Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

George Soros Sebut China Sedang Hadapi Krisis Ekonomi, Apa Alasannya?

Wikimedia/Niccolò Caranti
Wikimedia/Niccolò Caranti

Jakarta, IDN Times – Investor George Soros menyebut China sedang menghadapi krisis ekonomi. Ini karena tahun lalu negara itu mengalami ledakan di sektor real estate-nya, yang kemudian berakhir dengan kekacauan.

Pada tahun lalu, terjadi serangkaian gagal bayar (default) oleh pengembang, dan turunnya harga tanah dan apartemen di negara itu.

Dalam pidatonya di Institut Hoover Universitas Stanford pada Senin (31/1/2022), Soros mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping mungkin tidak dapat memulihkan kepercayaan di dalam industri yang bermasalah itu.

1. Kebijakan pemerintah picu gagal bayar

ANTARA FOTO/Mikhail Metzel/TASS Host Photo Agency/Pool via REUTERS
ANTARA FOTO/Mikhail Metzel/TASS Host Photo Agency/Pool via REUTERS

Soros mengatakan ledakan real estate China didasarkan pada model “tidak berkelanjutan” yang menguntungkan pemerintah daerah dan mendorong orang untuk menginvestasikan sebagian besar tabungan mereka di properti.

Soros juga menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang dirancang untuk mengekang ledakan membuat sulit bagi Evergrande untuk membayar utangnya. Evergrande merupakan raksasa real estate China yang terlilit utang.

Dikutip dari CNN, pengembang itu memiliki total kewajiban lebih dari 300 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Itu termasuk sekitar 19 miliar dolar AS obligasi luar negeri yang dipegang oleh manajer aset internasional dan bank swasta atas nama klien mereka. Evergrande telah berjuang selama berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang tunai untuk membayar para pemberi pinjaman.

2. Kepercayaan terguncang

instagram.com/georgesoros
instagram.com/georgesoros

Dalam kesempatan itu, Soros mengatakan bahwa saat ini kepercayaan orang-orang telah terguncang.

“Masih harus dilihat bagaimana pihak berwenang akan menangani krisis ini,” kata Soros, selama diskusi panel tentang perkembangan di China dan bagaimana Amerika Serikat harus merespons.

“Mereka mungkin telah menunda menanganinya terlalu lama, karena kepercayaan orang sekarang telah terguncang,” tambahnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Soros telah muncul sebagai kritikus terkemuka bagi Xi dan Partai Komunis China yang berkuasa. Pada September, investor legendaris dan ketua Open Society Foundations itu pernah mengatakan bahwa manajer aset BlackRock membuat “kesalahan tragis” dengan melakukan lebih banyak bisnis di China. Soros juga telah mengkritik China atas kebijakan pengawasan dan tindakan kerasnya terhadap bisnis swasta.

3. Ancaman risiko terhadap Xi Jinping

Presiden Tiongkok Xi Jinping berbicara dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron setelah upacara penyambutan di Balai Agung Rakyat di Beijing, Tiongkok, pada 6 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee
Presiden Tiongkok Xi Jinping berbicara dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron setelah upacara penyambutan di Balai Agung Rakyat di Beijing, Tiongkok, pada 6 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee

Dalam kesempatan ini, Soros mengatakan bahwa Presiden China sekarang menghadapi risiko dari pasar properti.

“Penurunan harga akan mengubah banyak dari mereka yang menginvestasikan sebagian besar tabungan mereka di real estate melawan Xi Jinping,” kata Soros. Ia juga menyebut bahwa situasi saat ini tidak terlihat menjanjikan.

“Xi Jinping memiliki banyak alat yang tersedia untuk membangun kembali kepercayaan - pertanyaannya adalah apakah dia akan menggunakannya dengan benar,” lanjut Soros.

Banyak analis telah sejak lama menyampaikan kekhawatiran bahwa runtuhnya Evergrande dapat memicu risiko yang lebih luas untuk pasar properti China, merugikan pemilik rumah dan sistem keuangan yang lebih luas. Real estate dan industri terkait menyumbang sebanyak 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara.

Ekonomi China tumbuh 8,1 persen tahun lalu, jauh melebihi target pemerintah sendiri. Tetapi melemahnya pertumbuhan pada bulan-bulan penutupan tahun 2021 menunjukkan krisis real estate, wabah COVID-19 baru, dan pendekatan ketat negara itu untuk mengendalikan virus, mulai berdampak negatif.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat tajam menjadi 4,8 persen pada tahun 2022.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rehia Sebayang
Dwifantya Aquina
Rehia Sebayang
EditorRehia Sebayang
Follow Us