Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Festival Budaya Jawa yang Sarat Filosofi dan Kearifan Lokal

Kebo-keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._07.jpg
Potret Festival Ngider Bumi (commons.wikimedia.org/Wisnu Bangun Saputro)

Pernahkah kamu membayangkan betapa kayanya tradisi yang tersembunyi di balik setiap sudut Pulau Jawa? Tak hanya sekadar hiburan, festival budaya di Jawa menyimpan makna mendalam yang diwariskan secara turun-temurun sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu.

Mulai dari ritual sakral hingga perayaan penuh warna, semuanya menyatu dalam kearifan lokal yang patut dijaga dan dirayakan. Setiap festival membawa pesan dan nilai kehidupan yang relevan hingga kini.

Ada tentang rasa syukur pada alam, penghormatan pada leluhur, hingga filosofi hidup yang menyentuh hati. Jika kamu ingin memahami budaya Jawa lebih dalam, deretan festival ini bisa jadi gerbang pembuka yang menggugah rasa ingin tahu kamu lebih mendalam lagi. Deretan budaya Jawa ini juga bisa menjadi referensi liburanmu selanjutnya.

1. Sekaten

1600px-Gamelan_Sekaten_Kanjeng_Kiai_Guntur_Madu_dalam_Acara_Sekaten_di_Yogyakarta.jpg
Potret permainan gamelan di acara Sekaten (commons.wikimedia.org/Pandjisaputra94)

Sekaten merupakan festival tahunan yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Uniknya, perayaan ini tidak hanya sarat nuansa religius, tetapi juga budaya Jawa yang kental, seperti gamelan, gunungan, dan pasar malam. Tradisi ini bermula dari zaman Wali Songo sebagai media syiar Islam melalui pendekatan budaya.

Filosofi Sekaten menggambarkan perpaduan harmoni antara agama dan adat istiadat. Masyarakat diajak untuk mengenal sejarah serta nilai toleransi dalam bentuk yang meriah dan membumi. Tak heran jika setiap tahun, Sekaten selalu berhasil menarik ribuan wisatawan dari berbagai daerah.

2. Grebeg Maulud

Grebeg Maulud adalah bagian dari rangkaian acara Sekaten yang digelar di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Puncak acaranya adalah arak-arakan gunungan hasil bumi yang kemudian diperebutkan masyarakat. Gunungan ini melambangkan berkah dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya.

Makna filosofisnya sangat mendalam, yakni pemimpin harus memberi dan menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat pun percaya siapa pun yang mendapatkan bagian dari gunungan akan mendapat berkah. Festival ini menunjukkan bagaimana budaya dan spiritualitas dapat berjalan berdampingan dalam kehidupan masyarakat Jawa.

3. Larung Sesaji

Larung_sesaji_Pantai_Tambakrejo.jpg
Potret Larung Sesaji (commons.wikimedia.org/Suhendro winarso)

Larung Sesaji biasanya digelar masyarakat pesisir, seperti di Pantai Selatan, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil laut. Mereka melarung sesaji seperti kepala kerbau atau tumpeng ke tengah laut sebagai persembahan bagi Ratu Laut Selatan. Tradisi ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Filosofi yang terkandung di dalamnya adalah ajaran untuk tidak serakah dan selalu menjaga keseimbangan ekosistem. Larung Sesaji juga mengajarkan tentang penghormatan pada kekuatan alam yang lebih besar dari manusia. Di balik seremoni sakralnya, ternyata tersimpan pesan ekologis yang sangat relevan di masa kini.

4. Reog Ponorogo

Reog bukan hanya pertunjukan seni dengan kostum besar nan megah, tetapi juga simbol kekuatan, keberanian, dan kepercayaan pada kekuatan spiritual. Tarian singa barong dan jathilan dalam Reog menggambarkan pertarungan antara kebaikan dan keburukan.

Unsur magis dalam pertunjukan ini mencerminkan kedalaman filosofi masyarakat Ponorogo. Reog mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup dan menjunjung keberanian dalam menghadapi tantangan.

Selain seni pertunjukan, Reog adalah identitas yang melekat kuat pada warga Ponorogo. Setiap pentas Reog selalu berhasil membangkitkan rasa bangga dan semangat kolektif masyarakat.

5. Sedekah Bumi

Sedekah Bumi adalah tradisi memberikan sesaji kepada bumi sebagai bentuk terima kasih atas kesuburan tanah. Biasanya dilakukan dengan membawa hasil bumi ke tempat tertentu dan menggelar acara doa bersama. Festival ini mencerminkan hubungan spiritual antara manusia dan alam.

Makna filosofinya adalah ajakan tidak serakah dan selalu menjaga keseimbangan lingkungan. Sedekah Bumi menanamkan nilai bahwa alam juga punya jiwa yang perlu dihormati. Tradisi ini sekaligus menjadi bentuk konservasi budaya dan lingkungan secara bersamaan.

6. Festival Ngider Bumi

Kebo-keboan_Alasmalang,_Banyuwangi._01 (1).jpg
Potret Festival Ngider Bumi (commons.wikimedia.org/Wisnu Bangun Saputro)

Festival Ngider Bumi di Banyuwangi tak sekadar ajang budaya biasa, melainkan sebuah ungkapan syukur dari para petani, serta doa spiritual. Tujannya agar panen melimpah dan desa senantiasa terlindungi.

Dalam ritual ini, warga dari Desa Aliyan dan Alasmalang melaksanakan prosesi dengan mengarak puluhan pria yang berdandan menyerupai kerbau dengan tubuh mereka dilumuri jelaga, memakai tanduk buatan, dan membawa peralatan membajak sawah.

Arak-arakan ini mengelilingi desa ke empat penjuru mata angin, diiringi gamelan dan angklung yang memperkuat semangat gotong royong, sekaligus menghidupkan suasana yang meriah. Filosofi dari festival ini sangat dalam, di mana kerbau yang diperankan manusia melambangkan hubungan erat antara manusia, alam, dan leluhur.

Lumpur dan kegiatan membajak menjadi simbol tanah yang subur serta harapan tulus akan hasil pertanian yang baik. Ritual ini juga menghadirkan penghormatan kepada Dewi Sri, yakni dewi padi, yang diwujudkan lewat sosok perempuan berpakaian adat dan menanam benih usai prosesi selesai. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai spiritual dan agraris yang masih sangat dijunjung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.

7. Tedak Siten

Tedak Siten adalah upacara adat Jawa yang dilakukan ketika seorang bayi menginjak usia tujuh atau delapan bulan dan mulai belajar menginjakkan kaki ke tanah untuk pertama kalinya. Tradisi ini bukan sekadar seremoni turun tanah, tapi menjadi simbol kesiapan sang anak untuk memulai kehidupan di dunia dengan segala lika-likunya.

Dalam prosesi ini, biasanya digunakan berbagai perlengkapan simbolis seperti tangga dari tebu wulung, kembang setaman, dan kurungan ayam berisi mainan. Filosofi Tedak Siten sangat dalam dan menyentuh kehidupan manusia secara menyeluruh.

Tebu wulung melambangkan harapan agar anak tumbuh jujur dan teguh hati, sementara kurungan berisi berbagai benda (seperti uang, buku, atau alat musik) mencerminkan doa, agar anak menemukan jalan hidup sesuai bakatnya. Tradisi ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran keluarga dalam membimbing anak sejak dini, sekaligus bentuk syukur atas tumbuh kembang si kecil yang sehat dan kuat.

Siapa bilang budaya itu kuno dan membosankan? Di tangan masyarakat Jawa, setiap festival justru menjelma menjadi perayaan hidup yang penuh warna dan makna. Jadi, sudah siap menjelajahi jejak filosofi dan keindahan budaya Jawa melalui festival-festivalnya?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dewi Suci Rahayu
EditorDewi Suci Rahayu
Follow Us