Seni Bertahan Hidup di Premier League 2025/2026 ala Sunderland

- Sunderland bertekad tak mengulangi nasib tim promosi yang hanya bertahan semusim
- Sunderland mengorbankan pemain lama demi perombakan skuad besar-besaran
- Sunderland mengutamakan efisiensi taktik dan pergerakan tanpa bola
Kemenangan 2-1 Sunderland atas Chelsea pada pekan kesembilan English Premier League (EPL) 2025/2026 di Stamford Bridge menjadi momen yang mengubah cara pandang publik terhadap klub promosi. The Black Cats memutus stereotip klub promosi yang kerap jadi tim pesakitan dengan bukti kematangan sistem yang mereka bangun di bawah Pelatih Regis Le Bris. Di balik kemenangan itu, tersimpan perjalanan panjang tentang bagaimana sebuah tim belajar dari keterpurukan dan menulis ulang identitasnya.
Kembalinya Sunderland ke kasta tertinggi liga Inggris setelah 8 tahun silam bukanlah semata-mata nostalgia. Mereka menunjukkan organisasi, disiplin, dan kejelasan filosofi dapat mengalahkan kekuatan finansial lawan. Kemenangan atas Chelsea sekaligus menegaskan revolusi yang mereka mulai sejak musim lalu kini mulai menemukan bentuknya.
1. Sunderland bertekad tak mengulangi nasib tim promosi yang hanya bertahan semusim
Sunderland menutup Divisi Championship 2024/2025 dengan 5 kekalahan dari 6 laga terakhir. Mereka hanya mencetak satu gol dan promosi ke Premier League lewat jalur play-off, situasi yang menggambarkan betapa rapuhnya fondasi tim. Dengan hasil itu, manajemen menyadari mereka tidak siap menghadapi kerasnya kompetisi jika tetap bertahan dengan cara lama.
Kekalahan beruntun itu menggugah kesadaran tim secara kolektif. Sunderland memutuskan untuk membongkar sebagian besar skuad promosi dan memulai proyek baru di bawah kendali Regis Le Bris, pelatih yang dikenal berani mengutamakan sistem ketimbang tradisi. Keputusan itu sempat dianggap kejam oleh sebagian pendukung, tetapi justru menjadi langkah penyelamatan bagi klub yang 8 tahun lalu terdegradasi hingga ke League One, kasta ketiga dalam sistem sepak bola Inggris.
Sunderland belajar dari kegagalan tim promosi lain seperti, Leicester City, Ipswich Town, dan Southampton yang terlalu setia kepada pemain lama dan gagal beradaptasi di Premier League. Dalam pandangan Le Bris, loyalitas yang berlebihan merupakan bentuk stagnasi. Ia menilai klub harus berkembang melalui pembelajaran, bukan nostalgia. Dari kegagalan itu lahirlah keyakinan baru, jika ingin bertahan di kasta tertinggi, Sunderland harus berubah sejak hari pertama.
2. Sunderland mengorbankan pemain lama demi perombakan skuad besar-besaran
Perubahan Sunderland tidak berhenti pada susunan pelatih. Klub menolak narasi klasik tim promosi yang hanya ingin bertahan dan justru menantang ketakutan sendiri dengan langkah berani di bursa transfer. Dilansir The Telegraph, mereka menghabiskan lebih dari 160 juta pound sterling atau setara Rp3,545 triliun untuk mendatangkan 15 pemain baru, yang menjadikannya rekor belanja terbesar dalam sejarah tim promosi Premier League. Namun, Regis Le Bris menekankan, angka itu bukan soal gelontoran dana, melainkan simbol keberanian dalam mengubah tim secara total.
Rekrutmen pun dilakukan dengan presisi. Sunderland memadukan talenta muda, seperti Noah Sadiki, Chemsdine Talbi, dan Enzo Le Fee dengan pemain berpengalaman, seperti Granit Xhaka, Nordi Mukiele, dan Omar Alderete. Kolaborasi antara Director of Football Florent Ghisolfi, Sporting Director Kristjaan Speakman, dan Le Bris menghasilkan sistem perekrutan yang kolektif dengan setiap keputusan melewati proses analisis taktis dan psikologis yang matang. Tidak ada keputusan tunggal, tidak ada ego.
Meski begitu, bursa transfer musim panas 2025 di Sunderland justru terasa dingin secara emosional. Banyak pemain lama tersisih, tetapi suasana ruang ganti berubah menjadi lebih profesional. Keberanian untuk melepaskan masa lalu menjadikan klub ini unik di antara para promosi lain.
3. Sunderland mengutamakan efisiensi taktik dan pergerakan tanpa bola
Regis Le Bris menolak romantisme sepak bola menyerang yang sering menjadi jebakan bagi klub promosi seperti Leeds United atau Burnley. Ia memilih menemukan keindahan dalam struktur permainan yang efisien. Filosofinya sederhana, keindahan bukan terletak pada dominasi bola, tetapi pada kendali terhadap ruang dan momen. Sunderland mempraktikkannya secara ekstrem.
Menurut BBC, dari sembilan laga terakhir di Premier League, mereka mencatat rata-rata penguasaan bola hanya 42,5 persen, terendah keempat di liga. Namun, mereka memiliki rekor pertahanan ketiga terbaik, hanya di bawah Arsenal dan Manchester City. Struktur blok rendah mereka bekerja adaptif dengan lini belakang bergeser secara sinkron, sedangkan gelandang dan penyerang turun membantu menutup jalur tengah.
Laga di Stamford Bridge menjadi gambaran dari keindahan sistem ini. Saat Estevao Willian menekan dari sisi kanan, Nordi Mukiele dan Daniel Ballard bergerak serempak tiga langkah mundur untuk menjaga jarak antarlini. Chelsea gagal menemukan ruang, dan Sunderland membalikkan keadaan untuk meraup poin penuh. Bagi Le Bris, penguasaan bola hanyalah konsekuensi dari disiplin, bukan tujuan permainan.
4. Granit Xhaka jadi sosok paling berpengaruh bagi tim baik di dalam maupun luar lapangan
Granit Xhaka datang ke Sunderland bukan untuk mencari karier baru, melainkan untuk menjadi jembatan antara gagasan pelatih dan realitas lapangan. Di usia 33 tahun, ia memahami pentingnya struktur dan kepemimpinan dalam tim muda yang masih mencari arah. Ia menjadi penerjemah visi Regis Le Bris bagi pemain multinasional yang datang dari tujuh negara berbeda.
Di ruang ganti, Xhaka bukan hanya seorang kapten, melainkan juga penjaga sistem. Ia memastikan setiap pemain menghormati detail kecil, seperti jarak antarposisi, cara menutup ruang, hingga ritme pressing. Seorang staf Sunderland menggambarkannya sebagai sosok yang selalu menuntut standar baru tiap harinya. Dalam setiap latihan, Xhaka menuntut intensitas yang sama tinggi dari pemain berusia 18 maupun 30 tahun.
Perannya melampaui angka statistik, meski kontribusinya tetap nyata. Dalam enam Premier League, ia masuk lima besar gelandang dengan sapuan terbanyak (26), sapuan kepala (20), dan kemenangan duel (20). Lebih dari itu, ia membawa kohesi yang dulu hilang di klub ini. Bagi Le Bris, Xhaka adalah pengejawantahan nilai-nilai yang ia junjung soal disiplin, kesetiaan kepada proses, dan kejujuran dalam bekerja.
5. Meski tampil impresif pada awal musim, Sunderland tak mau larut dalam perayaan
Hingga pekan kesembilan Premier League 2025/2026, Sunderland berada di peringkat keempat klasemen atas, hanya terpaut dua poin dari Arsenal. Akan tetapi, Regis Le Bris tetap menegaskan target sederhana dengan raihan 40 poin musim ini demi bertahan di liga. Ia tahu euforia bisa menjadi jebakan yang berbahaya. Bagi sang pelatih, awal musim yang fenomenal bukan akhir perjalanan. Ini justru ujian bagi konsistensi sistem yang sedang dibangun.
Di sisi lain, klub berusaha menjaga keseimbangan di tengah pujian publik dengan tidak merayakan berlebihan dan mengubah sikap di ruang latihan. Sementara Chelsea, yang mereka kalahkan di Stamford Bridge, justru menjadi contoh kontras dengan skuad penuh bintang, tetapi kehilangan kolektivitas. Sunderland seolah menjadi bukti dari kebersamaan bisa menandingi kekuatan uang.
Suporter The Black Cats tampaknya tak perlu khawatir dengan perjalanan klub. Mereka kini menyaksikan metode yang bekerja, sistem yang tumbuh, dan tim yang berani menderita bersama demi hasil yang layak. Kota yang dahulu lekat dengan kerasnya kehidupan para pekerja baja dan tambang, kini menyalurkan semangat itu kembali lewat sepak bola.
Delapan tahun setelah jatuh ke divisi bawah, Sunderland membuktikan perubahan drastis bukanlah pengkhianatan, melainkan cara untuk bertahan. Di tengah gemerlap Premier League, mereka menunjukkan bahwa logika, disiplin, dan persatuan mampu menandingi kekuatan tradisi dan reputasi besar.











.jpg)





