Kenapa Penjualan Nissan Semakin Terpuruk di Indonesia?

- Data penjualan Nissan di Indonesia menurun tajam dalam dua tahun terakhir, mencerminkan pelemahan posisi merek ini di pasar otomotif Tanah Air.
- Minimnya peluncuran model baru dan kurangnya inovasi membuat Nissan kalah bersaing dengan merek Jepang lain serta merek Tiongkok yang agresif.
- Melemahnya jaringan diler dan layanan purna jual Nissan juga memperburuk posisinya di Indonesia, ditambah strategi pemasaran yang kurang agresif dibanding pesaing.
Dulu, Nissan sempat menjadi salah satu merek mobil Jepang yang cukup disegani di Indonesia. Model seperti Grand Livina, X-Trail, dan March pernah menjadi pilihan populer di jalanan Tanah Air. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pamor Nissan perlahan memudar. Data penjualan Gaikindo menunjukkan penurunan tajam, dengan volume wholesales mereka kini tertinggal jauh dibanding kompetitor seperti Toyota, Honda, maupun Mitsubishi.
Meski masih aktif memasarkan sejumlah model, performa penjualan Nissan terus menurun hingga 2025. Bahkan beberapa dealer resmi sudah menutup jaringan mereka karena rendahnya permintaan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pengamat otomotif: apa sebenarnya yang membuat Nissan semakin terpuruk di pasar Indonesia yang potensial ini?
1. Data penjualan Nissan di Indonesia

Berdasarkan data Gaikindo, penjualan Nissan di Indonesia misalnya terus menurun dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2024, total wholesales Nissan tercatat hanya 1.377 unit, sedangkan retail sales mencapai 1.427 unit. Catatan mengenaskan juga terjadi pada 2025. Hingga September ini, angka wholesales Nissan hanya 894 unit dan penjualan secara retail sebanyak 805 unit, turun dari tahun sebelumnya.
Penurunan ini menggambarkan tren pelemahan berkelanjutan bagi Nissan di pasar Indonesia. Merek ini yang dulu dikenal lewat Grand Livina dan X-Trail kini semakin terpinggirkan oleh dominasi merek Jepang lain seperti Toyota, Daihatsu, dan Honda, serta tekanan besar dari merek Tiongkok seperti Wuling dan BYD yang agresif menawarkan mobil listrik dan SUV murah.
2. Minimnya model baru dan lambat berinovasi

Salah satu faktor utama yang menyebabkan penjualan Nissan menurun adalah minimnya peluncuran model baru dalam beberapa tahun terakhir. Sementara merek Jepang lain seperti Toyota dan Honda rutin menghadirkan pembaruan setiap satu hingga dua tahun, Nissan justru terlihat pasif. Model seperti Nissan Livina bahkan kalah populer dari kembarannya, Mitsubishi Xpander, meski diproduksi dengan basis yang sama.
Kehadiran Nissan Kicks e-Power memang sempat menarik perhatian karena teknologi hybrid tanpa pengisian daya eksternal. Namun, harga jual yang tinggi dan kurangnya edukasi pasar membuat mobil ini sulit menembus pasar massal. Akibatnya, masyarakat lebih memilih merek lain yang menawarkan fitur serupa dengan harga lebih terjangkau.
3. Jaringan diler dan layanan purnajual melemah

Selain masalah produk, melemahnya jaringan diler dan layanan purna jual juga memperburuk posisi Nissan di Indonesia. Banyak diler yang menutup operasinya karena penjualan rendah dan biaya operasional tinggi. Kondisi ini berdampak langsung pada kepercayaan konsumen, karena mereka khawatir kesulitan melakukan servis atau membeli suku cadang.
Beberapa pengguna lama juga mengeluhkan harga spare part yang mahal dan waktu tunggu yang lama untuk perbaikan. Situasi ini membuat calon pembeli berpikir dua kali sebelum memilih Nissan, terutama ketika brand lain seperti Toyota dan Daihatsu menawarkan layanan servis yang jauh lebih mudah dijangkau di berbagai kota. Dalam jangka panjang, lemahnya jaringan ini menjadi faktor dominan yang menekan pertumbuhan penjualan Nissan.
4. Strategi pemasaran yang tidak seagresif pesaing

Di tengah kompetisi yang semakin ketat, strategi pemasaran Nissan terlihat kurang agresif dibanding merek lain. Kampanye digital mereka relatif minim, begitu juga dengan kehadiran di pameran otomotif besar. Sementara merek-merek seperti Hyundai, Wuling, dan Chery gencar mempromosikan mobil listrik atau fitur canggih, Nissan justru tidak menampilkan diferensiasi yang kuat.
Padahal secara global, Nissan memiliki teknologi dan sejarah yang cukup kuat di segmen kendaraan listrik melalui model seperti Leaf dan Ariya. Sayangnya, kedua model ini tidak dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. Tanpa strategi pemasaran yang jelas dan tanpa produk unggulan yang relevan, Nissan kesulitan menarik perhatian konsumen baru di tengah pasar yang sudah jenuh.
Jadi, secara keseluruhan, penurunan penjualan Nissan di Indonesia merupakan hasil dari kombinasi antara kurangnya inovasi, melemahnya jaringan diler, dan strategi pemasaran yang tidak agresif. Di tengah persaingan merek Jepang dan Tiongkok yang semakin ketat, Nissan perlu melakukan perubahan besar—baik dalam lini produk, layanan purna jual, maupun komunikasi merek—jika ingin kembali menjadi pemain penting di pasar otomotif nasional.