Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ada Insentif, Kenaikan Pajak Hiburan Disebut Gak Ganggu Investasi

Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian (Sesmenko Perekonomian), Susiwijono Moegiarso menyatakan, insentif fiskal yang hendak diberikan pemerintah imbas dari kenaikan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas hiburan yang dikenakan minimal 40 persen dan maksimal 75 persen bertujuan memudahkan investasi.

Adapun kenaikan tarif pajak tersebut tertuang dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Pemberian insentif fiskal atas kenaikan tarif PBJT dilakukan lewat dua skema. Pertama, seperti tercantum dalam Pasal 101 UU HKPD yang menyatakan bahwa gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Insentif fiskal tersebut, di antaranya berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.

Skema kedua berupa diskon alias potongan 10 persen Pajak Penghasilan (PPh) badan bagi entitas industri hiburan yang akan ditanggung pemerintah (DTP).

"Pemerintah kan ingin supaya investasi tetap tinggi, makanya ada dua skema tadi. Pemerintah memberikan insentif supaya tidak terlalu naik (pajaknya)," kata Susiwijono saat ditemui awak media di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

1. Insentif fiskal sudah dibahas dengan Kemenkeu

ilustrasi bonus (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi bonus (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain membuat investasi tetap tinggi, kedua skema insentif fiskal tersebut diharapkan pemerintah bisa memulihkan sektor pariwisata yang selama ini masih belum bangkit akibat pandemik COVID-19.

Maka dari itu, Susiwijono mengaku pihaknya telah menjalin koordinasi dan komunikasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas soal insentif fiskal bagi pengusaha industri hiburan.

"Kita deputi satu dengan Pak Dirjen Pajak dan Kepala BKF. Dengan DJPK, Pak Luki juga, kita langsung bahas. Begitu diputuskan di rapat internal dengan Pak Dirjen. Kita sudah langsung koordinasikan di tingkat teknis," katanya.

2. Kenaikan pajak hiburan bisa ganggu investasi

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Apa yang disampaikan Susiwijono tersebut menanggapi pernyataan dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia terkait kenaikan tarif pajak hiburan bisa mengganggu iklim investasi di RI.

"Rasa-rasanya begitu (mengganggu) investasi, tapi buktinya baru akan diterapkan kan. Belum saya lihat, tapi feeliing saya akan berdampak kurang pas," kata Bahlil, dikutip dari ANTARA.

Bahlil menambahkan, kenaikan pajak hiburan yang ditetapkan pemerintah atau dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) cukup mahal. Dia khawatir tidak ada investor yang mau masuk dengan tingginya tarif pajak tersebut.

"Menurut saya yang dulu pernah merasakan fasilitas pajak hiburan, mahal juga. Gak ada orang yang masuk kalau mahal begini," ucapnya.

3. Insentif fiskal tidak diminati pengusaha

Konferensi Pers Pengusaha soal Tarif Pajak Hiburan (IDN Times/Triyan)
Konferensi Pers Pengusaha soal Tarif Pajak Hiburan (IDN Times/Triyan)

Sementara itu, dari sisi pengusaha, mereka mengaku tidak tertarik dengan insentif fiskal yang mau diberikan pemerintah sebagai imbas kenaikan tarif PJBT di dalam UU HKPD.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani mengatakan, insentif fiskal berupa pengurangan pajak tersebut tidak menarik bagi pengusaha apabila tarif pajak hiburan tetap ditetapkan sebesar 40 persen hingga 75 persen.

Kendati begitu, apabila pemerintah membatalkan tarif pajak hiburan tinggi tersebut, maka pemberian insentif PPh DTP tersebut bisa menarik dan membantu pengusaha.

"Itu dalam kondisi UU Nomor 1 Tahun 2022 sudah menjadi kompositif, tentu sudah tidak menarik, kecuali kalau ini bisa dibatalkan dan kembali kepada sisi yang lama, itu baru menarik. Kalau sekarang tidak menarik," tutur Hariyadi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridwan Aji Pitoko
EditorRidwan Aji Pitoko
Follow Us