Cerita Gelandang Persita: Shin Tae Yong Mengubahku

- Rifky Dwi Septiawan debut sebagai pesepak bola profesional saat membela Persita di Piala Menpora pada 2021 lalu.
- Pandemi COVID-19 membuat banyak klub tidak membayarkan gaji penuh, memaksa Rifky mendaftar TNI AL lewat jalur prestasi.
- Rifky kembali membela Persita pada musim 2022/23 setelah absen panjang dan berhasil dilirik Shin Tae Yong untuk membela Timnas Indonesia U-23.
Jakarta, IDN Times - Gelandang muda andalan Persita Tangerang, Rifky Dwi Septiawan memiliki cerita menarik dalam karier sepak bolanya. Start dia tak berjalan manis, sebelum merasakan buah dari kerja kerasnya.
Rifky debut sebagai pesepak bola profesional saat membela Persita di Piala Menpora pada 2021 lalu. Kala itu, Pendekar Cisadane berada di bawah arahan pelatih Widodo Cahyono Putro.
Widodo yang melihat potensi besar dari Rifky pun membawanya merumput di Liga 1 musim 2021/22. Pria kelahiran Tangerang itu debut di kasta tertinggi tanah air kala melawan Persipura Jayapura pada Agustus 2021.
Rifky sejatinya dapat mengukir debutnya lebih cepat. Namun, hal itu tidak bisa terlaksana karena sepak bola Indonesia sempat mati suri akibat pandemi COVID-19.
Efek COVID-19 berbuntut panjang. Meski kompetisi sudah berjalan normal, banyak klub yang tidak membayarkan gaji secara penuh, termasuk Persita. Situasi ini memaksa Rifky mengambil langkah berani.
Rifky mendaftar TNI AL lewat jalur prestasi, dan keterima. Langkah ini dipilih Rifky setelah mendapat saran dari sang ibu. Namun, karena pilihannya itu pula, Rifky kehilangan momentum di lapangan hijau.
Rifky sempat tampil moncer pada musim perdananya dengan menceploskan dua gol dari empat laga awal. Hanya saja, momentum itu seketika berakhir karena Rifky harus meninggalkan skuad hingga akhir musim demi menjalani pendidikan TNI AL.
Pilihan Rifky sempat membuat Widodo meradang. Apalagi, ada klub luar negeri yang sebenarnya tertarik mengajak Rifky trial. Karena sudah menjadi anggota TNI AL, Rifky praktis tidak bisa merumput di luar negeri.
Pemuda 22 tahun itu baru kembali membela Persita pada musim berikutnya, 2022/23. Karena absen panjang, Rifky harus berjuang dari nol untuk mendapatkan tempat utama. Adaptasinya terasa lebih berat, mengingat Widodo sudah didepak dan digantikan Alfredo Vera.
Tak berselang lama, kompetisi dihentikan karena tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Rifky begitu terpukul, karena sepak bola Indonesia diterpa insiden kelam. Namun, ini Rifky mendapat keuntungan tersendiri dari tragedi ini.
Dia memiliki waktu untuk beradaptasi dan berjuang mengembalikan sentuhan terbaiknya. Waktu yang singkat itu berhasil dimanfaatkan dengan baik, hingga dilirik Shin Tae Yong untuk membela Timnas Indonesia U-23 di tahun berikutnya.
Bermula dari sini, Rifky mengalami perubahan 180 derajat. Seperti apa cerita lengkapnya? Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Riky Dwi Septiawan!
Seperti apa ceritanya sampai menjadi anggota TNI AL?

Sebenarnya sempat gak enak juga waktu itu izin ke Coach Widodo untuk pendidikan TNI. Dia bilang "udah kamu jadi pemain bola aja, gak usah jadi anggota, di sini juga menjanjikan."
Ya, cuma balik lagi kan saya dengerin omongan mamah, orang tua pengin yang terbaik buat anaknya.
Takutnya kayak pas COVID-19 waktu itu, gaji kan cuma 25 persen waktu itu. Banyak juga keperluan. Waktu itu liga juga belum jelas, sudah mulai, berhenti lagi. Terus sempat dipotong Kanjuruhan juga. Kalau ada pegangan TNI atau Polri kan enak ketika kita sudah gak jadi pemain bola.
Pas udah ngerasain, ya ngerasa benar juga apa yang diomongin mamah. Sebelumnya mah saya nolak, saya bilang 'udah main bola aja, jadi pemain bola juga bisa ngangkat derajat orang tua'.
Alhamdulillah saya tes jalur prestasi sepak bola. Karena kita direkrutnya juga dari jalur prestasi, ya kita cuma izin per enam bulan. Kecuali, saat nanti ada Piala Panglima, itu harus balik ke kesatuan. Nanti kita ada kompetisi antarkesatuan, AL, AD, dan AU.
Kan udah jadi anggota TNI, gak bisa main di luar negeri, emang gak mau nyobain tantangan itu?

Waktu itu ada sih yang ngomong, Coach Widodo juga sempat nyampein di Asia Tenggara ada yang mau ngajak trial. Cuma saya bilang, "Coach, saya bulan depan sudah pendidikan."
Beliau jawab "ah kamu bukannya main bola aja."
Setelah itu, ya saya minta maaf.
Tapi, kalau dulu ada tawaran main di luar negeri, pasti saya ambil. Karena itu pengalaman yang bagus juga kan buat saya. Gimana hasilnya nanti yang penting saya sudah ke sana dan berjuang.
Ya ada nyesalnya juga karena belum sempat nyicipin itu, tetapi kan ini saya di TNI AL juga untuk negara juga.
Waktu pendidikan sempat absen panjang, itu bagaimana mengembalikan performa dan sentuhannya?

Waktu itu informasi awalnya pendidikan hanya enam bulan, ternyata harus ikut full, 10 bulan. Ya, total setahun lah saya vakum dari sepak bola.
Sebelum saya pendidikan, masih Coach Widodo, setelah itu Alfredo Vera masuk. Pas saya balik, selesai pendidikan, otomatis belum kenal dengan pelatih dan belum mengerti sistem permainannya kayak gimana.
Gak lama, ada tragedi Kanjuruhan. Rasanya campur aduk tuh, sedih, hancur banget, tapi ada untungnya juga buat saya karena liga jadi diliburkan. Saya jadinya memiliki waktu untuk latihan ekstra lagi, karena kan setahun saya gak main bola. Ada dua sisi dari tragedi itu, saya jadi bisa adaptasi lebih lama.
Saya gak ikut latihan sama senior, karena libur kan. Jadi saya latihan sama tim U-20 Persita. Tapi, saya tambah lagi latihan individu.
Performa kamu cukup bagus sampai akhirnya dipanggil Shin Tae Yong, gimana pengalaman dilatih Shin Tae Yong? Katanya keras banget?

Sebelum masuk Timnas Indonesia itu gak kejaga sama sekali soal nutrisi makanan. Alhamdulillah, setelah panggilan itu, saya bisa menjaga makanan mesti ada colongannya juga saat libur.
Karena itu ngaruh banget. Dulu, sebelum masuk Timnas Indonesia, saya juga gak pernah nge-gym. Sebelum masuk Timnas juga gak pernah gym. Cuma kalau ada sesi dari latihan klub aja, gak pernah gym sendiri. Gak pernah sama sekali.
Mindset saya dulu buat apasih gym. Cuma, pas masuk Timnas Indonesia, diterapin ini-itu. Dulu, saya gak pernah kuat main 90 menit. Main 50 menit aja udah pasti habis. Sekarang, saya kuat 90 menit.
Itu semua pengalaman saya sendiri. Setelah saya jadi TNI aja masih gak kuat loh (main 90 menit). Karena intensitas kita dalam pertandingan tuh tinggi ya selama 90 menit. Kalau TNI itu kan butuh kekuatan, sementara di sepak bola kita butuh semuanya, gak cuma kekuatan doang. Kelincahan, daya tahan, semua aspek yang mengandalkan fisik.
Sejak saat itu saya selalu gym di luar latihan. Misal, pagi saya latihan, sore saya ke gym. Tiap hari kayak gitu, kecuali H-2 sebelum pertandingan, karena harus istirahat.
Kalau kuat sama pola latihan Shin Tae Yong, pegang omongan saya pasti kuat main 90 menit.
Ada gak pelatih yang paling berkesan buat kamu?

Coach Widodo berkesan banget, karena ngasih saya kesempatan. Terus Coach STY, mengubah saya lebih disiplin. Coach Luis Duran Edmundo juga. Coach Luis yang ngasih tau saya cara bermain efektif.
Dulu, saya dribble terus. Kalo gak dribble saya gak puas. Tapi, kalau sekarang saya lebih dewasa mainnya. Awal-awal saya dribble, shooting gitu terus. Taktikal belakangan. Kalau sekarang, enggak.
Main pakai taktik itu lebih asik. Nah, kenapa saya suka habis di menit 50-60an, karena mainnya begitu. Boros stamina, enggak ngerti taktikal.
Saya main berubah sama Coach Luis. Dia bilang "kamu punya visi, punya segalanya, tapi cuma satu kekurangan kamu. Dribble-nya dikurangin. Dulu, saya di belakang juga suka dribble, lewatin dua sampai tiga pemain.
Pelatih juga bilang, "Dilatihan kamu bisa kayak gini, cuma di pertandingan gak akan bisa. Atmosfernya beda."
Pernah juga kecolongan sekali pas lawan Persib Bandung. Ada saya dribble di belakang, kerebut, terus kami kebobolan. Dari situ baru memahami kata-kata Coach Luis.
Saya belajar akhirnya main sepak bola efektif, transisi bagus untuk tim. Ditambah lagi sama Coach Shin Tae Yong. Dia pelatih cerdik. Shin Tae Yong kalau meracik strategi pintar banget. Satu pertandingan itu bisa berubah formasi tiga sampai empat kali, karena menyesuaikan permainan musuh.