Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bagaimana Granit Xhaka Membawa Transformasi bagi Sunderland?

Stadium of Light, markas Sunderland
potret Stadium of Light, markas Sunderland (pixabay.com/Pyxis-Web-Solutions)
Intinya sih...
  • Capaian Xhaka di Bayer Leverkusen jadi alasan Sunderland mempercayakan ban kapten kepadanya
  • Granit Xhaka masih menunjukkan performa ciamik meski telah berusia 33 tahun
  • Kehadiran Xhaka membawa kestabilan di dalam maupun di luar lapangan bagi Sunderland
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak yang awalnya meragukan Granit Xhaka bisa tampil kompetitif di English Premier League (EPL) 2025/2026 bersama Sunderland, mengingat usianya yang sudah menginjak 33 tahun. Setelah 2 musim sukses bersama Bayer Leverkusen, langkah Xhaka pindah ke tim promosi hanya akan menjadi epilog kariernya. Namun, realitas di lapangan membuktikan sebaliknya. Ia justru menjadi pilar kebangkitan Sunderland.

Transformasi The Black Cats di bawah asuhan Regis Le Bris per 29 Oktober 2025 tak bisa dilepaskan dari kehadiran Xhaka sebagai pemimpin baru di ruang ganti dan jantung permainan di lapangan. Dari tim yang sebelumnya diprediksi hanya berkutat di papan bawah, Sunderland kini tampil sebagai kejutan besar musim ini dengan stabilitas dan karakter permainan yang matang. Di balik pencapaian tersebut, pengaruh Xhaka terasa di tiap detail permainan, dari arahan taktis hingga mentalitas kolektif yang ia bangun di Stadion of Light.

1. Capaian Granit Xhaka di Bayer Leverkusen jadi alasan Sunderland mempercayakan ban kapten kepadanya

Granit Xhaka kembali ke Premier League setelah meraih kesuksesan gemilang di Jerman. Bersama Bayer Leverkusen pada 2023/2024, ia menjuarai Bundesliga Jerman dan DFB-Pokal sekaligus mencatat rekor musim tak terkalahkan, sebuah pencapaian yang menegaskan kedewasaannya setelah masa penuh kritik di Arsenal. Menurut Opta Analyst, di bawah arahan Xabi Alonso, Xhaka menjadi gelandang paling efisien di liga dengan akurasi umpan 90,7 persen, tanpa satu pun kesalahan yang berujung gol lawan sepanjang musim.

Ketika ia memilih pindah ke Sunderland, banyak yang menganggap keputusan itu sebagai langkah mundur. Namun bagi Xhaka, kepindahan tersebut merupakan bentuk pencarian makna baru setelah menuntaskan babak yang belum selesai di Inggris. Ia ingin menunjukkan, kedewasaan dan kepemimpinan bisa menjadi kekuatan utama dalam membangun klub yang sedang bertumbuh.

Regis Le Bris segera menyadari karisma dan wibawa yang dibawa pemain Swiss itu. Dalam minggu pertamanya di Wearside, sang pelatih langsung menunjuk Xhaka sebagai kapten tim, keputusan yang diterima bulat oleh para pemain baru maupun lama. Ia menjadi figur pemersatu di ruang ganti yang dihuni 15 rekrutan baru dari berbagai negara.

Kepemimpinan Xhaka terasa nyata bukan hanya di lapangan, melainkan juga di luar pertandingan. Ia rutin memberikan ceramah pendek setelah laga yang menekankan pentingnya kerendahan hati dan disiplin dalam menjalani musim panjang di Premier League. Sikap profesionalnya menular kepada pemain muda, seperti Noah Sadiki dan Chris Rigg, yang kini menjadi bagian penting dari sistem permainan Le Bris.

2. Granit Xhaka masih menunjukkan performa ciamik meski telah berusia 33 tahun

Di lapangan, Granit Xhaka berperan sebagai poros utama yang menghubungkan lini belakang dengan serangan. Regis Le Bris menempatkannya sebagai pivot dalam struktur fleksibel 4-2-3-1 atau 5-4-1, yang menjadikan penguasaan bola dan distribusi umpan Xhaka sebagai sumbu permainan tim. BBC mencatat, hingga akhir Oktober 2025, Xhaka memimpin statistik Sunderland dalam assist (3), peluang tercipta (11), umpan sukses (397), sentuhan bola (629), kemenangan duel (56), serta perebutan bola (43).

Statistik tersebut menggambarkan pengaruh totalnya di lini tengah. Ia berperan sebagai pengatur tempo sekaligus penjaga stabilitas tim ketika menghadapi tekanan. Bersama Noah Sadiki, ia mencatat jarak tempuh terpanjang di Premier League, bukti daya jelajah dan fisiknya tetap prima meski telah berusia 33 tahun. Ketahanan fisik itu berpadu dengan kecerdasannya membaca permainan yang membuat Sunderland mampu mengontrol ruang dan waktu dalam pertandingan.

Xhaka memanfaatkan pengalaman di Leverkusen untuk menenangkan rekan setim di bawah tekanan. Saat menghadapi lawan sekelas Chelsea atau Liverpool, ia menjadi pemain yang menstabilkan ritme dan menjaga tim tetap terorganisasi. The Telegraph menggambarkan Xhaka seperti Didier Deschamps bagi Timnas Prancis pada Piala Dunia 1998. Mereka berperan sebagai gelandang pengangkut air yang identik dengan sosok pekerja keras tanpa banyak sorotan untuk memastikan sistem berjalan semestinya.

Kemampuannya mengambil keputusan cepat di bawah tekanan menjadikannya pemain kunci dalam transisi permainan Sunderland. Baik saat membangun serangan maupun memutus arus lawan, Xhaka selalu berada di posisi yang tepat. Peran semacam ini mungkin jarang mendapat pujian mencolok, tetapi di balik struktur kolektif Sunderland yang solid, dialah poros yang menjaga keseimbangan.

3. Kehadiran Granit Xhaka membawa kestabilan di dalam maupun di luar lapangan bagi Sunderland

Peran Granit Xhaka di Sunderland lebih dari sekadar performa individu. Ia membawa perubahan bagi klub yang dulu dikenal hanya berharap bertahan di Premier League kini berani menyatakan ambisi untuk berkembang. Motto “we do not want to survive, we want to thrive” menjadi nyata melalui kombinasi kepemimpinan Xhaka dan strategi cerdas Regis Le Bris.

Kehadirannya membantu menjaga harmoni di tengah skuad besar berisi 15 pemain baru yang datang dari berbagai liga dan budaya. Saat beberapa pemain lama kehilangan tempat, Xhaka memastikan suasana ruang ganti tetap positif dan kompetitif. Ia bisa dibilang sebagai pelatih kedua di lapangan selain Le Bris karena perannya dalam menyampaikan pesan taktis langsung kepada pemain di tengah laga.

Kedewasaannya juga menjadi faktor utama di balik keberhasilan The Black Cats menjaga konsistensi pertahanan. Hingga akhir Oktober 2025, hanya Arsenal dan Manchester City yang kebobolan lebih sedikit, sementara Sunderland mencatat rasio duel sukses 53,3 persen, tertinggi kedua di liga. Xhaka, yang berada tepat di depan empat bek, menjadi tembok pertama yang memotong jalur umpan dan menginisiasi serangan balik cepat.

Kemenangan 2–1 atas Chelsea pada pekan kesembilan Premier League menjadi puncak validasi peran Xhaka dalam membentuk identitas baru Sunderland. Dalam laga itu, ia menguasai lini tengah menghadapi Moises Caicedo dan Enzo Fernandez, duet gelandang termahal di liga. Performa tenang dan akurasi umpannya menandaskan, Sunderland kini bukan lagi tim yang bertahan karena keberuntungan, melainkan karena perencanaan matang dan struktur yang solid.

Dalam rentang beberapa bulan, Granit Xhaka berhasil mengubah persepsi publik terhadap Sunderland sekaligus terhadap dirinya sendiri. Dari pemain yang dulu dicemooh di London, ia kini menjadi jantung dari kisah kebangkitan paling menginspirasi di Premier League 2025/2026.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us

Latest in Sport

See More

AFC Challenge League 2025/26: Dewa United Pesta Gol ke Gawang Tainan

29 Okt 2025, 21:06 WIBSport