3 Klub Besar Eropa yang “Dibenci” di Negaranya Sendiri

Ada 3 klub besar di Eropa yang dibenci di negaranya sendiri. Biasanya suatu klub tersebut dibenci karena mereka sering meraih prestasi, makmur secara finansial, punya banyak fans, barisan skuatnya terdiri dari para pemain hebat nan mahal, atau punya kedekatan dengan kekuasaan.
Seperti Real Madrid yang merupakan klub yang didukung oleh kerajaan Spanyol. Akibatnya los Galacticos ini selalu dicurigai selalu ditolong oleh wasit saat bertanding oleh lawannya. Begitu juga dengan Manchester United. Klub yang berbasis di kota industri garmen ini mempunyai banyak haters di Inggris disebabkan prestasinya sebagai klub yang paling sering menjuarai Liga Inggris sebanyak 20 kali.
Ditambah lagi Red Devils adalah salah satu klub terkaya di dunia yang sangat kuat secara keuangan. Daily Mirror pernah melakukan survei di tahun 2015 mengenai klub mana yang paling dibenci para pecinta sepakbola di Inggris. Para responden itu mayoritas menjawab bahwa Manchester United sebagai klub paling mereka benci.
Jika Madrid dan MU dibenci karena power dan prestasinya, lain cerita dengan 3 klub besar Eropa dari Italia, Jerman, dan Perancis ini. Selain power dan prestasi, mereka dibenci klub dan suporter lain di negaranya masing-masing karena kebiasaan yang sering mencomot pemain hebat dan mempreteli kekuatan dari tim saingan mereka di liga domestik.
Sehingga klub yang jadi korban penggembosan tersebut berkurang kekuatanya dan bagi klub besar yang merekrut, mereka bisa jadi lebih mudah menguasai kompetisi domestik tanpa saingan. Klub mana sajakah itu? Berikut 3 klub tersebut:
1. Juventus

La Vecchia Signora atau Si Nyonya Tua Juventus adalah klub Italia paling dominan sepanjang sejarah sepakbola Negeri Pizza tersebut. Klub yang dimiliki keluarga Agnelli ini sukses meraih scudetto atau juara liga Italia sebanyak 35 kali di atas AC Milan dan Inter Milan yang sama-sama mengoleksi 18 kali juara Serie-A.
Keberhasilan tersebut salah satunya dengan kebijakan transfer Juve yang membeli pemain yang berasal dari klub saingannya di Liga Italia. Mereka jarang sekali membeli pemain di luar Serie-A, mereka baru mau membeli pemain di luar liga jika pemain tersebut benar-benar berkualitas dunia.
Mulai dari tahun 90-an Juve sudah membajak pemain dari seputaran klub Italia. Sebut saja Filipo Inzaghi dari Atalanta, Gianluca Zambrotta (Bari), Lilian Thuram (Parma),Gianluigi Buffon (Parma), Pavel Nedved (Lazio), Leonardo Bonucci (Bari), Giorgio Chiellini (Fiorentina), Miralem Pjanic (Roma), Paulo Dybala (Palermo), sampai Gonzalo Higuain (Napoli) mereka bajak dari klub sesama peserta Serie-A.
Dengan kebijakan transfer yang seperti itu Il Zebrette bisa dengan mudahnya menguasai Serie-A dan Coppa Italia. Terbukti semenjak musim 2011 hingga 2017 Juve selalu meraih scudetto dan Coppa Italia berturut-turut.
2. Bayern Muenchen

Semua orang setuju bahwa Bayern Muenchen adalah tim yang sangat dominan atas klub lain di Jerman ketika berlaga di Bundesliga. Lewandowski dkk ibarat monster buas yang siap melumat tim manapun di kompetisi lokal. Dominasi tersebut membuat Muenchen telah menjuarai Liga Jerman sebanyak 26 kali, unggul jauh dari Gladbach dan Dortmund yang baru 5 kali juara.
Sempat terseok-seok di tahun 2008 sampai 2009, Die Roten kembali menemukan keagunganya sebagai klub besar Jerman setelah merekrut Mattias Sammer sebagai direktur teknik klub. Sammer mengembalikan rasa lapar akan gelar dan kesuksesan kepada seluruh punggawa Muenchen.
Di bawah rezimnya, Sammer tetap mempertahankan kebijakan transfer yang membajak pemain dari sesama klub Jerman bahkan lebih buas dari sebelumnya. Dortmund adalah korban paling nelangsa dari cara Muenchen merekrut pemain tersebut. 3 pemain terbaiknya seperti Lewandowski, Goetze, dan Hummels dibajak Muenchen.
Belum lagi nama-nama seperti Daniel Van Buyten yang ditransfer dari Hamburg, Manuel Neuer (Schalke 04), Dante (Gladbach), Ivica Olic (Hamburg), Stefan Effenberg (Gladbach), Podolski (Koeln), Mandzukic (Wolfsburg), Mario Gomez (Stuttgart), Niklas Sule (Hoffenheim), Sebastian Rudy (Hoffenheim) dan baru-baru ini Muenchen mengincar Timo Werner (Leipzig) dan Sandro Wagner (Hoffenheim) untuk jadi pelapis Lewandowski.
Sama seperti Juventus, kebijakan Muenchen dalam pembelian pemain di dalam negeri ampuh untuk menggembosi lawan-lawanya di liga. Bahkan The Bavarian selalu jadi kandidiat utama sebagai calon juara Bundesliga setiap musimnya. Ya, itu jelas karena karena sebelum kompetisi dimulai para rivalnya sudah diperlemah terlebih dahulu.
3. Olympique Lyon

Sebelum Paris Saint Germain menancapkan kuku di Liga Prancis belakangan ini, Olympique Lyon adalah penguasa Prancis dengan menjuarai Ligue 1 selama 7 kali berturut turut dari medio 2001 hingga 2008.
Persis dengan Juve dan Muenchen, Lyon melakukan pembelian pemain dari sesama klub Prancis. Lyon mempunyai nama khusus untuk kebijakan tersebut yang bernama JMA policy atau kebijakan JMA. JMA sendiri kependekan dari Jean Michel Aulas yakni Presiden klub Lyon yang masih menjabat hingga kini.
Kesuksesan Lyon di awal 2000-an tidak lepas dari kebijakan JMA tersebut. Mereka membeli pemain seperti Michel Essien (Bastia), Hugo Lloris (Lorient), Gregory Coupet (St.Etienne), Eric Abidal (Lille), Florent Malouda (Guingamp), dan Alain Frau (Sochaux) yang semuanya dari klub dalam negeri. Berbeda dengan PSG yang hebat saat ini karena kebanyakan membeli pemain di luar liga Prancis dibanding Prancis sendiri.
Namun sayangnya kehebatan Lyon di era jayanya membuat para pemain andalanya direkrut oleh klub-klub besar dan Michel Aulas melepas para bintangnya dengan alasan keseimbangan neraca keuangan klub.
Hal tersebut kemudian dikritik oleh pemain Lyon Juninho Pernambucano yang mengatakan bahwa Lyon tidak akan meraih prestasi apapun kedepanya jika terus menjual pemain bagusnya.Hingga saat ini Lyon masih melakukan kebijakan yang merekrut pemain dari sesama kub Prancis. Tetapi hal itu tidak cukup untuk bersaing dengan PSG yang memiliki banyak pemain bintang internasional berharga selangit.
Itu tadi 3 klub yang bisa begitu dominan di liga domestiknya dengan cara khusus sehingga mereka begitu dibenci klub dan suporter lain di negaranya. Klub seperti Juve, Muenchen dan Lyon tidak selalu ber-ekspektasi juara Liga Champions setiap tahunnya karena mereka tahu jadi kampiun kompetisi Eropa adalah sebuah bonus.
Mengamankan gelar di liga lokal jauh lebih penting karena jika liga domestik dikuasai membuat kesempatan meraih gelar Eropa bisa selalu terbuka setiap musimnya.