Kenapa Dominasi Big Six di EPL Sudah Runtuh?

English Premier League (EPL) memasuki era baru pada 2020-an. Dominasi enam klub besar yang dikenal dengan sebutan big six telah berakhir dalam 3 musim sejak 2022/2023. Klub-klub big six itu sendiri meliputi Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, Liverpool, dan Tottenham Hotspur. Dari enam klub besar di atas, beberapa dari mereka mengalami kemerosotan prestasi. Sebut saja Manchester United, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Manchester City yang menjuarai EPL dalam 4 musim beruntun baru-baru ini terus menuai hasil buruk di semua kompetisi pada 2024/2025.
Keenam klub besar di atas sebelumnya secara konsisten berkompetisi untuk memperebutkan gelar juara dan tiket ke kompetisi antarklub Eropa pada 2009/2010--2021/2022. Namun, dominasi mereka runtuh seiring kemunculan klub-klub papan tengah yang meroket, seperti Newcastle United, Aston Villa, Brighton & Hove Albion, dan Nottingham Forest. Persaingan yang lebih merata dan tidak bisa diprediksi membuat media-media Inggris menyebut era big six di EPL sudah berakhir.
Lantas, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Berikut analisis lengkapnya.
1. Keuangan klub yang sehat berkat pendapatan dari popularitas EPL, terutama hak siar
EPL dikenal sebagai liga paling kompetitif di dunia dengan kualitas antara klub papan tengah dan atas tidak terlalu jauh. Premis tersebut muncul seiring dengan pendapatan klub-klub EPL yang cukup melimpah. Berbeda dari liga-liga top Eropa lain seperti LaLiga Spanyol, Bundesliga Jerman, Serie A Italia, dan Ligue 1 Prancis, EPL punya keunggulan dari segi pendapatan hak siar, popularitas, dan nilai sponsor. Dilansir ESPN, pendapatan klub-klub EPL secara keseluruhan mencapai 7 miliar euro atau Rp123 triliun pada 2022/2023.
Sedangkan, pendapatan tim-tim Bundesliga sebesar 3,8 miliar euro atau Rp67 triliun, LaLiga 3,5 miliar euro atau Rp61 triliun, dan Serie A 2,9 miliar euro atau Rp51 triliun pada musim tersebut. Pendapatan yang tinggi membuat klub-klub EPL mampu bergerak aktif membeli pemain di bursa transfer. Tidak hanya klub-klub besar, tim-tim papan tengah cukup boros dalam membelanjakan pemain. Misalnya, menurut ESPN, pengeluaran bersih Ipswich Town saja hampir setara dengan Bayern Muenchen, Real Madrid, dan Barcelona.
Jarang terdengar isu klub-klub EPL yang terancam bangkrut akibat krisis keuangan seperti yang terjadi di Serie A maupun Ligue 1. Keuangan yang sehat membuat persaingan antarklub EPL menjadi kompetitif. Selain itu, para pemain dan jajaran pelatih tidak dipusingkan dengan masalah di luar lapangan sehingga bisa fokus mempersiapkan diri untuk berlaga tiap pekan.
2. Dukungan finansial melimpah dari pemilik klub yang berlatar belakang pebisnis kaya
Klub-klub EPL rata-rata dimiliki oleh sosok pebisnis kaya yang memiliki pengaruh besar. Semua itu bermula dari Chelsea yang diakuisisi pengusaha ternama asal Rusia, Roman Abramovich, pada 2004. Fenomena ini makin diperkuat dengan kehadiran Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan saat membeli saham mayoritas Manchester City pada 2008. Chelsea dan Manchester City yang tadinya dianggap klub papan tengah, naik kelas menjadi tim papan atas dengan deretan pemain bintang bergaji mahal. Persaingan ketat dengan ramianya para pesepak bola top membuat popularitas EPL makin meningkat. Tidak hanya sponsor dan fans, tetapi para pebisnis dari berbagai belahan dunia tertarik mengakuisisi saham mayoritas klub-klub EPL.
Terbukti dengan kehadiran Public Investment Fund (PIF) dari Arab Saudi yang membeli Newcastle United pada Oktober 2021. Selain itu, ada juga Nassef Sawiris pengusaha asal Mesir bersama V Sports yang mengakuisisi Aston Villa pada 2018 dan Evangelos Marinakis pebisnis dari Yunani yang menjadi owner Nottingham Forest. Dengan pendapatan tinggi dari hak siar dan sponsor serta dukungan finansial dari pengusaha ternama, tidak heran klub-klub EPL mampu belanja jor-joran di bursa transfer.
3. Meroketnya prestasi klub-klub papan tengah
Dukungan finansial dari pemilik klub serta pendapatan dari hak siar, membuat klub-klub papan tengah EPL mampu naik kelas dalam 5 tahun terakhir. Mereka bisa mendatangkan manajer-manajer berpengalaman dengan gaya bermain modern dan inovatif serta para pemain bintang dari berbagai belahan dunia. Misalnya, Aston Villa yang merekrut Unai Emery menggantikan Steven Gerrard pada November 2022. Newcastle United yang mendukung manajernya, Eddie Howe, dengan membeli pemain berbakat, seperti Alexander Isak, Bruno Guimaraes, Sandro Tonali, dan Anthony Gordon.
Dengan begitu, prestasi klub-klub papan tengah mengalami peningkatan pesat. Newcastle United memulainya dengan menyingkirkan Liverpool dari empat besar pada 2022/2023 dan lolos ke UCL pada 2023/2024. Tren ini berlanjut dengan kehadiran Aston Villa yang finis di peringkat keempat EPL pada 2023/2024 dan melaju sampai 16 besar UCL pada 2024/2025. Nottingham Forest kini makin mantap berada di peringkat ketiga klasemen sementara EPL usai mengalahkan Manchester City pada pekan 28 2024/2025. Ditambah lagi, West Ham United yang menjuarai Liga Konferensi Eropa pada 2022/2023.
Klub-klub seperti Brighton & Hove Albion, AFC Bournemouth, dan Fulham, juga terus berkembang dengan pelatih mereka yang memainkan sepak bola menyerang. Mereka sering kali menyulitkan klub-klub besar. Misalnya, Chelsea yang kalah secara back to back dari Brighton di babak keempat Piala FA dan pekan 25 EPL 2024/2025. Terbaru, Nottingham Forest menang 1-0 atas juara bertahan, Manchester City, pada pekan 28.
4. Merosotnya prestasi klub-klub besar EPL
Fenomena kemunduran justru dialami klub-klub besar EPL yang tergabung dalam big six. Beberapa dari mereka belum juga bangkit dari performa buruk. Misalnya, Liverpool yang tampil inkonsisten dan gagal lolos ke UCL 2023/2024 usai finis di peringkat kelima pada akhir 2022/2023. Nasib lebih parah dialami Chelsea yang menempati peringkat ke-12 klasemen akhir EPL pada musim tersebut. Padahal, The Blues sudah membeli pemain bintang berharga mahal, seperti Enzo Fernandes, Raheem Sterling, dan Wesley Fofana. Kebijakan manajemen di bawah kepemimpinan Todd Boehly dalam membeli pemain serta bergonta-ganti pelatih menjadi alasan utama menurunnya prestasi Chelsea.
Manchester United kini memasuki masa-masa suram dengan terjebak di peringkat ke-14 dalam klasemen sementara EPL per pekan 28 2024/2025. Hal tersebut tidak lepas dari buruknya manajemen internal MU terutama soal perekrutan dan penggajian pemain, kewenangan yang diberikan kepada pelatih, dan performa inkonsisten di atas lapangan. Tottenham Hotspur juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan masih berada di peringkat ke-13. Merosotnya prestasi klub-klub papan atas membuka jalan bagi tim-tim papan tengah untuk bersaing memperebutkan zona kompetisi antarklub Eropa.
Keempat faktor di atas menunjukkan betapa kerasnya EPL. Klub-klub besar yang memiliki deretan pemain bintang bisa tersingkir dari papan atas akibat buruknya manajemen internal dan performa buruk secara konsisten tiap pekan. Sebaliknya, tim-tim papan tengah yang tidak diperhitungkan mulai naik kelas dengan dukungan finansial dari pemilik serta popularitas EPL di dunia. Faktor-faktor inilah yang membuat EPL makin menarik untuk disaksikan. Sebab, persaingan merata dan tidak bisa diprediksi.