Mengenal Videometri, Cara Ampuh Meningkatkan Performa Balap di MotoGP

Semua pembalap ingin jadi pemenang di MotoGP. Hanya saja, untuk bisa finis terdepan tak pernah mudah. Persaingan ketat selalu mewarnai jalannya perlombaan.
Tak heran, tiap tim mencari cara terjitu untuk bisa meningkatkan performa pembalapnya. Cara terampuh adalah dengan menganalisis data yang tersedia. Tak hanya data internal, tetapi juga kompetitor.
Ada dua cara untuk mengevaluasi kecepatan sendiri dan rival, yakni secara tradisional atau menggunakan video. Secara tradisional, pembalap bisa mengikuti slipstream dari rival di depannya. Sedangkan, cara termutakhir adalah dengan mempelajari video rekaman tiap pembalap. Rekaman video ini, setelah diolah dengan software tertentu, disebut dengan videometri.
1. Videometri bukan hal baru di MotoGP
Sejatinya, videometri bukan hal baru di MotoGP. Teknik ini sudah digunakan Ducati pada 2010. Namun, baru sejak 2024 semua tim MotoGP punya teknisi yang mengurusi videometri.
Videometri adalah alat analisis yang digunakan untuk melihat visualisasi data balapan di lintasan. Prosesnya dimulai dengan teknisi yang merekam video aksi tiap pembalap di tikungan tertentu. Ia lantas mengolahnya dengan perangkat lunak. Setelah itu, bersama dengan tim, mereka menganalisis untuk memilih garis balap terbaik.
2. Videometri bisa meningkatkan performa balap di lintasan
Videometri menggunakan overlay dua video. Dengan kata lain, ada dua rekaman video yang disinkronkan. Dari sini pembalap dan krunya menganalisis kelemahannya sendiri. Selain itu juga bisa membandingkan performanya dengan rival tercepat di lintasan.
Perbandingan yang dianalisis biasanya meliputi pengereman, manuver di pertengahan tikungan, dan akselerasi. Setelah mengevaluasi perbandingan tersebut, pembalap akan menemukan jalur yang paling menguntungkan di lintasan. Secara singkat, tujuan dari videometri tentu saja untuk meningkatkan performa pembalap.
3. Teknisi asal Belgia jadi pionir videometri di MotoGP
Ducati adalah tim pertama yang memanfaatkan videometri lewat teknisi asal Belgia, Serge Andrey. Ia menerapkannya saat bekerja di pabrikan Borgo Panigale pada 2010 hingga 2013. Kala itu, Andrey mengembangkan perangkat lunaknya sendiri karena belum tersedia di pasaran.
Pada 2014, Andrey pindah ke LCR Honda. Setahun berikutnya Cal Crutchlow memperkuat LCR dan teknik videometri makin berkembang di MotoGP. Sejak masih di Repsol Honda, Marc Marquez tertarik dengan videometri ini. Juara dunia enam kali itu sering mampir ke tempat Andrey bekerja. Meski teknisi di tim LCR, Honda juga membayar Andrey untuk membantu Marquez.
Honda lantas merekrut Motohiko Tono, eks teknisi Suzuki, untuk membuat departemen videometri tersendiri. Namun, Marquez tetap memilih Andrey. Hasil kerja Tono dipakai pembalap kedua Repsol Honda, awalnya Pol Espargaro, lalu Joan Mir.
Saking senangnya dengan kinerja Andrey, Marquez mengajaknya untuk pindah ke Gresini. Namun, tawarannya ditolak. Andrey memilih untuk tetap di LCR.
Software untuk mengolah data videometri sudah banyak tersedia. Tak hanya teknisi khusus, kini seorang coach atau pelatih balap yang memiliki kecakapan videografi sudah bisa mengolah videometri. Marc Marquez yang sekarang berseragam Ducati Lenovo, juga rekan setimnya Francesco Bagnaia, ditangani Manuel Poggiali.
Semua tim mengakui pentingnya peran videometri. Kini, tiap tim di grid MotoGP memiliki teknisi atau pelatih yang mengurusi videometri. Dengan memanfaatkannya, pembalap bisa memperbaiki performanya di tikungan krusial tiap sirkuit. Bisa meningkatkan kecepatan, meski sepersekian detik, tentu sebuah keuntungan.