Indonesia Siapkan AI untuk Perkuat Ketahanan Pangan Nasional

- Indonesia mempersiapkan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat ketahanan pangan nasional
- Pemerintah siapkan aplikasi AI untuk layanan publik, perlindungan sosial, pemeriksaan kesehatan gratis, dan distribusi makanan bergizi
- Pemerintah fokus pada pengembangan AI yang etis, inklusif, dan berlandaskan prinsip keadilan sosial
Menghadapi ketidakpastian geopolitik global, Indonesia mengambil langkah strategis menyiapkan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Presiden Prabowo Subianto menempatkan keamanan pangan sebagai prioritas utama, sejalan dengan upaya mendorong kemandirian bangsa di sektor-sektor vital. Hal ini disampaikan oleh Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, dalam sesi panel bertajuk "Wanted: AI to Retain and Attract Talents to the Country" pada forum teknologi global Machines Can See 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu (23/4/2025). Meutya menekankan bahwa pendidikan menjadi fondasi utama karena dalam membangun AI para perancang dan pengelolanya harus memiliki kecerdasan melebihi teknologi itu sendiri.
“Keamanan pangan menjadi perhatian Presiden Prabowo, terutama di tengah situasi geopolitik saat ini. Pendidikan juga merupakan keyakinan mendasar yang dipegang teguh Indonesia, karena dalam mengembangkan AI, kita percaya bahwa yang merancang dan mengatur AI harus lebih pintar dari AI itu sendiri,” ujar Meutya dikutip siaran pers resmi Komdigi, Senin, 28 April 2025.
Sebagai wujud nyata, Pemerintah tengah menyiapkan aplikasi AI untuk mendukung berbagai layanan publik, termasuk sistem perlindungan sosial yang baru akan diluncurkan Agustus 2025. Selain itu, layanan pemeriksaan kesehatan gratis serta program distribusi makanan bergizi untuk pelajar menjadi bagian penting dari strategi ini.
Upaya ini memperkuat visi besar Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya poin kedua memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional serta mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Lantas, bagaimana AI berperan dalam mendukung misi besar ini? Mari telaah bersama!
1. Teknologi harus mencerminkan keberagaman dunia, bukan hanya prioritas segelintir orang

Dalam forum internasional “Machines Can See 2025” di Dubai, Meutya Hafid menegaskan bahwa pengembangan kecerdasan buatan (AI) harus diarahkan untuk menjawab tantangan-tantangan mendesak bangsa, salah satunya memperkuat ketahanan pangan nasional. Menurut Meutya, Indonesia melihat AI bukan hanya sebagai simbol kemajuan teknologi, tetapi sebagai alat strategis untuk meningkatkan efisiensi produksi, distribusi pangan berbasis data, serta memperkecil ketimpangan akses pangan di berbagai daerah.
“Teknologi harus mencerminkan keberagaman dunia, bukan hanya prioritas segelintir orang,” ujar Meutya saat tampil sebagai pembicara dalam forum tersebut, Rabu (23/4/2025). Ia menyerukan pentingnya membangun ekosistem AI yang etis, inklusif, dan berlandaskan prinsip keadilan sosial. AI, katanya, tidak boleh dikembangkan hanya untuk memenuhi ambisi segelintir pihak, melainkan harus menjadi representasi dari keragaman budaya, latar belakang sosial, serta kebutuhan nyata masyarakat dunia.
Dalam konteks Indonesia, keberagaman geografis dan demografis menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Lebih dari 212 juta pengguna internet aktif dan status sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, Indonesia kini berada dalam posisi strategis untuk membentuk arah masa depan teknologi global. Meutya menekankan bahwa dalam upaya ini, ketahanan pangan menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan.
Dalam konteks ini, Indonesia melihat kecerdasan buatan sebagai alat yang dapat memperkuat ketahanan pangan nasional, tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi, tetapi juga memastikan distribusi pangan yang lebih merata dan berbasis data. Melalui pembangunan ekosistem AI yang inklusif dan beretika, Indonesia berharap teknologi dapat digunakan untuk memecahkan tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks di masa depan.
2. Meutya juga menyoroti isu diaspora digital Indonesia

Dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional melalui kecerdasan buatan (AI), Indonesia juga menaruh perhatian besar pada potensi diaspora digital. Meutya Hafid mengungkapkan bahwa sekitar delapan juta warga negara Indonesia kini tinggal di luar negeri, termasuk sekitar 20.000 orang yang bekerja di Silicon Valley.
“Mereka kini berkecimpung dalam bidang inovasi perangkat lunak AI. Meski banyak dari mereka mungkin tidak lagi terhubung erat dengan lanskap domestik Indonesia, kami tetap memandang mereka sebagai bagian dari kekuatan nasional kami. Kami lebih suka menggunakan istilah brain link daripada brain drain,” ungkap Meutya.
Alih-alih memandang diaspora sebagai kehilangan sumber daya manusia berbakat, pemerintah Indonesia melihatnya sebagai peluang strategis untuk membangun jaringan inovasi global. Pemanfaatan talenta diaspora di bidang kecerdasan buatan diharapkan mempercepat transformasi sektor ketahanan pangan. Mulai dari penerapan pertanian presisi, peningkatan produktivitas hasil tani hingga pengembangan solusi pangan yang lebih berkelanjutan. Melalui strategi ini, diaspora Indonesia tidak hanya dilihat sebagai komunitas di luar negeri, melainkan sebagai mitra aktif dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Dengan menyatukan pengalaman global dan semangat membangun bangsa, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menyiapkan masa depan pangan yang lebih cerdas, berdaulat, dan berdaya saing tinggi.
3. Tantangan yang dihadapi Indonesia cukup kompleks berkenaan dengan pentingnya membangun pusat keunggulan AI di berbagai daerah

Indonesia terus memperkuat komitmennya membangun ekosistem kecerdasan buatan (AI) yang inklusif, terutama untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Meutya Hafid menyoroti bahwa lebih dari 17.000 pulau yang tersebar luas, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyediakan kebutuhan konektivitas digital yang cepat dan andal sebagai prasyarat utama bagi implementasi pertanian cerdas berbasis AI. Sebagai langkah nyata, pemerintah kini berupaya memperluas jaringan serat optik, membangun kabel bawah laut, serta melelang spektrum frekuensi strategis seperti 2,6 GHz dan 3,5 GHz guna memperkuat infrastruktur telekomunikasi. Namun, Meutya menekankan bahwa tantangan terbesar bukan hanya soal membangun jaringan fisik, melainkan juga memastikan bahwa pengembangan AI merata hingga ke pelosok daerah sehingga sektor pertanian di seluruh Nusantara dapat bertransformasi.
“Ini sebuah kemajuan, tetapi tetap mengingatkan kita tentang skala tantangan untuk membangun konektivitas yang cepat dan andal di 17.000 pulau di Indonesia,” tegasnya.
Oleh karena itu, Indonesia mengambil inisiatif untuk membangun pusat-pusat keunggulan AI di berbagai wilayah, seperti Bandung, Surabaya, hingga Papua. Menurut Meutya, mendirikan pusat AI di Papua menjadi simbol penting bahwa inklusivitas adalah prinsip utama dalam revolusi AI nasional. Ini juga memastikan bahwa petani di daerah terpencil dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan memperkuat ketahanan pangan.
“Menjadikan pusat keunggulan AI di Papua sangat penting bagi orang Indonesia untuk menunjukkan bahwa AI, bahwa kami percaya inklusivitas sangat penting ketika kita berbicara tentang AI,” ungkap Meutya.
Melalui langkah ini, Indonesia ingin memastikan bahwa masa depan AI bukan hanya menjadi milik segelintir kota atau kawasan, melainkan benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, dari barat hingga timur Nusantara, terutama dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Forum Machines Can See 2025 menjadi ajang strategis bagi Indonesia untuk menegaskan bahwa masa depan kecerdasan buatan bukanlah hak eksklusif satu bangsa atau satu kawasan, tetapi harus dibentuk bersama atas dasar keadilan, akses, dan keberagaman.
Melalui langkah-langkah ini, Indonesia tidak hanya ingin menjadi konsumen teknologi, tetapi bertransformasi menjadi arsitek masa depan yang membangun AI untuk kehidupan yang lebih adil, mandiri, dan berkelanjutan. Forum Machines Can See 2025 menjadi panggung strategis untuk menegaskan bahwa Indonesia siap menjadikan kecerdasan buatan sebagai tulang punggung dalam memperkuat ketahanan pangan nasional, demi masa depan yang berdaulat dan berdaya.