik.

Starlink juga akan membantu proses pencatatan data imunisasi, skrining penyakit tidak menular (PTM), serta penimbangan balita secara digital di Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK) yang dapat dilakukan dengan cepat.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendorong Starlink melayani pelanggan ritel di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Area tersebut diketahui susah dijangkau oleh infrastruktur daratan, seperti kabel fiber optik. Layanan internet berbasis satelit akan membantu pemerataan internet di wilayah pelosok.

Di samping itu, pemerintah juga mempunyai Proyek Satelit Republik Indonesia (SATRIA-1) untuk menuntaskan kekurangan konektivitas pada layanan publik pemerintahan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T dan perbatasan.

Sebenarnya, apa keunggulan dari Starlink? Dan bagaimana jika dibandingkan dengan SATRIA-1? Temukan jawabannya di bawah ini.

Antara GEO dan LEO

SATRIA-1 merupakan satelit Geostationary Earth Orbit (GEO) yang berada di ketinggian 36.000 kilometer dari permukaan Bumi.

Teknologi ini memungkinkan layanan langsung akses internet Direct to Home (DTH), dalam hal ini ke lokasi kantor pelayanan publik. Model satelit ini memang cocok untuk lokasi remote seperti kantor pemerintahan dan sekolah yang ada di wilayah 3T.

Untuk menggunakan akses internet langsung dari satelit, diperlukan Very Small Aperture Terminal (VSAT). Ini seperti antena parabola kecil, berdiameter antara 0,6 hingga 2,4 meter. Namun ada juga antena VSAT besar dengan panjang 3 sampai 6 meter.

SATRIA-1 memiliki kapasitas 150 Gbps yang dijanjikan memberikan akses internet di 150.000 titik layanan publik. Dengan total kapasitas transmisi satelit sebesar 150 Gbps, maka setiap titik layanan akan mendapatkan kapasitas dengan kecepatan sampai 1 Mbps.

Dengan operasi transmisi lewat udara, memungkinkan layanan SATRIA-I menjangkau cakupan wilayah yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, termasuk daratan, gunung, bukit, lembah dan ngarai.

Sedangkan Starlink adalah satelit Low Earth Orbit (LEO) yang ketinggiannya hanya 500 kilometer dari permukaan Bumi.

Starlink menawarkan kecepatan antara 25 hingga 200 Mbps, beberapa melaporkan kecepatannya hingga 300-400 Mbps.

Untuk bisa menggunakan Starlink, calon konsumen harus memesan perangkat kerasnya. Harganya dibanderol Rp750.000 per bulan dan Rp7.800.000 untuk perangkat keras atau hardware.

Perbedaan antara keduanya

ilustrasi internet satelit Starlink milik Elon Musk (X/@Starlink)

Pakar satelit Meiditomo Sutyarjoko, menjelaskan perbedaan antara Starlink dengan SATRIA-1.

Starlink

  • Milik swasta (Spacex).
  • Terdiri dari banyak satelit di orbit rendah.
  • Fokus layanan internet individual berkecepatan tinggi.
  • Jangkauan global.

SATRIA-1

  • Milik pemerintah Indonesia.
  • Satelit tunggal besar di orbit GEO.
  • Fokus pemerataan akses internet di wilayah terpencil.
  • Jangkauan terbatas hanya di Indonesia.

Plus-minus Starlink

Adapun keuntungan serta kekurangan Starlink, di antaranya:

Keuntungan

  • Latensi lebih rendah: Jarak yang lebih dekat ke Bumi menghasilkan transmisi sinyal yang lebih cepat.
  • Cakupan lebih baik: Konstelasi besar dapat menyediakan cakupan global, termasuk wilayah terpencil.
  • Biaya peluncuran lebih rendah: Satelit yang lebih kecil lebih murah untuk diluncurkan.

Kekurangan

  • Umur lebih pendek: Peningkatan hambatan atmosfer memerlukan penggantian yang lebih sering.
  • Pelacakan yang lebih kompleks: Pergerakan yang konstan memerlukan sistem darat yang canggih.
  • Potensi sampah luar angkasa: Konstelasi besar menimbulkan risiko lebih tinggi terjadinya sampah luar angkasa.

Kelebihan dan kekurangan SATRIA-1

Satelit SATRIA-1 (dok. Thales Alenia)

Sedangkan SATRIA-1, memiliki kelebih dan kekurangan sebagai berikut:

Keuntungan

  • Cakupan stasioner: Satelit tetap berada di langit, menyederhanakan pelacakan antena.
  • Area cakupan luas: Satelit tunggal dapat mencakup wilayah geografis yang luas.
  • Umur yang lebih panjang: Hambatan atmosfer yang lebih sedikit menyebabkan masa operasional lebih lama.

Kekurangan

  • Latensi lebih tinggi: Jarak yang lebih jauh dari Bumi menghasilkan transmisi sinyal yang lebih lambat.
  • Cakupan terbatas di kutub: Kekuatan sinyal melemah secara signifikan di wilayah lintang yang lebih tinggi.
  • Biaya peluncuran lebih tinggi: Satelit yang lebih besar memerlukan roket yang lebih kuat dan mahal.

Persaingan dengan provider internet

Masalah lain yang ditimbulkan dari kehadiran Starlink adalah persaingan dengan provider internet di Indonesia. Lebih dalam, Meiditomo juga menjelaskan poin-poinnya di bawah ini:

Dampak Positif:

  1. Memberi alternatif teknologi untuk akses internet, selain yang sudah dan akan diberikan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia
  2. ⁠Membangkitkan operator Indonesia untuk berkompetisi memghadapi operator global.

Dampak negatif:

  1. Menjadi kompetisi yang tidak adil pada operator lokal karena layanan milik Elon Musk itu mempunyai stuktur biaya perizinan yang berbeda.
  2. ⁠Berpotensi menguasai seluruh jaringan satelit non-geostasioner, karena menjadi yang pertama kali. Dalam aturan International Telecommunication Union (ITU) saat ini, akan cukup sulit bagi Indonesia untuk memiliki satelit non-GSO-nya sendiri, karena adanya Starlink yang lebih senior.
  3. Kebergantungan pada penyelenggara satelit asing untuk infrastruktur yang amat penting bagi negara (sarana kesehatan masyarakat, dan lain-lain).

Kenapa Kemenkes tidak menggunakan SATRIA-1?

Menkes Budi dan Elon Musk kerjasama starlink/dok Kemenkes

Dari 10.000 puskesmas yang ada di Indonesia, sekitar 745 masih blank spot atau tidak memiliki akses internet sama sekali dan 1.475 memiliki akses internet yang terbatas. Semuanya tersebar di 7.000 pulau di Indonesia.

Starlink sendiri akan diuji coba di Puskesmas Pembantu (Pustu) Sumerta Kelod, Denpasar, Puskesmas Pembantu (Pustu) Bungbungan, Klungkung dan Puskesmas Tabarfane di Kepulauan Aru, Maluku.

Namun kehadiran Starlink ini tengah menimbulkan polemik karena punya pasar yang sama seperti SATRIA-1. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan nasib satelit yang dibuat oleh Thales Alenia Space itu. Tapi, Meiditomo sendiri enggan berkomentar banyak.

"Kita semua bisa menduga bahwa sebenarnya Kemenkes perlu menghubungkan kantor dan sarana kesehatan masyarakatnya secafa online-hal yang lumrah, dan semua bisa memaklumi," ujarnya kepada IDN Times.

Menurutnya, setiap teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing. Soal Kemenkes yang menggunakan Starlink, ini menyangkut masalah isu pilihan, prioritas, dan keberpihakan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
Misrohatun H
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us