3 Lembaga Pemikir Sebut Pemerintah Gagal Kelola Ekonomi Indonesia

- Pajak dan kebijakan fiskal yang tidak tepat, memberatkan rakyat dan prioritas fiskal yang keliru.
- PHK dan pemerintah yang represif terhadap protes, krisis di sektor ketenagakerjaan.
- Lima tuntutan kepada pemerintah dan DPR, termasuk keadilan fiskal, reorientasi belanja negara, perlindungan pekerja, koreksi arah ekonomi, akuntabilitas kebijakan.
Jakarta, IDN Times - Tiga lembaga pemikir ekonomi ternama, yakni Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dan The Prakarsa, merilis pernyataan sikap.
Mereka menyebut, gelombang aksi dan demonstrasi yang terjadi belakangan, adalah cermin dari kegagalan pemerintah mengelola ekonomi di Indonesia. Mereka pun menelurkan lima tuntutan untuk pemerintah.
"Gelombang demonstrasi yang terjadi mencerminkan kegagalan fundamental dalam pengelolaan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia,” ungkap CORE Indonesia, INDEF, dan The Prakarsa dalam pernyataan resmi bersama pada Senin (1/9/2025).
1. Karena pajak dan kebijakan fiskal yang tak tepat

Mereka mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa jadi penyebab kenapa gelombang protes dari masyarakat terus muncul. Pertama, pajak yang memberatkan rakyat.
Di beberapa daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami kenaikan, akibat pemangkasan anggaran dari pemerintah pusat. Namun, DPR justru menerima tunjangan besar.
Kedua, prioritas fiskal yang keliru. Misal, anggaran kepolisian pada 2026 dirancang mencapai Rp145,65 triliun, melampaui anggaran Kementerian Kesehatan yang cuma sebesar Rp114 triliun.
2. PHK dan pemerintah yang represif

Ketiga, krisis di sektor ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran Indonesia masih tertinggi di Asean (5,2 persen), dan 59 persen pekerja berada di sektor informal tanpa perlindungan memadai. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga kian menggulung.
Keempat, gelombang demonstrasi dalam beberapa hari belakangan ini juga disebabkan pemerintah yang represif terhadap protes, alih-alih membuka dialog dan mengatasi akar masalah struktural ekonomi. Pendekatan semacam ini hanya akan memperburuk citra pemerintah.
3. Lima tuntutan dari CORE, INDEF, dan The Prakarsa

Atas dasar tersebut, ditambah dengan semangat agar situasi segera membaik, CORE Indonesia, INDEF, dan The Prakarsa melontarkan lima tuntutan kepada pemerintah dan DPR. Berikut tuntutan mereka.
Pertama, menjalankan keadilan fiskal dan transparansi anggaran. Dalam hal ini, pemerintah harus menerapkan moratorium kenaikan pajak (seperti PPN dan PBB), memberlakukan pajak kekayaan pada kelompok super kaya, merevisi kebijakan pemotongan transfer ke daerah (TKD), dan melibatkan publik dalam proses perencanaan anggaran (participatory budgeting).
Kedua, menuntut pemerintah melakukan reorientasi belanja negara. Realokasi anggaran yang tidak produktif (seperti tunjangan pejabat dan belanja militer) ke sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja, seperti pendidikan, kesehatan, dan riset. Termasuk mengevaluasi kenaikan anggaran pertahanan sebesar 35 persen menjadi Rp335,2 triliun.
Ketiga, memberikan perlindungan komprehensif kepada pekerja dan masyarakat terdampak aktivitas bisnis. Melalui tuntutan ini, Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa meminta pemerintah mengembangkan kerangka kerja yang menjamin upah, jam kerja, dan keselamatan. Pemerintah juga didesak untuk mempercepat regulasi perlindungan pekerja platform digital dan mengintegrasikan mereka secara luas ke dalam skema BPJS.
Keempat, pemerintah dituntut untuk mengoreksi arah ekonomi. Di sini, pemerintah diminta untuk mengalihkan fokus dari ekonomi sentralistik dan ekstraktif menuju ekonomi kerakyatan dan demokratis yang menciptakan lapangan kerja formal dan layak.
Kelima, mengedepankan akuntabilitas dan transparansi kebijakan. Pemerintah dituntut membangun kembali kepercayaan publik melalui transparansi kebijakan fiskal dan mengevaluasi RAPBN 2026 secara menyeluruh dengan partisipasi publik. Ini dimaksudkan guna memastikan alokasi anggaran benar-benar berpihak kepada kesejahteraan rakyat.