Apakah Benar Gaji Atlet Kemahalan? Sobat UMR Merapat!

- Gaji atlet mengikuti perputaran uang dalam industri olahraga
- Ini soal kebiasaan kita menilai harga diri seseorang dari kontribusinya terhadap ekonomi
- Gaji tidak mencerminkan kontribusi seseorang di masyarakat
Beberapa waktu lalu, pernyataan Taylor Swift soal tunangan atletnya, Travis Kelce, harus menanggung risiko besar saat bertanding menuai perdebatan. Pernyataan itu ia lontarkan saat menghadiri acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon pada 6 Oktober 2025. Meski tidak bisa dimungkiri kalau atlet memang berpotensi mengalami cedera fatal, orang menganggap risiko dan kontribusi pekerjaan mereka di masyarakat masih kalah dibanding beberapa profesi spesifik lain, seperti pemadam kebakaran dan tenaga kesehatan. Apalagi, kalau sudah menyenggol gaji. Atlet jelas dapat banyak privilese yang tidak bisa didapat pekerja biasa di sektor lain, walaupun risiko dan kontribusi mereka bisa dikategorikan lebih signifikan. Lantas, apakah benar gaji atlet terlalu mahal? Coba kita telaah lebih lanjut!
1. Gaji atlet mengikuti perputaran uang dalam industri olahraga
Gaji seseorang sebenarnya sangat erat dengan industri atau sektor yang mereka geluti. Makin lukratif sektor yang mereka tekuni, makin besar pula penghasilan yang bisa mereka dapat. Hukum ini menjelaskan bagaimana orang-orang yang bekerja di sektor energi, teknologi, farmasi, dan keuangan punya penghasilan relatif lebih tinggi dibanding orang-orang yang bekerja di bidang pendidikan, penerbitan, ritel, dan logistik.
Olahraga bisa dikategorikan salah satu industri yang lukratif tersebut. Silakan cek sendiri rate harga hak siar sebuah turnamen, tiket pertandingan, dan pernak-pernik resmi tim. Belum lagi game dan judi online. Firma konsultan bisnis, Kearney, memprediksi kalau pada 2030 nanti valuasi industri olahraga bisa mencapai 602 miliar dollar AS (Rp10 kuadriliun). Bila ingin dipersempit, satu klub sepak bola di Bundesliga Jerman dan LaLiga Spanyol bisa dapat penghasilan rata-rata 100—122 juta euro (Rp1,9—2,3 triliun) per musim pada 2023/2024 menurut data Deloitte. Penghasilan rata-rata tahunan klub English Premier League bahkan mencapai 316 juta pound sterling (Rp7 triliun) pada periode yang sama.
2. Ini soal kebiasaan kita menilai harga diri seseorang dari kontribusinya terhadap ekonomi
Dari situ sudah terlihat betapa besarnya nominal uang yang mengalir dalam industri olahraga. Sekarang, apa justifikasi memberi gaji besar kepada atlet? Ternyata ini berkaitan erat dengan kebiasaan kita menilai harga diri seseorang dari kontribusinya terhadap ekonomi, bukan masyarakat. Kebiasaan itu muncul sebagai dampak dari sistem ekonomi kapitalis. Dengan logika itu, sangat normal kemudian menggaji atlet dari dampak ekonomi yang mereka berikan.
Bayangkan seberapa besar uang yang diterima klub dari fans hanya untuk menonton atlet favorit mereka. Eksistensi penggemar ini otomatis berbanding lurus pula pada ketertarikan sponsor dan investor untuk menaruh uang mereka di sebuah turnamen atau klub olahraga. Tak heran bila kemudian Victor Matheson, profesor ekonomi olahraga dari College of the Holy Cross in Worcester, Massachusett, Amerika Serikat, seperti diwawancara The Athletic, berargumen bahwa masih banyak atlet yang berstatus underpaid. Ini karena terkadang kontribusi mereka terhadap klub atau tim amat besar dan belum sebanding dengan gaji yang mereka dapat.
3. Gaji tidak mencerminkan kontribusi seseorang di masyarakat
Dengan pola pikir kapitalis itu, kita tidak akan pernah menemukan keadilan. Sampai kapan pun, kita yang sebagian besar kelas pekerja biasa akan melihat gaji atlet terlalu mahal. Apalagi, kita sadar, dunia akan tetap berjalan seperti biasa tanpa ada industri olahraga. Beda halnya bila industri esensial seperti energi, kesehatan, pertanian, dan logistik yang mandek. Namun, apa boleh buat, kita telanjur hidup di tengah sistem ekonomi kapitalis yang orientasinya profit, bukan keadilan dan moralitas.
Justifikasi lain perkara tingginya gaji atlet mungkin berkaitan dengan fakta mereka hanya punya masa karier yang pendek. Namun, itu sebenarnya bisa ditampik untuk kasus cabor populer, seperti american football, sepak bola, basket, dan tenis. Dalam rentang waktu pendek itu saja, mereka bisa mengisi pundi-pundi untuk bekal pensiun yang nyaman. Bandingkan dengan buruh dan pekerja biasa yang setelah bekerja puluhan tahun hanya dapat dana pensiun yang tak seberapa.
Problem gaji atlet yang relatif besar itu mungkin bisa jadi tamparan buat kita semua. Gaji bukanlah cerminan kontribusi seseorang di masyarakat, apalagi harga diri. Pada dasarnya, orang-orang kaya di dunia pun perlu dipertanyakan. Sebab, mayoritas berakar dari aktivitas eksploitasi. Entah eksploitasi sumber daya alam atau eksploitasi manusia, yakni menggaji pekerja dengan upah rendah memanfaatkan ketimpangan kurs mata uang dan standar gaji minimum tiap negara.