Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Populer di Jepang dan Korea, Kenapa Bisbol Tak Bersinar di Indonesia?

ilustrasi bisbol (pexels.com/Lino Khim Medrina)
Intinya sih...
  • Bisbol populer di Jepang dan Korea Selatan, menjadi bagian dari budaya populer
  • Faktor sejarah, fasilitas, dan media menjadi alasan bisbol kurang diminati di Indonesia
  • Di Jepang dan Korea Selatan, bisbol telah menjadi bagian dari sistem pendidikan mereka

Jika ada pertanyaan mengenai negara mana di luar Amerika Serikat yang sangat menggemari bisbol, maka menjawab Jepang atau Korea Selatan merupakan hal yang tepat. Di kedua negara tersebut, bisbol bukan hanya dipandang sebagai olahraga, melainkan juga menjadi bagian dari budaya populer yang dinikmati oleh berbagai kalangan. Tiap kali pertandingan bisbol digelar, stadion dipastikan akan dipadati oleh para suporter, pertandingan disiarkan di berbagai media, dan pemainnya dipandang bak selebritas.

Namun, cerita berbeda terjadi di Indonesia. Meski memiliki komunitas kecil yang setia, sayangnya bisbol belum mampu menyaingi popularitas olahraga lain, seperti sepak bola atau bulu tangkis. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mungkin bisa menjadi alasan mengapa olahraga bisbol tak menjadi primadona di Tanah Air seperti halnya di Negari Sakura dan Ginseng.

1. Adanya perbedaan sejarah dan budaya

Di Jepang, Bisbol pertama kali diperkenalkan oleh seorang profesor asal Amerika Serikat bernama Horace Wilson pada 1872. Kala itu, ia mengenalkan olahraga ini kepada para siswa di Akademi Kaisei, Tokyo. Tahun ini juga menandai momen bersejarah saat bisbol pertama kali diperkenalkan dan dimainkan di lingkungan sekolah di Jepang.

Pada 1950, popularitas bisbol di Jepang mulai tumbuh dengan pembentukan liga profesional bernama Nippon Professional Baseball (NPB). Seiring waktu, liga ini berkembang hingga memiliki 12 tim yang terbagi ke dalam dua konferensi, yakni Liga Tengah dan Liga Pasifik. Tim seperti Yomiuri Giants menjadi penguasa liga dengan meraih gelar juara terbanyak dengan sembilan gelar juara. Sementara itu, Hanshin Tigers menyusul di posisi kedua dengan empat gelar juara. Melihat pertumbuhan bisbol yang sangat cepat di Jepang, dapat dikatakan bisbol telah menjadi bagian dari budaya olahraga di Jepang.

Di Korea Selatan, bisbol mulai diperkenalkan pada 1905 melalui pengaruh Amerika Serikat selama masa kolonial Jepang. Selama periode tersebut, pemerintah kolonial Jepang mempromosikan bisbol sebagai salah satu cara untuk mengintegrasikan budaya Jepang ke dalam kehidupan masyarakat Korea. Namun, upaya ini menghadapi hambatan karena bisbol dianggap sebagai olahraga kelas elite oleh masyarakat Korea, ditambah dengan sentimen anti-Jepang yang cukup kuat pada masa itu.

Setelah semenanjung Korea terbagi menjadi Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat dan Korea Utara yang berpihak kepada Uni Soviet pascapenjajahan Jepang, nasib bisbol mulai berbeda di kedua wilayah. Di Korea Selatan, olahraga ini perlahan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Di Korea Utara, bisbol diabaikan karena dianggap mencerminkan budaya kapitalis. Popularitas bisbol di Korea Selatan meningkat signifikan pada 1970-an, terutama melalui turnamen bisbol tingkat sekolah menengah yang menjadi ajang prestisius. Puncaknya terjadi pada 1982 ketika Korea Selatan secara resmi meluncurkan liga profesional bernama Korea Baseball Organization (KBO) League.

Situasi ini berbeda dengan di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, olahraga seperti sepak bola, bulu tangkis, dan voli menjadi yang pertama kali diperkenalkan dan sukses menarik minat masyarakat. Akibatnya, bisbol yang datang belakangan tidak mendapatkan sorotan yang sama di tanah air.

2. Kurangnya dukungan fasilitas dan infrastruktur

Salah satu alasan yang cukup masuk akal untuk menjelaskan mengapa bisbol tak memiliki nama besar di Indonesia adalah karena minimnya fasilitas dan infrastruktur yang mendukung olahraga ini. Sebagian besar lapangan atau stadion di Indonesia dirancang untuk olahraga seperti sepak bola atau futsal, yang tidak memerlukan lahan terlalu luas. Sementara, lapangan bisbol membutuhkan area yang jauh lebih besar, sehingga sulit untuk disediakan di banyak daerah.

Selain itu, bisbol membutuhkan berbagai perlengkapan seperti sarung tangan, pemukul, helm, dan bola. Harganya relatif mahal. Hal ini berbeda dengan sepak bola yang dapat dimainkan tanpa memerlukan banyak perlengkapan.

Hal ini berbanding terbalik dengan di Jepang dan Korea Selatan. Di sana, fasilitas serta infrastruktur untuk bisbol sangat mudah ditemukan hampir di tiap kota. Ada stadion besar yang khusus digunakan untuk bisbol, seperti Tokyo Dome dan Koshien Stadium di Jepang serta Gocheok Sky Dome dan Jamsil Baseball Stadium di Korea Selatan. Kemudian, batting cage atau tempat untuk berlatih memukul bola bisbol tersedia di banyak lokasi.

3. Minimnya peliputan tentang bisbol di berbagai media

Layaknya sepak bola di Indonesia yang memiliki liga untuk mempertandingkan antarklub sepak bola, Jepang dan Korea Selatan juga memiliki liga profesional untuk mempertandingkan antarklub bisbol. Di Jepang, liga ini dikenal sebagai NPB. Sedangkan, di Korea Selatan, liga ini disebut KBO.

Liga-liga bisbol di Jepang dan Korea Selatan selalu mendapatkan perhatian besar dari media. Beberapa stasiun TV nasional bahkan rela menunda program reguler mereka untuk menyiarkan pertandingan bisbol, seperti yang terjadi kepada acara musik mingguan Korea, SBS Inkigayo, yang pernah tertunda karena menayangkan pertandingan KBO. Selain itu, pelaksanaan liga bisbol di kedua negara ini didukung oleh banyak sponsor. Para atlet bisbol, seperti Shohei Ohtani dan Ryu Hyun Jin, juga menjadi sorotan media dan memiliki penggemar setia dalam jumlah yang besar.

Di Indonesia, pertandingan bisbol hampir tidak pernah ditayangkan di TV nasional dan liputan media tentang olahraga ini pun sangat minim. Akibatnya, bisbol kurang mendapatkan eksposur, sehingga masyarakat Indonesia menjadi kurang familier dengan olahraga ini. Media di Tanah Air lebih banyak memberikan perhatian kepada olahraga yang memiliki jumlah penonton besar, seperti sepak bola dan bulu tangkis.

4. Kurangnya pengetahuan tentang bisbol dan kompetisi yang jarang diadakan

Di Jepang dan Korea Selatan, bisbol telah menjadi bagian dari sistem pendidikan mereka. Banyak sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah atas, yang memiliki klub bisbol. Turnamen antarsekolah, seperti Koshien di Jepang, menjadi acara tahunan yang sangat dinanti oleh masyarakat seluruh negeri.

Sebenarnya, ada turnamen bisbol di Indonesia, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas. Tidak ada liga besar atau kompetisi seperti Koshien di Jepang yang mampu mencuri perhatian publik. Tanpa adanya kompetisi yang menarik, wajar saja jika olahraga ini sulit untuk memikat minat masyarakat.

5. Adanya perbedaan kultur olahraga

Di Jepang dan Korea Selatan, bisbol sudah diperkenalkan kepada anak-anak sejak usia dini. Mereka kerap bermain bisbol di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal. Sebaliknya, di Indonesia, anak-anak lebih sering bermain sepak bola di gang-gang sempit atau bulu tangkis di halaman rumah. Pola kebiasaan ini menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa bisbol kurang populer di Indonesia.

6. Aturan permainan bisbol cenderung rumit

Faktor lain yang mungkin menjelaskan mengapa bisbol kurang diminati di Indonesia adalah karena aturan permainannya yang cukup kompleks. Jika dalam sepak bola pemain hanya perlu mencetak gol sebanyak-banyaknya, bisbol memiliki istilah-istilah seperti strike, home run, atau inning yang sering kali membingungkan penonton yang baru pertama kali menonton. Selain itu, karena tidak ada batasan waktu dalam pertandingan bisbol, durasinya bisa sangat panjang. Hal ini sering membuat orang merasa bosan saat menontonnya untuk pertama kali.

Meski menjadi primadona di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, sayangnya bisbol belum mampu merebut hati masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti olahraga ini tak memiliki potensi untuk berkembang di Indonesia seiring waktu. Tentu saja, pencapaian ini memerlukan upaya yang besar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lilis Nur Mukhlisoh
EditorLilis Nur Mukhlisoh
Follow Us