Daya Beli dan Kinerja Manufaktur Masih Lesu di 100 Hari Kerja Prabowo

- Indef: Daya beli melemah dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto, ditunjukkan oleh penurunan impor barang konsumsi, modal, dan bahan baku/penolong.
- Penurunan impor sebagai indikasi investasi melambat di sektor publik dan swasta, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil.
- Kinerja PMI Manufaktur Indonesia mengalami fase kontraksi dalam Oktober-November 2024, namun berhasil rebound di Desember dengan meningkatnya pesanan baru dan aktivitas pembelian bahan baku.
Jakarta, IDN Times - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pelemahan daya beli masih jadi masalah fundamental ekonomi di 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Head of Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman menuturkan indeks barang impor menunjukan tren penurunan yang signifikan selama Oktober hingga Desember 2024.
Berdasarkan data BPS, penurunan impor terbesar terjadi pada kategori barang konsumsi yakni minus 16,91 persen secara year on year (yoy) pada Desember 2024 dan impor barang modal juga minus 10,57 persen yoy di Desember 2024. Sementara, impor barang bahan baku/penolong juga mengalami penurunan.
"Penurunan barang konsumsi ini mencerminkan lemahnya daya beli domestik," ungkap Rizal dalam diskusi publik '100 Hari Astacita Ekonomi, Memuaskan?', secara daring, Rabu (29/1/2025).
1. Aktivitas investasi melambat jadi alasan impor barang turun

Turunnya impor barang menjadi indikasi bahwa aktivitas investasi tengah melambat baik di sektor publik maupun swasta. Hal ini dipengaruhi efisiensi impor oleh pelaku usaha yang disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, atau karena pengendalian fiskal yang ketat di domestik.
Sementara itu, turunnya impor bahan baku/penolong yang minus 5,22 persen di Desember 2024 patut diwaspadai.
"Kenapa ini perlu diwaspadai? Karena akan berpengaruh ke kapasitas produksi domestik terutama manufaktur. Dan ini tentu akan mempengaruhi terhadap daya beli masyarakat," ucapnya.
2. Kinerja manufaktur mulai bangkit di Desember

Rizal menyampaikan kinerja Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia selama periode Oktober-November 2024 mengalami fase kontraksi yang cukup dalam di bawah 50, yakni masing-masing berada di level 49,2 dan 49,6.
Meski di Desember, laju manufaktur Indonesia berhasil rebound dan kembali mencatatkan level ekspansif di angka 51,2. Peningkatan ini didorong oleh kenaikan pesanan baru, baik domestik maupun ekspor, serta peningkatan aktivitas pembelian bahan baku oleh perusahaan.
"Pemulihan ini (karena) meningkatnya optimisme pasar dan stabilitas harga kebutuhan pokok yang turut memperbaiki sentimen bisnis di akhir tahun," ungkapnya.
3. Tingginya PHK cerminkan laju ekspor, produksi hingga investasi lesu

Di aspek lain, Rizal menyinggung tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menembus 78 ribu pada 2024 berdasarkan data yang dihimpunnya dari Kementerian Ketenagakerjaan RI. Ia menekankan industri dalam negeri tengah tertekan, terutama pada industri padat karya akibat ketidakpastian global.
"Memang terjadi konsistensi jumlah tenaga kerja yang terkena PHK, dari Januari sampai Desember sangat tinggi bahkan hampir 78 ribu orang," ungkapnya.
Dengan demikian, Rizal menilai sejumlah tantangan tersebut mesti dijawab oleh pemerintahan Prabowo melalui berbagai strategi untuk menekan angka PHK dan pengangguran di Tanah Air. Tingginya angka PHK mencerminkan kinerja ekspor, produksi, hingga investasi Indonesia yang melemah.
"Saya kira ini menjadi challenging bagaimana PHK dan pengangguran bisa ditekan. Tak hanya membuka lapangan usaha baru, tetapi juga lapangan usaha untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas dari industri manufaktur," jelasnya.