Sejarah Tradisi Membangunkan Sahur di Indonesia

Indonesia memiliki tradisi yang unik saat memasuki bulan Ramadan. Salah satunya adalah tradisi membangunkan orang untuk sahur dengan membunyikan beduk dan berteriak “Sahur! Sahur!”. Jika tak ada beduk, alat-alat seadanya seperti galon dan kentongan pun jadi.
Tradisi ini melibatkan umat Islam segala usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Ini membuat bulan Ramadan menjadi lebih meriah dan dirindukan. Lalu bagaimana asal-usul sejarah tradisi membangunkan sahur di Indonesia? Simak penjelasannya berikut ini!
1. Berawal dari tradisi membangunkan sahur pada zaman Rasulullah

Di zaman Nabi Muhammad, belum ada pengeras suara atau alat yang dapat digunakan untuk membangunkan sahur. Karenanya, cara yang dipakai sangat sederhana, yaitu dengan mengumandangkan azan.
Hanya saja, bukan untuk salat, melainkan sebagai pengingat waktu sahur. Bilal bin Rabah adalah orang yang ditunjuk Rasulullah untuk melakukannya.
2. Ada pula tanda berakhirnya waktu sahur

Berakhirnya waktu sahur ditandai dengan azan oleh Abdullah bin Ummi Maktum. Azan ini dikumandangkan sebagai pertanda masuknya waktu subuh karena pada saat itu tidak ada istilah imsak.
3. Setelah zaman Rasul, bangsa Arab berkeliling membangunkan orang untuk sahur

Penduduk di sekitar Mekkah memiliki kelompok-kelompok yang bertugas untuk membangunkan orang makan sahur. Bersenjatakan lentera dan gendang, mereka berkeliling ke sudut kota sambil meneriakkan bahwa waktu sahur telah tiba. Tradisi ini diadaptasi oleh bangsa Indonesia di berbagai daerah.
4. Beduk Sahur sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu

Beduk Sahur atau Ngarak Beduk adalah sebutan untuk tradisi membangunkan umat Islam untuk sahur menggunakan beduk. Tradisi ini dimulai oleh masyarakat Betawi sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka menabuh beduk karena pada saat itu Jakarta masih berupa hutan dan rawa-rawa yang sulit ditembus suara manusia.
5. Saat pengaruh budaya China masuk, beduk digantikan dengan petasan

Budaya Betawi dan China di masa lalu memiliki hubungan yang erat karena masyarakatnya hidup berdampingan. Saat pengaruh budaya China masuk, beduk untuk membangunkan sahur berganti dengan petasan. Ini karena petasan memiliki suara yang keras sehingga bisa mengejutkan orang yang mendengarnya.
6. Petasan kemudian digantikan dengan alat musik tradisional

Sekitar abad ke-19, petasan tidak lagi digunakan. Masyarakat memilih menggunakan alat musik tradisional seperti beduk, gendang, rebana, dan lain-lain. Karena menggunakan alat musik, terkadang masyarakat menyertainya dengan nyanyian lagu Betawi. Orang-orang yang dibangunkan pun menjadi terhibur.
7. Setiap daerah di Indonesia juga memiliki tradisi sahurnya masing-masing

Di Sulawesi, tradisi beduk sahur dinamakan Dengo-dengo, sedangkan di Jawa Barat disebut Ubrug-ubrug. Ini adalah tradisi sahur yang paling umum dilakukan di Indonesia.
Di daerah lain juga ada tradisi sahur yang unik, lho. Seperti Patrol Canmacanan dari Situbondo, Klotekan dari Yogyakarta, dan Buroq dari Brebes. Pada umumnya tradisi tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan daerah masing-masing.
8. Kini tradisi membangunkan orang sahur sudah mulai berkurang

Meskipun unik, aktivitas ini menuai pro dan kontra dari masyarakat karena sebagian menganggapnya mengganggu ketertiban umum. Ini terkait dengan larangan membuat kegaduhan di malam hari yang diatur dalam Pasal 503 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan diancam dengan kurungan paling lama tiga hari atau denda hingga Rp225 ribu.
Demikian fakta sejarah tradisi membangunkan sahur di Indonesia, Bagaimana dengan di lingkungan sekitar rumahmu? Apakah tradisi berkeliling kampung untuk membangunkan orang sahur masih dilakukan hingga saat ini? Ceritakan di kolom komentar ya!