Bagaimana AI Bisa Berhalusinasi? Saat AI Tidak Tahu, tapi, Sok Tahu

- Halusinasi AI terjadi ketika sistem kecerdasan buatan menghasilkan respons yang keliru secara fakta, tetapi terdengar kredibel.
- Penyebab halusinasi AI berakar pada cara model memproses data dan kualitas data pelatihan yang tidak lengkap atau bias.
- Bentuk halusinasi AI meliputi kesalahan fakta, referensi palsu, pernyataan tidak sesuai realita, dan dampak serius di berbagai sektor strategis.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan atau akal imitasi semakin banyak digunakan. Mulai dari menulis teks, menjawab pertanyaan, hingga membantu penelitian akademik. Namun, di balik kemampuannya yang luar biasa, muncul fenomena menarik sekaligus menggelitik. Terkadang AI tampak tahu segalanya, padahal ia tidak tahu apa-apa. Dalam falsafah Jawa, ada ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hal ini. Ojo keminter mundhak keblinger (jangan sok pintar agar tidak tersesat oleh kepintarannya sendiri). Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah AI hallucination atau halusinasi AI.
Menurut IBM, istilah ini mengacu pada kondisi ketika sistem AI menghasilkan respons yang tidak bersumber dari data pelatihan (training data) atau tidak mengikuti pola yang bisa dikenali secara logis. Tak dapat dimungkiri, banyak orang kini mengandalkan AI untuk mendapatkan jawaban instan tanpa menyadari bahwa sebagian dari jawaban tersebut mungkin keliru. Dalam banyak kasus, ketika AI memberikan informasi yang salah atau menyesatkan justru disampaikan seolah memang benar adanya. Bukan karena AI berniat menipu, melainkan ia hanya meniru pola dari data yang tersedia. Lantas, bagaimana fenomena halusinasi AI ini bisa terjadi?
1. Mengurai tentang apa itu Halusinasi AI?

Halusinasi AI muncul ketika sistem kecerdasan buatan menghasilkan teks, gambar, atau data yang tampak benar secara struktur, tetapi keliru secara fakta. Respons yang diberikan sering terdengar kredibel sehingga banyak pengguna tidak menyadari bahwa informasi tersebut tidak akurat. Mengutip penjelasan dari Google Cloud, kondisi ini biasanya terjadi karena AI generatif memprediksi informasi yang sekilas tampak masuk akal. Namun, halusinasi AI muncul karena data pelatihan yang terbatas, asumsi model yang keliru, atau mengandung bias dalam dataset yang digunakan selama proses melatih model.
Halusinasi jenis ini dapat menimbulkan dampak serius ketika sistem AI digunakan dalam pengambilan keputusan yang bersifat krusial di berbagai sektor strategis. Contohnya dalam diagnosis medis, pertimbangan hukum, maupun pemberian rekomendasi di bidang keuangan. Jadi, AI hanya menebak berdasarkan pola yang paling mungkin berdasarkan data yang pernah ia pelajari.
Fenomena ini semakin kompleks karena AI bekerja menggunakan pendekatan statistik dan probabilistik. Sistem menggabungkan informasi dari beragam sumber untuk mencari pola yang secara matematis dianggap paling masuk akal. Namun, jika konteks data tidak lengkap atau informasi yang digunakan tidak relevan, model dapat menghasilkan output yang sepenuhnya keliru. Inilah sebabnya banyak pengguna merasa AI terlihat percaya diri. Padahal, yang terjadi hanyalah salah tebak melalui gaya bahasanya yang meyakinkan.
2. Mengapa AI bisa berhalusinasi?

Penyebab utama halusinasi AI berakar pada cara model memahami dan memproses data. Mengutip situs Zapier, model bahasa besar (Large Language Models/LLMs) maupun model multimodal (LMMs) yang digunakan pada sistem seperti ChatGPT sebenarnya tidak benar-benar mengetahui apa pun. Terlepas dari apakah jawabannya benar atau salah, model tersebut dirancang untuk memprediksi rangkaian teks yang paling mungkin muncul setelah perintah yang diberikan pengguna. Ketika sistem tidak menemukan jawaban pasti, ia mudah menyusun rangkaian kata yang terdengar meyakinkan meski tidak memiliki dasar kebenaran.
Zapier menganalogikan LLM sebagai versi “autocorrect” yang sangat canggih, di mana model hanya berupaya menyusun kata, kalimat, atau paragraf berikutnya tanpa memahami maknanya. AI tidak memiliki konsep internal tentang kebenaran atau akurasi faktual, serta tidak mampu menerapkan logika dalam menalar respons. Sebagai contoh, ChatGPT mengetahui bahwa 1+1=2 bukan karena memahami matematika, tetapi karena pola tersebut paling sering muncul pada data pelatihannya. Oleh sebab itu, halusinasi AI merupakan konsekuensi alami dari sistem yang berusaha menjawab setiap perintah melalui urutan kata yang tampak sesuai.
Selain mekanisme kerja model, kualitas data pelatihan juga berperan penting dalam memicu halusinasi AI. Jika data yang digunakan untuk melatih AI tidak lengkap, bias, atau mengandung kesalahan, maka model akan meniru kekeliruan tersebut dalam bentuk respons baru yang tampak valid. Dalam beberapa kasus, model bahkan terkesan menghafal informasi dari dataset tanpa memahami konteksnya. Istilah ini dikenal sebagai overfitting dalam dunia machine learning. Akibatnya, AI bisa tampak sangat yakin atas jawabannya meski yang ia hasilkan sekadar tebakan yang terdengar logis, bukan fakta akurat.
3. Bentuk-bentuk halusinasi AI

Halusinasi AI tidak selalu muncul dalam bentuk kesalahan besar. Sering kali ia hadir dalam detail yang kecil, tetapi krusial. Salah satu bentuk paling umum adalah kesalahan fakta. Misalnya, ketidakakuratan pada tahun, angka, atau nama tokoh tertentu. Selain itu, terdapat pula referensi palsu, di mana sistem AI mengutip buku, artikel, atau jurnal ilmiah yang sebenarnya tidak pernah ada. Fenomena ini sering dijumpai dalam konteks penelitian akademik yang menggunakan model generatif seperti ChatGPT atau Gemini AI sebagai alat bantu.
Bentuk lain dari halusinasi AI adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan realita. Contohnya, AI bisa saja menyatakan bahwa “manusia pertama mendarat di Mars pada 2020”, padahal peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Kesalahan seperti ini umumnya muncul karena model terlalu mengandalkan asosiasi antar data tanpa memahami alasan di baliknya. Hal semacam ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan membentuk opini keliru di ruang publik jika tidak segera diverifikasi oleh pengguna manusia.
4. Mengapa AI terlihat sok tahu?

Fenomena AI yang terlihat sok tahu muncul karena gaya bahasanya yang lugas, meskipun isi jawabannya belum tentu benar. Sebuah studi oleh Kalai, Ofir, Santosh, dan Edwin (2025) dalam publikasi arXiv berjudul Why Language Models Hallucinate mengungkap bahwa hal ini terjadi karena proses pelatihan model lebih menekankan pada kemampuan memberikan jawaban dibandingkan kejujuran untuk mengakui ketidaktahuan. Secara teknis, sistem akan memperoleh nilai atau umpan balik positif setiap kali berhasil memprediksi respons. Akibatnya, model terbentuk untuk selalu memberikan jawaban, bukan untuk memastikan kebenarannya.
Dari sisi pengguna, penyampaian yang terstruktur membuat AI tampak seperti memiliki kepercayaan diri intelektual. Namun, model tidak memiliki niat, kesadaran, atau pun pemahaman yang sesungguhnya. Ia hanya menjalankan algoritma prediksi berdasarkan pola dari data sebelumnya. Karena itulah, AI terlihat seperti sok tahu karena memang dirancang untuk selalu memberikan jawaban.
5. Dampak halusinasi AI

Dampak halusinasi AI terbukti sangat luas, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada ketepatan fakta dan akurasi informasi. IBM mencontohkan bahwa dalam bidang kesehatan, sistem AI dapat keliru mengidentifikasi lesi kulit jinak sebagai kanker ganas, yang berpotensi memicu tindakan medis yang tidak diperlukan. Kesalahan serupa juga bisa memperburuk penyebaran disinformasi, terutama bila sistem berita otomatis merespons situasi darurat memakai informasi belum terverifikasi. Dalam kasus seperti ini, kabar palsu dapat menyebar cepat dan menghambat upaya mitigasi di lapangan. Salah satu penyebab utamanya adalah bias pada data input. Jika model AI dilatih menggunakan dataset yang tidak beragam atau tidak mewakili populasi sebenarnya, ia dapat menghalusinasi pola yang mencerminkan bias tersebut.
Selain itu, model AI juga rentan terhadap serangan adversarial. Manipulasi output AI melalui perubahan kecil, tetapi strategis pada data input. Sebagai contoh pada konteks pengenalan gambar (Image Recognition), pelaku bisa menambahkan gangguan visual hampir tak terlihat agar sistem salah mengklasifikasikan objek. Hal ini menjadi ancaman serius, terutama di bidang keamanan siber dan autonomous driving, di mana akurasi sistem sangat krusial. Para peneliti AI kini terus mengembangkan mekanisme pertahanan seperti adversarial training, yaitu melatih model memakai kombinasi data normal dan data hasil manipulasi agar lebih tahan terhadap serangan. Hingga teknologi tersebut matang, kewaspadaan saat proses pelatihan dan pemeriksaan fakta tetap menjadi langkah utama dalam meminimalisasi risiko kesalahan.
Tidak hanya di sektor profesional, dunia pendidikan dan jurnalisme juga menghadapi ancaman serupa. Menurut CapTech University, penyebaran informasi salah akibat halusinasi AI dapat mengikis kepercayaan publik terhadap teknologi sekaligus memperburuk fenomena disinformasi digital. Dampak sosial ini menuntut kolaborasi antara developer dan manusia sebagai pengguna akhir untuk menegakkan tanggung jawab bersama. Tanpa literasi digital dan kesadaran kritis, masyarakat berisiko terjebak dalam lingkaran kebenaran semu yang dibangun oleh algoritma, di mana informasi tampak benar hanya karena sering diulang oleh mesin.
6. Cara mengurangi risiko halusinasi AI

Menghadapi fenomena ini, para ahli menyarankan beberapa langkah pencegahan. Salah satunya adalah verifikasi silang terhadap informasi yang dihasilkan AI. MIT Sloan menekankan pentingnya human oversight, yakni memastikan setiap keputusan atau informasi penting tetap melibatkan penilaian manusia. Di sisi teknis, pendekatan retrieval-augmented generation (RAG) juga dianggap efektif karena memungkinkan AI mengaitkan hasilnya ke sumber fakta yang dapat diverifikasi secara langsung.
Coursera menambahkan bahwa penyusunan prompt yang jelas dan spesifik akan membantu model menghasilkan jawaban yang lebih relevan dan mengurangi kemungkinan salah konteks. Edukasi pengguna juga penting untuk memahami bahwa AI hanyalah alat bantu. Melalui kesadaran ini, kamu dapat menggunakan AI secara produktif sembari tetap menjaga kendali terhadap kebenaran informasi yang disampaikan.
Halusinasi AI tidak semata-mata bahwa mesin sengaja mengelabui, melainkan konsekuensi dari sistem yang berorientasi pada algoritma prediksi. AI bisa terlihat cerdas sejatinya hanya meniru pola dari data sebelumnya. Maka dari itu, upaya untuk memutus mata rantai halusinasi AI harus dilakukan di semua tahapan. Mulai dari peningkatan kualitas data pelatihan, transparansi algoritma, hingga keterlibatan manusia dalam proses verifikasi.
Sebagai pengguna, kamu dituntut untuk tetap kritis dan bijaksana dalam memanfaatkan teknologi ini. AI memang mampu menjadi mitra luar biasa dalam belajar dan bekerja, asalkan kamu tidak sepenuhnya menyerahkan penilaian pada mesin. Melalui kesadaran dan literasi digital yang baik, kamu dapat menikmati manfaat teknologi tanpa kehilangan nilai paling penting yang membuat manusia unggul dari algoritma yaitu kemampuan memahami makna di balik kebenaran.



















