Cynthia Cooper-Dyke, GOAT di Dunia Basket Perempuan

- Cynthia Cooper-Dyke ikon WNBA, dijuluki Michael Jordan-nya basket perempuan.
- Memulai karier WNBA pada usia 34 tahun, memimpin Houston Comets meraih empat gelar juara WNBA berturut-turut.
- Dinobatkan sebagai MVP Finals WNBA sebanyak empat kali berturut-turut.
Nama Cynthia Cooper-Dyke lekat dengan dominasi di dunia bola basket perempuan. Dia bukan hanya seorang pemain, melainkan juga ikon yang mengubah wajah WNBA. Cooper-Dyke sekaligus inspirasi bagi lintas generasi, khususnya pemain basket perempuan. Dia salah satu yang terbaik sepanjang masa. Beberapa menyebutnya sebagai Michael Jordan di dunia basket perempuan.
1. Menjadi legenda di USC dengan dua gelar juara NCAA
Lahir pada 14 April 1963 di Chicago, Illinois, Cynthia Cooper-Dyke justru tidak tumbuh di sana. Dia tumbuh di lingkungan Los Angeles, California, Amerika Serikat yang penuh tantangan. Meski menghadapi berbagai hambatan sosial dan ekonomi di kota besar, Cooper-Dyke menemukan pelariannya sendiri di dunia basket. Penampilannya di lapangan sekolah menengah menjadi awal dari perjalanan luar biasa seorang atlet yang kelak menguasai panggung dunia.
Setelah lulus sekolah, Cooper-Dyke melanjutkan pendidikan ke University of Southern California (USC) untuk bermain bersama Trojans, tim basket mereka. Dia bermain bersama pemain legendaris lain macam Cheryl Miller. Cooper-Dyke kemudian membantu timnya meraih dua gelar juara NCAA berturut-turut pada 1983 dan 1984.
Meski kariernya di WNBA relatif terlambat saat itu, dia mampu terus menunjukkan bakat luar biasanya. Ini yang juga membedakannya dari pemain lain. Tidak heran nomor 44 yang dikenakannya semasa kuliah dipensiunkan USC sebagai bentuk penghormatan.
2. Memulai karier profesional pada usia 34 tahun di WNBA
Karier profesional Cynthia Cooper-Dyke di WNBA dimulai ketika liga tersebut dibentuk pada 1997. Saat itu, dia sudah berusia 34 tahun, bukan usia emas seorang atlet pada umumnya. Bahkan, banyak yang mengira usia akan menjadi penghalangnya. Namun, Cooper-Dyke membalikkan semua ekspektasi.
Bersama Houston Comets, dia memimpin tim meraih empat gelar juara WNBA berturut-turut. Itu terjadi pada 1997--2000. Juara WNBA empat kali beruntun merupakan suatu prestasi yang belum terulang setidaknya hingga 2025 ini.
Dalam periode tersebut, Cooper-Dyke dinobatkan sebagai MVP Finals WNBA sebanyak empat kali berturut-turut. Dengan rata-rata mencetak lebih dari 20 poin per pertandingan selama karier WNBA-nya, dia membuktikan usia hanyalah angka. Keunggulannya dalam mencetak poin, memimpin tim, dan mempertahankan area tanpa mempertimbangkan usia justru menjadi kombinasi mematikan yang sulit diatasi lawan-lawannya.
3. Pensiun pada 2003, tetapi tidak meninggalkan dunia basket
Cynthia Cooper-Dyke berhenti dari dunia profesional pada 2003. Dia menyelesaikan perjalanannya dengan segudang prestasi di Houston Comets. Dua di antaranya gelar pemain terbaik WNBA pada 1997 dan 1998.
Setelah gantung sepatu, dia sendiri tidak meninggalkan dunia basket. Cooper-Dyke beralih kepada karier kepelatihan. Dia membawa semangat yang sama ke lapangan sebagai menor bagi pemain yang lebih muda.
Sebagai kepala pelatih di berbagai program basket perguruan tinggi, Cooper-Dyke juga mampu membimbing pemain muda untuk mencapai potensi maksimal mereka. Namun, warisannya tentu lebih dari sekadar itu. Dia adalah lambang tekad, ulet, dan semangat yang melampaui batas-batas.
Dalam sebuah wawancara, sang legenda pernah berkata, basket telah memberikan segalanya kepadanya. Lantas, dia ingin menularkan semuanya sebisa mungkin. Cynthia Cooper-Dyke pada titik ini menjadi bukti nyata ketekunan dan kecintaan kepada permainan dapat membawa seseorang ke puncak.
Dari masa kecilnya yang penuh tantangan hingga menjadi ratu basket WNBA dan ikon global, kisahnya boleh jadi relevan dan menginspirasi banyak orang. Dia bukan hanya greatest of all-time (GOAT) di dunia basket perempuan, melainkan juga simbol dari apa yang mungkin dicapai ketika seseorang berdedikasi kepada mimpinya. Mungkinkah kita bisa melihat lebih banyak sosok serupa pada masa depan?