Semangat Bangkit dari Titik Terendah Seorang Gregoria Mariska

Jakarta, IDN Times - Perjalanan Gregoria Mariska Tunjung sepanjang 2023 begitu luar biasa. Sempat berada dalam fase yang begitu sulit, Gregoria berhasil bangkit hingga akhirnya mampu menjadi tunggal putri andalan Indonesia.
Usai jadi juara dunia junior, prestasi Gregoria sempat mengalami penurunan yang begitu drastis. Dia sempat dianggap publik sebagai salah satu atlet yang terancam mandek perkembangannya karena selalu kalah di babak pertama atau kedua di setiap turnamen.
Situasi ini, ternyata juga berpengaruh pada mental Gregoria. Tak malu, Gregoria bahkan mengakui sempat meragukan kelayakannya sebagai seorang tunggal putri andalan Indonesia.
Masih hangat dalam ingatan, Gregoria sempat menumpahkan perasaannya di akun media sosial dan menunjukkan seolah akan meninggalkan dunia bulu tangkis yang sudah membesarkannya. Namun, niat untuk menyerah diabaikannya.
Gregoria memilih untuk sekali lagi berjuang. Bukan untuk membungkan komentar negatif orang, namun untuk membuktikan pada diri sendiri masih layak untuk berdiri di posisinya sekarang.
Pelan tapi pasti, Gregoria mulai bangkit. Meski tak selalu sempurna, penampilannya kian membaik di tiap turnamennya. Dari 20 turnamen yang diikutinya sepanjang 2023, tiga di antaranya menembus final. Dari tiga final itu, Gregoria berhasil menyabet gelar Spain Masters dan Kumamoto Masters Japan 2023. Sementara, satu lainnya, yakni Malaysia Masters 2023, Gregoria finis sebagai runner up.
Sisa turnamen lainnya juga terbilang memuaskan. Di empat turnamen, dia tembus semifinal. Kemudian tiga turnamen lain berakhir dengan semifinal.
Perjalanannya untuk bangkit tak mudah. Bukan hanya kembali menemukan semangat menjadi atlet, Gregoria juga belajar untuk menerima dirinya secara utuh sebagai manusia biasa.
Tak mudah, namun itulah yang membuat Gregoria punya nilai plus sebagai seorang atlet. IDN Times berkesempatan berbincang dengan Gregoria secara langsung. Tanpa malu, dia curhat terkait pencapaiannya yang bak roller coaster. Berikut petikannya.
Beberapa waktu lalu, pecinta bulu tangkis dihebohkan waktu Gregoria curhat di media sosial dan mempertanyakan diri sendiri apakah kamu pantas berdiri di titik sekarang atau tidak. Boleh tahu gak, apa sih titik balik yang membuat Gregoria menjadi seperti sekarang?

Apa ya? Mungkin mulai dari aku sih. Aku mulai berdamai sama keadaan saja. Aku mungkin masih kepikiran atau masih merasa ini dan itu, wajar. Cuma, aku coba berdamai. Aku jadi terima, kalau memang harus merasakan dan berada di posisi ini.
Mungkin, sebelumnya aku merasa kuat atau "gak apa-apa, gak apa-apa". Tapi, sebetulnya aku tuh perlu diubah. Mungkin saat itu aku gak utuh dan belum menerima diri sendiri seutuhnya juga.
Itu sih kayaknya. Mindset aku sudah berubah. Jadi, saat aku ada di posisi terpuruk itu, bisa terima keadaan. Aku bisa berdamai dan jadi bisa mengenal diriku lebih lagi.
Gregoria dulu waktu junior sempat ada di puncaknya. Lalu, masuk ke level senior. Kalau bertanya ke legenda, masalah tunggal putri katanya karena regenerasi. Karena gak ada senior yang bisa di look up to. Saat kamu masuk ke level senior, selalu dibebankan dengan label "The Next Susi Susanti". Itu jadi beban yang bikin kamu drop?

Kayaknya saat itu aku gak sadar bahwa aku membawa beban seberat itu. Mungkin, waktu aku masih ada seniornya sih, seperti mengejar, posisinya mengejar kan? Dan, aku rasa posisi mengejar itu lebih enak untuk aku. Karena, rasanya fokusnya mungkin orang-orang tuh terbagi dengan atasnya aku. Jadi, orang lain pun gak fokus dengan hasilku saja.
Tapi, setelah aku naik dan jadi andalan, ya rasanya beban itu jadi berpindah. Dan aku secara mental belum siap. Dan kayak kelebihanku, permainanku, tuh belum ada di situ juga.
Jadi, aku sadar aku masih banyak kurang dan masih perlu diuji terus. Tapi, mungkin bisa dibilang aku cukup terbebani. Tapi, aku gak tahu juga aku harus share ke siapa atau aku harus bagaimana gitu saat itu. Aku mungkin masih no clue.
"Apa sih ini yang aku rasain kayak asing banget?" Terus juga, "kenapa orang-orang banyak yang mengharapkan aku setinggi itu?"
Mungkin harapannya bagus ya, tapi kadang sadar diri lebih baik. Maksudnya, orang lain bisa mengharapkan aku, tapi mereka belum sadar posisi aku tuh sebetulnya belum di situ. Jadi itu mungkin yang jadi pikiran, cukup berat untuk aku.
Gregoria kan sempat mengalami di atasnya masih punya Ruselli (Hartawan) dan Fitriani. Sekarang sendiri di senior yang "membawa" adik-adiknya. Bebannya beda lagi gak?

Kayaknya, aku sekarang fokusnya lebih ke diri sendiri. Karena aku yakin yang adik-adik di bawahku punya motivasi tersendiri juga. Jadi, aku sangat ingin sih mereka untuk cepat naik. Karena aku rasa permainan mereka tuh sudah cukup lah untuk di level-level yang walaupun gak langsung tinggi. Tapi, mereka sudah layak banget untuk ikut tur yang cukup sering.
Mungkin, aku gak bisa kasih tau mereka ini-itu, ini-itu. (Sektor) tunggal mungkin ada egonya masing-masing, dan kami kayaknya saat sudah di sini tumbuhnya dengan melewati sesuatu yang berbeda. Jadi aku gak bisa nyuruh ini atau itu ke juniorku, kecuali mereka yang nanya ke aku.
Karena, mungkin beberapa orang ada yang terbuka sama aku. Tapi, mungkin beberapa orang juga enggak atau takut. Aku sangat berharap mereka bisa bersaing di dalam secara sehat dan mati-matian.
Karena sekarang mereka cukup diuntungkan dengan jarak usia mereka yang gak cukup jauh kan. Jadi aku rasa itu harusnya membangun jiwa yang lebih kompetitif lagi.
Terbebani dengan label The Next Susy Susanti?
Ci Susi sampai sekarang pun tidak ada yang menyamai (prestasinya).
Kenapa Gregoria lebih berpikir perlu pembuktian ke diri sendiri bukan orang yang bilang kamu gak layak di sini itu salah?
Karena mungkin aku udah muak saja kali ya, sama yang di luaran. Dan, satu-satunya hal yang bisa aku kontrol adalah diriku sendiri.
Bahkan, mungkin kalau seandainya yang terdekat saja. Orang-orang yang kenal sama aku gitu, dia bisa bilang "ayo dong, bisa". Dia bisa melihat aku bisa. Tapi, mereka gak ngerasain masalah aku tuh sebetulnya ya dari diriku sendiri. Dan, aku lagi mencoba untuk apa melewati ini.
Mungkin, aku selain sudah gak mau dengar yang di luar. Aku lebih fokus pada diriku sendiri, karena ya itu satu-satunya hal yang ada di kontrolku. Aku gak bisa kontrol orang mau bicara kayak gimana. Aku gak bisa kontrol orang mau perlakukan aku gimana. Karena, mereka gak pernah merasakan ada di posisi aku.
Kamu terlihat mau menyerah, selesai. Tapi, di sisi lain masih mau membuktikan diri. Benar?

Iya sih. Poinnya kurang lebih kayak begitu. Karena saat itu pun posisi aku di Pelatnas mungkin bisa dibilang udah gak aman gitu ya. Dengan usia aku, (saat itu), 22 tahun? Sepertinya prestasi yang aku kasih itu, bahkan diriku sendiri pun kayak,"Ya iya sih. Kalau gini mah, gue lihat lu juga…"
Maksudnya, aku bisa liat diriku sendiri kayak gitu (kurang). Sama seperti yang aku tulis.
Sebenarnya sih, tulisan itu aku tulis karena gak gengsi untuk mengungkapkan titik lemahku di saat itu. Mungkin, itu adalah salah satu cara untuk aku terima diri juga. Aku gak malu untuk dinilai orang ini-itu. Aku malah senang kalau orang bisa tahu bahwa aku tuh saat itu memang lagi di titik terendah dan sangat gak malu untuk menunjukkannya.
Dan itu salah satu hal yang aku lakukan supaya aku gak ada penyesalan gitu di bulu tangkis. Karena kalaupun seandainya di tahun itu aku degradasi atau apa, at least aku udah coba.
Kalau amit-amit tadinya gak berhasil. Sudah punya planning apa yang akan kamu lakukan jika harus meninggalkan bulu tangkis?
Sudah, tapi belum plan yang matang. Karena aku masih mencari passion aku di mana selain bulu tangkis. Karena, berat juga lah untuk ninggalin sesuatu yang sudah aku jalani dari kecil.
Pastinya kayak hilang arah, iya. Tapi aku yakin saat aku mau cari dan aku mau mulai dari nol lagi, aku perlu dibentuk lagi. Asal aku mau dibentuk, aku akan nemuin jalan itu sendiri.
Cuma, aku kepikirannya, mungkin akan sekolah. Aku waktu itu bahkan kepikiran, "kayaknya kalau aku keluar, aku udah gak mau deh ada di lingkungan bulu tangkis". Kalau aku gak di Pelatnas, di luar pun sepertinya bulu tangkis tetap jadi hal yang gak bikin aku bahagia.
Jadi, sepertinya gak dulu, sudah setop aja, gitu.
Tapi saat ingin membuktikan ke diri sendiri, gak langsung di turnamen selanjutnya terbukti. Dari tiap-tiap turnamen, badminton lovers menyoroti bagaimana kamu jadi lebih mati-matian di lapangan. Apa yang kamu katakan di lapangan ke diri sendiri?

Karena tadi kuncinya tuh aku udah cukup yakin dengan apa yang aku sedang jalanin adalah menerima. Mungkin, saat aku menerima cara pikirku dan cara aku membawa diri tuh sudah beda.
Aku rasa itu itu yang ngebantu. Kalau aku ngelakuin salah, aku bukan sekadar "gak apa-apa, wajar. Aku udah pernah melakukan ini salah", tapi juga bagaimana cara aku untuk gak mengulang kesalahan itu lagi.
Aku lebih fokus untuk setiap harinya memperbaiki diri bukan hanya di dalam lapangan.
Aku pun di luar (lapangan) coba saja juga untuk jadi lebih terbuka dan itu bagusnya jadi berpengaruh ke lapangan.
Aku dulu main bisa kali sebelum main tegang banget karena sering kalah itu, aku takut untuk main. Tapi, karena aku sudah terima. Di luar lapangan juga aku mencoba memahami aku orang yang seperti apa. Jadi, terbawa aja di lapangan.
Bukan tiba-tiba enteng juga tapi setidaknya aku paham lah saat aku ada di kondisi tertentu aku tau diriku tuh harus kayak gini. Walaupun pastinya untuk nyoba gak langsung sempurna tapi sedikit-sedikit itu sudah step yang bagus.
Berapa kali nangis Gregoria saat menjalani tahapan itu?

Wah. Gak tahu deh. Aku kayaknya udah gak menghitung. Cuma pastinya berkali-kali, sih.
Rasanya aku masih di sini, tapi hati ku gak disini. Jadi aku tuh berjuang untuk apa? Kayak cuma membodohi diri gitu, lho.
Terus lebih sakitnya itu karena aku tahu aku sebenarnya suka bulu tangkis. Tapi, aku pas di sini itu aku ngapain nih? Aku suka sama bulu tangkis tapi kok bisa hatiku tidak sepenuhnya di bulu tangkis? Jadi kayak, apa? Aku harus ngapain? Bingung gitu.
Kalau kayak gitu kan kebawa terus kan? Jadi kontrol diri, penguasaan (diri) itu jadi jelek. Aku bisa aja bete sama apa pun. Aku mungkin jadi lebih menjauh sama orang karena aku rasa ada hal yang bikin aku kesentuh dikit, aku langsung bete banget.
Ya kalau ditanya nangis berapa kali kayaknya gak kehitung.
Lebih sering masa-masa sebelum acceptance itu atau sesudah itu nangisnya?
Both? Kayaknya dua-duanya deh.
Karena sepertinya, saat aku udah bisa nerima diri pun gak menutupi bahwa masih ada titik lemah ku. Sekarang bisa dibilang dari tahun lalu-lalu, aku grafiknya naik. Tapi ada juga turunnya. Dan itu mungkin bikin aku berpikir, benar gak sih? Karena mungkin kita gak akan tau jawabannya kan sebelum kita nyoba.
Tapi pas di pertengahan saat aku udah mulai naik tapi aku turun lagi, itu aku mencoba untuk tetep yakin bahwa apa yang sedang aku lakuin itu bagus buat aku.
Kayak di tulisan yang aku tulis, apapun yang aku jalanin aku yakin kayaknya Tuhan ngebawa aku tuh ke hal yang baik.
Karena keyakinan diri aku yang cukup kuat saat itu. Bahkan aku udah pasrah banget seandainya aku gak di bulu tangkis pun pasti ada jalan.
Pernah tidak saat sedang latihan, selesai, lalu tiba-tiba nangis? Atau lebih sering saat sendirian nangisnya?

Wah, aku dulu kalau latihan gak enak saja bisa ke kamar mandi 10 menit. Gimana ya? Kayak lagi ingin membuktikan, tapi latihan gak enak, kayak merusak semua. Jadi kalau latihan gak enak atau aku lagi kenapa gitu aku bisa di kamar mandi dulu, nangis dulu, baru latihan lagi.
Dan menurut aku, sulitnya olahraga ini karena kita tuh gak dikasih waktu untuk untuk rehat. Dengan jadwal pertandingan yang padat dan target kita pun di setiap tahun tuh ada.
Contohnya World Tour Finals, atau turnamen-turnamen besar lainnya. Itu selalu ada. Jadi gak bisa bikin kita ada waktu untuk tahu diri kita sendiri.
Aku tahu beberapa olahraga, sperti tenis, yang aku lumayan paham. Ada beberapa atlet yang ambil break cuma untuk mental health.
Dan itu aku rasa dibutuhkan untuk setiap atlet.
Semua yang di sini (pelatnas) aku rasa punya mental bagus karena aku merasakan bagaimana diturunkan dalam turnamen dengan target yang cukup berat.
Sebanding sih dengan apa yang kita dapatkan. Ada price money, terkenal, gitu-gitu. Tapi pengorbanannya itu setengah mati juga.
Jadi saat aku (terpuruk), aku sempat ingin banget dua bulan latihan aja. Dua bulan aku gak ngapa-ngapain, cuma latihan. Aku tuh ingin.
Karena, misalnya aku latihan, turnamen, kalah babak pertama. Seandainya aku lagi sedih nih. Sedihnya dari 50, kalah jadi 60 (kadar sedihnya), kalah lagi, kalah lagi, itu kayak (berat).
Tapi itu juga bikin aku sadar bahwa semua hal yang kita lewatin kan ngebentuk kita. Mungkin dengan aku menerima kesusahanku yang itu, aku bisa nemuin jalan yang emang itu tuh cocok untuk aku.
Lebih brerat menjalani keseharian sebagai Gregoria orang biasa atau sebagai seorang atletnya?

Mungkin yang tau Gregoria adalah Gregoria itu cuma aku dan Mikha. Semua orang kayaknya taunya Gregoria itu atlet. Jadi kayak gak semua orang bisa paham dengan apa yang aku inginkan orang liat aku.
Jadi itu itu salah satu hal yang cukup susah untuk aku berdamai karena gak ada orang lain.
Ada sih beberapa teman. Cuma yang sering interaksikan hanya aku sama Mikha. Seperti teman-teman gereja ku pun, mereka bilang mereka menghargai aku sebagai diriku sendiri, bukan Gregoria atlet.
Tapi orang lain menilai aku sudah pasti ada lebel atletnya.
To go person nya Gregoria siapa sih di masa-masa itu siapa?
Banyak. Mikha. Ada teman-teman gereja. Mereka kebanyakan lebih tua dari aku sih. Dan aku cukup percaya dengan mereka.
Gregoria tipe yang kalau cerita butuh solusi atau butuh telinga buat terus mendengarkan?

Dua-duanya mungkin perlu ya. Cuma, bahkan aku menemukan jalanku sendiri itu bukan dari orang bulu tangkis. Aku pun nyari solusi atau aku cerita tuh enggak cuma ke orang-orang yang tahu bulu tangkis saja.
Itu malah menurut aku bagus. Jadi, perspektif yang mereka kasih itu di luar bulu tangkis dan aku jadi mulai menyadari aku di bulu tangkis kayak jadi platform aku untuk menjadi diriku. Tapi saat aku di luar pun, aku juga punya platform sendiri untuk aku dikenal oleh orang.
Ddan itu lumayan untuk aku bisa tahu banyak masukan dan bikin aku grow. Aku rasa aku tumbuh gak cuma karena bulu tangkis. Salah satu yang terbesar kan karena bulu tangkis.
Cuma aku happy banget kalau aku bisa tumbuhnya itu bisa lihat hal-hal di luar.
Karena lingkup ku kecil, orang-orangnya banyak sih tapi dengan lingkungan yang gini-gini aja. Aku gak akan bisa menemukan solusi itu kalau aku hanya di dalam sini. Apalagi aku paling tua. Aku kayak gak tahu harus cerita ke siapa. Aku paling tua dan aku gak tahu harus mengandalkan siapa di sini.
Main bulu tangkis dari umur barapa?
Tujuh. Di Wonogiri.
Jadi dari umur tujuh sampai 22 kemarin, kehidupan mu hanya kamu dan bulu tangkis?

Kurang lebih begitu, sih. Tapi aku baru berasa berat tuh kayaknya 2017an gitu. Karena sebelumnya aku ngerasa happy aja main bulu tangkis. Aku punya banyak temen, aku bisa keluar negeri. Kayaknya dalam otaku cuma itu doang.
Aku punya temen di sini banyak, punya temen dari luar negeri juga banyak, aku pergi keluar negeri. Aku rasa hal-hal itu bisa aku capai karena aku main bulu tangkis. Pikiran ku itu doang.
Dan mungkin itu salah satu hal yang membuat aku waktu kecil itu menikmati banget bulu tangkis itu.
Mungkin setelah itu saat aku tahu ternyata bulu tangkis itu kayak “lo gagal, lo bukan siapa-siapa”. Bahkan kayaknya gak harus digituin. Bahkan ke semua pekerjaan. Jadi ya aku mulai merasa beratnya saat aku sadari itu.
Apakah ada turnamen yang jadi peak Gregoria saat berusaha bangkit? Atau prosesnya sangat bertahap?
Kayaknya bertahap deh. Aku senangnya karena aku gak bilang aku menikmati semua prosesnya. Kadang aku stress itu masih ada, aku kadang masih perlu hal untuk aku bisa balik lagi set pikiranku ke hal yang sedang aku lakuin atau hal yang sedang aku pingin jalanin.
Tapi susah juga untuk menjaga itu terus-terusan. Apalagi turnamen kita itu padat banget. Dan aku senangnya ini semua bertahap. Tahun lalu aku semifinal Malaysia Masters, terus tapi aku kalah di Singapura di delapan besar. Stabilnya dimulai dari situ.
Rasanya semua proses yang aku lewati sekarang sampai aku juara kemarin itu, proses yang menurut aku sudah Tuhan gambar sebagus mungkin rasanya.
Sadar tidak sejak kamu bangkit, pun kamu kalah, berkurang orang yang memberi kritik soal fighting spirit? Itu seolah tidak jadi masalah utama lagi.

Aku sudah jarang sih bacain komen. Bahkan salah satu hal yang membatasi aku di sosial media, aku juga kan gak nyalain komen di IG. Baik itu aku posting atau apapun.
Karena aku gak tahu kapan orang-orang bisa berpikiran positif kapan tidak.
Mungkin saat aku posting kesuksesan ku semua orang akan bangga sama aku. Jadi mending aku gak lihat dua-duanya.
Kalau di Instagram terlalu banyak, komen di Instagram kurang enak dilihat karena harus buka page.
Enakan di Twitter, suka tiba-tiba lewat atau mention, itu baru aku baca. Cuma kalau di Instagram itu jadi cara diriku untuk jaga semuanya ya dengan membatasi.
Gregoria yang sekarang bagaimana? Kalau dulu ada senior, ada target yang harus dilampaui. Saat kamu drop, punya target membuktikan ke diri sendiri bahwa kamu layak di posisi ini. Kalau Gregoria yang hari ini?

Kayaknya aku tetep ingin membuktikan ke diri aku sendiri sampe aku bisa meraih hal yang bisa aku rasain itu bagus buat aku. Entah itu aku juara.
Aku selalu seneng sih, aku selalu menganggap aku kenal orang baru yang bisa bantu aku itu adalah berkat juga. Dan aku rasa dengan aku bertumbuh ini banyak orang yang dulunya aku gak sangka aku akan kenal.
Tapi karena aku menjaga banget alingkungan ku. Untuk pertanyaan itu kayaknya aku masih ingin banget membuktikan kalau aku itu layak akua da di sini.
Aku layak jadi nomor satu.
Bahkan sekarang aku ranking tujuh di dunia. Aku masih ingin membuktikan itu terus. Aku masih belum puas dengan pembuktian yang sudah aku kasih. Tapi aku sangat bersyukur juga aku bisa ada di posisi sekarang.
Itu menjadi target Gregoria juga? Atau kamu punya target lain seperti medali di Olimpiade 2024?

Kayaknya kalau Olimpiade, perlu pembuktian yang lebih lagi. Oke, tahun ini aku bisa dibilang konsisten. Aku delapan besar cukup sering. Tapi itu harus dibuktikan lagi tahun depan.
Dan itu aku rasa gak mudah karena jangan kan orang lain, aku pun menaruh ekspektasi ke diriku sendiri juga kan. Dan itu aku harus imbangi dengan keinginanku juga. Jangan malah berbalik.
Semua harus aku set serata mungkin supaya aku bisa melakukannya dengan lepas.
Supaya kalau jatuh engga kecewa banget?
Tapi kayaknya kalau jatuh. Aku kayak habis juara, terus kalah di China masih kecewa. Mungkin aku tipe yang begitu kali ya? Tapi dipikir-pikir, ngapain sedih, pernah dalam tujuh pertandingan kalah di babak pertama terus. Kemarin ini kan sudah habis juara.
Kita bisa berubah karena keadaan. Mungkin saat kemarin aku lupa untuk sadar bahwa tahun-tahun sebelumnya aku lebih parah kalahnya dari pada ini.
Di tim sendiri bagaimana membantu Gregoria tumbuh? Mikha sempat ramai bikin komentar soal pelatih sebelum coach Indra datang. Bedanya sekarang bagaimana untuk Gregoria?

Mungkin dulu aku rasa aku belum sedewasa ini untuk berkomunikasi. Aku selalu takut, aku selalu gak percaya ke orang untuk untuk apapun yang sedang aku lakuin, aku terlalu mengandalkan diri sendiri lah bisa dibilang.
Tapi setelah aku dewasa aku sadar kalo aku ya tetep butuh orang lain untuk bantu aku. Dan aku rasa selama ini kan kita pelatih tuh ganti-ganti terus ya tunggal putri.
Dulu karena diriku sendiri belum utuh, jadi kayaknya pelatih mau ngulurin tangan sepanjang apa tapi kalau pelatih gak tahu maslaahnya di aku apa dan aku sendiri juga gak sadar kalau aku itu gak utuh, jadi gak ketemu.
Itu yang bikin mungkin lama proses untuk aku bisa bagus lagi. Karena komunikasi antara aku dan pelatihn. Akunya gak terbuka.
Sama coach Indra, untuk hal-hal teknis terbuka. Sejauh itu aja. Sama kayak ke kak Herli (Djaenudin). Kita selalu evaluasi bertiga. Karena kak Herli dan ko Indra itu dengan cara melatihnya sama, cuma cara melihat permainan berbeda.
Gak semua pelatih cara liat anak itu main itu sama. Itu cukup membantu aku jadi aku bisa liaht dari dua sisi.
Dari teman-teman ada yang paling dekat sama Gregoria dan jadi tempatmu curhat?
Mungkin karena mereka segan juga kali yak ke aku? Atau mungkin karena kita jarang juga ketemu (beda turnamen yang diikuti)? Kecuali teman kamarku sendiri, kalau teman kamar kan tiap hari ketemu. Semuanya kalau ada apa-apa kebanyakan nanya sih tapi gak yang sering juga.
Tapi karena aku sadar aku sebagai senior di sini, jadi kalau aku lihat anak-anak lagi gak enak, aku tahu tanpa mereka harus bilang. Tapi mungkin anak-anak itu gak punya keberanian untuk cerita. Kayaknya aku gak bisa maksain apa yang aku alami untuk dilakukan sama mereka.
Apalagi sekarang dengan persaingan yang kayak gini, mungkin aku dulu gak rasain.
Mungkin sekarang ingin membuktikannya di sini dulu karena dengan usia yang dekat-dekat, apalagi kita itu pemain single. Pemain single itu aku rasa egoisnya cukup tinggi. Ingin membuktikan diri sendirinya bagus itu cukup tinggi.
Jadi, ya anak-anak mungkin ingin membuktikan itu dulu.
Bagaimana Gregoria yang sekarang menyikapi kondisi sebagai andalan tunggal putri Indonesia?

Menyikapinya? Tersenyum. Hahaha.
Bagaimana ya? Pastinya ada beban ya. Tapi aku ingin bebannya aku larikan ke hal yang baik.
Karena aku ingin buktiin ke diriku sendiri kalau aku bisa layak untuk di posisi sekarang ini dan aku juga ingin buktiin ke orang-orang di luar sana yang sudah mendukung aku juga.
Karena, kayaknya usaha yang aku lakuin kalau tanpa dukungan orang lain pun kan gak ada artinya.
Aku ingin beban itu aku alihin ke hal-hal yang membuat aku jadi termotivasi bukan malah sebaliknya malah merusak aku.
Gregoria sempat dapat buku yang dibikinin fans. Masih disimpan? Apa yang Gregoria rasakan saat membacanya?

Masih (disimpan). Pertama pas baca itu pecah banget sih. Wow, ternyata semua orang berusaha untuk ada untuk aku dan itu menurut aku hal yang bisa dibilang anugerah dari Tuhan juga. Karena aku gak akan tahu semua orang peduli sama aku kalau buku itu gak ada.
Apalagi di saat itu aku lagi merendahkan diriku sendiri. Buku itu sangat membantu aku untuk bisa sadar bahwa banyak orang yang mendukung aku.
Bahkan buku itu aku pajang di samping kasur, ada rak lemari, aku taruh di situ. Jadi kadang aku ada di posisi ini aku ingat lagi, gila dulu aku pernah seberat itu dan aku lewati dengan dukungan banyak orang juga. Dan itu aku rasa lebih berarti untuk kita semua.
Yang aku capai kemarin itu kayaknya orang-orang yang nulis buku itu pun ikut merasakan, ikut senang.
Apa yang mau Gregoria omongin untuk dirimu usia 22 waktu itu?

Kayaknya aku bakal bilang bahwa aku bangga karena aku gak menyerah begitu saja. Itu beneran akua da di titik terbawah, aku bisa dibilang meragukan diriku dengan persenan yang tinggi, tapi aku masih mau coba.
Aku bangga sama diriku umur 22 karena gak nyerah segampang itu. Maksudnya, aku masih mau nyoba walaupun chance itu terlihat kecil tapi aku berusaha membesarkan itu. Aku sadar chance aku kecil banget, tapi usaha ku bikin itu makin besar, makin besar, makin besar.
Apa yang kamu mau omongin ke dirimu tahun depan?
Semangat! Dan percaya diri.