Saham Tesla Terjun Bebas, Terburuk dalam 5 Tahun Terakhir!

Tesla kembali menjadi sorotan setelah mengalami penurunan saham terbesar dalam lima tahun terakhir. Beberapa bulan setelah kemenangan Presiden AS Donald Trump dalam pemilu, harga saham Tesla sempat melonjak ke rekor 479 dolar AS per saham (Rp7,87 juta), menjadikan Elon Musk salah satu orang terkaya di dunia dengan kekayaan lebih dari 150 miliar dolar AS (Rp2,5 kuadriliun).
Namun, dalam beberapa minggu terakhir, saham Tesla mengalami penurunan drastis. Pada Senin (10/3), saham Tesla turun lebih dari 15 persen dalam satu hari, mencapai 222 dolar AS per saham atau Rp3,6 juta —level yang terakhir terlihat pada Oktober lalu. Ini menandai kerugian satu hari terbesar sejak September 2020, dengan total penurunan lebih dari 53 persen dari puncaknya di bulan Desember.
1. Apa penyebab turunnya saham Tesla?

Beberapa faktor diyakini berkontribusi terhadap jatuhnya nilai saham Tesla. Salah satunya adalah keterlibatan Elon Musk dalam pemerintahan Trump, terutama sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Banyak investor merasa tidak nyaman dengan peran Musk dalam politik, yang berpotensi mengalihkan fokusnya dari bisnis Tesla. Musk sendiri mengakui bahwa menjalankan bisnis sambil tetap berada di pemerintahan adalah hal yang sulit.
Selain itu, Tesla juga menghadapi serangan siber besar-besaran yang menargetkan X (sebelumnya Twitter), menyebabkan pemadaman sistem. Gangguan ini semakin memengaruhi stabilitas perusahaan di mata investor, yang sudah mulai meragukan arah kepemimpinan Musk.
Tidak hanya faktor politik dan keamanan siber, penurunan ini juga berdampak langsung pada kapitalisasi pasar Tesla. Sejak puncaknya di bulan Desember, nilai kapitalisasi pasar Tesla telah turun hampir 800 miliar dolar AS (Rp13,2 kuadriliun), sebuah pukulan besar bagi perusahaan yang sebelumnya menjadi pemimpin di industri otomotif listrik.
2. Penurunan penjualan, kompetitor semakin agresif

Di luar gejolak politik dan teknis, Tesla juga menghadapi tantangan utama dalam penjualan kendaraan listriknya. Data terbaru menunjukkan bahwa permintaan untuk mobil listrik Tesla mulai melambat di berbagai pasar utama.
Menurut laporan UBS, Tesla diperkirakan akan menjual 367.000 kendaraan pada kuartal pertama tahun ini, turun 6 persen dari 386.810 unit pada kuartal pertama 2024. Bahkan, angka tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan 422.875 unit yang dikirim pada kuartal pertama 2023, yang sudah mengalami penurunan 9 persen dari tahun sebelumnya.
Penurunan permintaan ini terjadi di tengah persaingan ketat dengan produsen mobil listrik lain seperti BYD, Volkswagen, dan Hyundai, yang semakin agresif dalam menawarkan kendaraan listrik dengan harga lebih terjangkau dan teknologi yang lebih inovatif.
3. Bagaimana masa depan Tesla?

Meskipun Tesla mengalami penurunan saham yang signifikan, perusahaan ini masih mempertahankan posisi sebagai produsen mobil paling berharga di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar.
Pada Senin (10/3), Tesla masih memiliki nilai pasar sebesar 696 miliar dolar AS (Rp11,5 kuadriliun), jauh lebih tinggi dibandingkan produsen mobil tradisional seperti Ford yang memiliki nilai pasar 39 miliar dolar AS (Rp641,4 triliun), General Motors (GM) sebesar 47 miliar dolar AS (Rp772,9 triliun), dan Volkswagen (VW) dengan 64 miliar dolar AS (Rp1 kuadriliun).
Salah satu alasan mengapa Tesla tetap bernilai tinggi adalah karena banyak investor melihat perusahaan ini bukan hanya sebagai produsen mobil, tetapi juga sebagai perusahaan teknologi yang berfokus pada kecerdasan buatan, sistem mengemudi otonom, dan robot humanoid.
Namun, dengan tantangan yang terus meningkat, muncul pertanyaan besar: Apakah penurunan harga saham ini hanya sementara, atau Tesla mulai kehilangan dominasinya mengingat pabrikan mobil China semakin agresif memproduksi mobil listrik?