Sunderland Mendatangkan Granit Xhaka, Langkah Cerdas atau Berisiko?

Granit Xhaka dipastikan kembali ke English Premier League. Bukan dengan seragam Arsenal, melainkan bersama klub promosi, Sunderland. Transfer senilai 17 juta pound sterling (Rp372,7 miliar) ini cukup mengejutkan mengingat klub berjuluk The Black Cats ini dikenal berorientasi kepada pemain muda. Dengan usia 32 tahun dan pengalaman lebih dari 200 laga Premier League, kehadiran Xhaka akan memberikan dimensi baru bagi skuad Pelatih Regis Le Bris.
Selain merekrut gelandang bertahan berpengalaman, Sunderland juga memerlukan sosok pemimpin yang sudah teruji di panggung tertinggi Eropa. Xhaka datang dengan reputasi apik usai tampil luar biasa di Bayer Leverkusen dan memimpin tim menjuarai Bundesliga Jerman tanpa kekalahan pada 2023/2024. Lantas dengan mendatangkan Xhaka, apakah ini langkah berisiko atau justru langkah cerdas bagi Sunderland?
1. Granit Xhaka tolak tawaran klub Arab Saudi demi merumput lagi di Premier League
Sejak diakuisisi miliuner asal Swiss, Kyril Louis-Dreyfus, pada 2021, Sunderland menjelma sebagai salah satu klub dengan proyek pengembangan pemain muda paling ambisius di Inggris. Sebut saja talenta belia seperti Jobe Bellingham, Amad Diallo, hingga Habib Diarra yang berhasil bersinar di sana. Namun, keputusan klub mendatangkan Granit Xhaka mengubah paradigma klub.
Xhaka menjadi pemain tertua yang direkrut Sunderland di bawah kepemimpinan Louis-Dreyfus, sekaligus satu-satunya pemain yang tak masuk skema jual-beli jangka panjang. Sebelum kedatangannya, dari enam rekrutan musim panas 2025, termasuk Simon Adingra dan Reinildo Mandava, tak ada satu pun yang mengantongi lebih dari 100 laga di Premier League. Bandingkan dengan Xhaka yang mengoleksi 225 penampilan di liga, yang menjadikannya figur langka di skuad yang minim pengalaman level atas.
Yang membuat transfer ini makin menarik, Xhaka ternyata menolak tawaran dari klub Arab Saudi demi kembali ke Inggris. Artinya, proyek Sunderland cukup meyakinkan bagi pemain sekaliber dirinya yang nyaris meraih treble bersama Leverkusen. Ia bahkan disebut hanya menginginkan Sunderland sebagai tujuan transfer musim panas ini. Kombinasi nilai investasi, pengalaman, dan komitmen personal membuat langkah ini sebagai sinyal kuat Sunderland ingin lebih dari sekadar bertahan di Premier League.
2. Gaya bermain Granit Xhaka makin dewasa saat berseragam Bayer Leverkusen
Karier Xhaka di Arsenal memang tidak selalu berjalan mulus. Ia dikenal sebagai sosok kontroversial dengan 5 kartu merah dan 55 kartu kuning selama tampil di Premier League. Kontroversinya mencapai puncaknya ketika ia berseteru dengan fans Arsenal pada 2019, insiden yang membuatnya dicopot dari jabatan kapten hanya 6 minggu setelah diangkat Pelatih Unai Emery.
Namun, semuanya berubah sejak Pelatih Mikel Arteta mengambil alih kursi pelatih. Ia memindahkan Xhaka dari posisi gelandang bertahan ke peran gelandang kiri dalam sistem 4-3-3. Perubahan posisi itu membuat Xhaka tampil lebih ofensif dan efisien dengan torehan 9 gol dan menyumbang 7 assist pada pada 2022/2023, catatan terbaik sepanjang kariernya di Arsenal. Penampilan itu tidak hanya menyelamatkan kariernya, tetapi juga mengubah persepsi publik terhadap dirinya.
Kepindahannya ke Bayer Leverkusen pada 2023 mengawali babak baru dalam kariernya. Di bawah asuhan Xabi Alonso, ia menjadi pusat permainan tim yang meraih gelar Bundesliga Jerman dan DFB-Pokal pada 2023/2024, tanpa menelan satu pun kekalahan. Menurut Opta Analyst, dalam 50 laga di semua ajang musim itu, ia tidak mencatat satu pun kesalahan yang berujung gol dan hanya menerima tiga kartu kuning dari 33 laga Bundesliga.
Bahkan secara statistik, Xhaka memimpin Bundesliga dalam hal distribusi bola dengan 2.500 umpan sukses, akurasi 90,7 persen, dan 550 umpan yang memecah garis pertahanan. Berkat ketenangan dan ketepatan yang ia tunjukkan, ia tak lagi identik dengan sosok gelandang berisiko. Kini, dirinya justru merepresentasikan kestabilan dan kendali di lini tengah.
3. Meski berisiko, Granit Xhaka hadir membawa pengalaman mumpuni di Premier League
Kekurangan utama Sunderland sebelum masuk 2025/2026 yakni minimnya pengalaman di Premier League. Enam pemain baru dalam skuad hanya mengoleksi 85 penampilan di level tertinggi di liga Inggris, dengan Simon Adingra dan Simon Moore sebagai satu-satunya yang pernah jadi starter reguler. Kehadiran Granit Xhaka, dengan 225 laga Premier League dan 137 caps untuk timnas Swiss, langsung mengangkat level kompetitif skuad secara signifikan.
Tak hanya sebagai sosok veteran, Xhaka juga merupakan jenderal lini tengah yang dikenal sebagai metronom permainan. Dalam musim terakhir di Bundesliga, ia mencatat akurasi umpan lebih dari 90 persen, mencetak 7 assist dari permainan terbuka, dan menjadi salah satu pemain dengan jumlah umpan progresif terbanyak di liga (203 umpan). Dengan kemampuan membaca permainan dan distribusi bola yang presisi, ia akan menjadi tulang punggung transisi permainan Sunderland, baik saat bertahan maupun menyerang.
Namun, tantangan berat juga menanti. Berbeda dengan Arsenal atau Leverkusen yang dominan dalam penguasaan bola, Sunderland hanya mencatatkan rata-rata 48,6 persen penguasaan bola di Divisi Championship 2024/2025. Dalam sistem seperti itu, efektivitas Xhaka akan lebih bergantung kepada adaptasi peran serta fleksibilitas taktik Regis Le Bris.
Selain itu, hadirnya Xhaka bakal memperketat kompetisi di sektor tengah yang sudah padat oleh nama-nama seperti Habib Diarra, Noah Sadiki, Dan Neil, dan Chris Rigg. Komposisi ini berisiko menimbulkan ketidakseimbangan bila pelatih gagal mengatur rotasi dengan bijak. Terlebih, status Xhaka sebagai pemain mahal dan berpengalaman hampir menjamin tempatnya di starting line-up.
Namun jika pelatih mampu mengoptimalkan keberadaan Xhaka, efek domino positif bisa terjadi. Baik dari segi kualitas permainan, kedewasaan ruang ganti, maupun mentalitas bertanding, Xhaka membawa atribut yang belum pernah dimiliki Sunderland dalam 1 dekade terakhir. Ia adalah sosok yang mampu menyelamatkan tim dari lubang degradasi sekaligus panutan bagi pemain muda melewati kerasnya Premier League.
Keputusan Sunderland mendatangkan Granit Xhaka memang sarat risiko, tetapi juga menyimpan potensi besar. Jika dikelola dengan tepat, transfer ini bisa menjadi langkah transformatif yang mengubah wajah klub dalam jangka pendek maupun panjang.